Mohon tunggu...
Rezana Wahyudi
Rezana Wahyudi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Sekolah Tak Mendidik Anakku

6 Agustus 2017   13:00 Diperbarui: 6 Agustus 2017   13:12 1679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wajib Belajar dan dididik

Heran karena soal ulangan itu belum pernah diajarkan gurunya di depan kelas. Jadi tidak ada catatan yang membahas isi materinya. Tentu saja ia tidak bisa menjawab dengan benar soalnya, tapi murid-murid lain yang ikut les bisa menjawab karena (ternyata) materinya sudah diajarkan oleh pak guru pada saat les. Maka betapa jengkelnya anak kami kepada sang guru. Sehingga makin tegas lah sikap penolakkannya untuk tidak ikut les, dan lebih memilih ikut kegiatan bimbel di sebuah lembaga yang khusus melakukan bimbingan belajar untuk murid-murid SMA.

Berhadapan dengan realitas kontradiktif itu anak kami tumbuh dengan memendam sikap protes yang kian mengeras terhadap segala yang menurutnya diskriminatif, manifulatif dan eksploitatif. Ia secara akademis memang telah dikalahkan oleh sistem yang ternyata tidak mendidik. Tapi secara moral anak kami adalah pemenangnya. Maka ketika pada akhir semester ke-2 satu mata pelajaran belum juga keluar karena 'terhambat' oleh belum lengkapnya tugas yang --menurut guru pengajarnya-- belum ia serahkan, anak kami tidak bergeming dengan sikapnya bahwa semua tugas telah ia kerjakan dan sudah diserahkan ke pak guru. Setelah berselang beberapa hari penangguhan nilai itu berlangsung, maka pada suatu hari, orang-tua dari teman sekelasnya yang senasib menelpon anak kami. 

Isi dan maksud yang disampaikan via telepon itu adalah bujukan untuk mengalah agar menuruti maksud terselubung sang guru dibalik situasi penundaan keluarnya nilai ujian akhir semester tersebut. Mengalah itu artinya ada biaya yang harus dikeluarkan. Tapi sekali lagi anak kami tak bergeming dengan bujukan itu. Hingga tiba diujung batas waktu, sang guru akhirnya 'ingat' lagi bahwa anak kami memang sudah menyerahkan semua tugasnya. Maka kemudian keluarlah daftar nilai akhir para murid itu selengkapnya. Sebagian besar murid bergembira..... tapi anak kami murung dirundung kecewa dan rasa jengkel yang membuat mual perutnya.

Waktu terus berjalan. Anak kami masih pergi ke sekolah naik sepeda lamanya sebagai murid kelas 3 (tiga), tapi kini sudah tanpa gairah untuk mengejar prestasi terbaiknya. Dalam perjalanan menuju akhir sekolahnya itu anak kami pernah bicara dengan nada getir, "Mah, maafkan kalau anakmu ini nanti ternyata tidak tidak bisa meraih jalur PMDK untuk masuk universitas." Ucapannya itu bagi kami bukan suara keputus-asaan, meskipun terdengar pesimistis. 

Kami tahu potensi kecerdasan dan kemampuan akademik yang bisa diraihnya. Tapi ini tentang hambatan sebuah sistem di sekolah ketika anak kami tidak mendapatkan pendidikan yang benar. Betapa sadar dirinya anak kami ini dengan batas kemampuannya itu. Sudah pasti kami bisa memakluminya. Ucapannya itu hanya menguatkan pernyataannya yang lain (sebelumnya) bahwa ia merasa tak cocok sekolah di negeri seperti ini.

Akhirnya anak kami melewati tiga tahun masa SMA yang (insyaAllah) telah mengantarkannya lebih dewasa dan realistis dalam menyikapi segala fakta yang tak sesuai dengan idealismenya. Cita-citanya dulu untuk menjadi dokter masih bertahan. Tapi kini pilihannya beralih ke universitas di Jogjakarta. Perubahan arah kembali ke Jogjakarta ini tak perlu dibeberkan. Anggap saja ini gerak hati seorang anak yang jiwanya tertambat oleh kenangan indah-semerbak selama ia mendapatkan pendidikan yang baik di sebuah SMP negeri Jogjakarta dulu.

(ceritanya selesai)

*** Demikianlah sekelumit kisah yang dapat saya sunting tentang pengalaman seorang anak yang telah merasakan manis-pahitnya bersekolah di SMP dan SMA di negeri ini. Masih ada beberapa fakta penyimpangan yang terjadi namun tersembunyi dibalik kolusi rahasia yang dianggap menguntungkan pihak-pihak tertentu. Tapi kisah dari pengalaman nyata (empirical) ini, yang (walaupun) lingkupnya kecil, tapi dampak kerusakan yang ditimbulkannya sama dahsyatnya dengan (misalnya) manipulasi sistem dalam merekayasa jalur PMDK. Apakah manipulasi demikian pernah terjadi? Wallahu'alam. Mungkin ada diantara teman-teman punya kisah lain lagi yang menarik untuk diungkapkan.

Kini anak temanku itu telah memasuki babak berikutnya dalam perjalanan hidup menuntut ilmu untuk meraih cita-citanya. Ada banyak kemungkinan yang membentang di depannya. Masuk Perguruan Tinggi Negeri melalui jalur SNMPTN dan SMBPTN memerlukan berbagai syarat yang mendukung. Berat-ringannya adalah relatif bagi setiap orang menjalaninya. 

Ada orang yang sejak awal merasa pesimis bisa diterima di PT Negeri pilihannya, tapi ternyata malah diterima. Sebaliknya ada orang yang telah merasa sangat siap ketika ikut seleksi, malah gagal. Ada juga yang tujuh kali gagal pada setiap ikut tes pada beberapa PT Negeri, tapi ahirnya lulus pada tes yang ke-8. Juga ada yang gagal pada semua seleksi di PT Negeri, namun ahirnya diterima di PT Swasta. 

Dan begitulah ada banyak sekali kemungkinan yang membentang di depan yang akan dialami setiap orang. Jika syarat-syaratnya telah cukup memenuhi (kadarnya), maka berlakulah taqdir pada setiap orang. Syarat-syarat cukup itu tidak hanya sebatas material (dana dan sarana) tapi juga mencakup syarat immaterial (pengetahuan, motifasi/kehendak, kesungguhan dan --termasuk-- do'a).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun