Mohon tunggu...
Rezana Wahyudi
Rezana Wahyudi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Sekolah Tak Mendidik Anakku

6 Agustus 2017   13:00 Diperbarui: 6 Agustus 2017   13:12 1679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wajib Belajar dan dididik

Karena pertimbangan itu anak kami memilih kembali ke Bandung untuk melanjutkan SMA. Padahal kami (orang-tuanya) masih bertugas di Jogjakarta. Tapi kini tidak ada alasan lagi untuk tetap menahannya seperti saat usianya masih di SD dan SMP. Anak kami kini sudah siap mandiri dalam belajarnya, apalagi di Bandung ia masih punya nenek yang akan menjaganya.

Bulan Juli tahun 2014 anak kami mengurus pendaftarannya ke SMA di Bandung. Tentu saja SMA pertama yang dipilihnya adalah SMA Negeri 3 (salah satu SMA paling favorit di Bandung). Tapi setelah dipertimbangkan, anak kami akhirnya memutuskan untuk masuk SMA Negeri lain yang lokasinya dekat rumah neneknya. 

Alasannya mungkin terdengar sepele, kalau cuman faktor jarak dari rumah ke sekolah (--faktor ini kelak jadi pertimbangan Pemda Kotamadya Bandung dalam penerimaan murid baru--). Tapi keputusan itu sepenuhnya kami serahkan kepada anak kami walau pun ada beberapa pertimbangan yang kami ajukan kepadanya. Dan kami menganggap pasti dia punya pertimbangan sendiri, walaupun mungkin terkesan tidak lazim menurut pendapat masyarakat pada umumnya. 

Bukankah anak kami telah dibekali kemampuan belajar efektif di kelas akselarasi SMP Jogjakarta itu. Mungkin juga menurut penilaiannya bahwa sekolah SMA negeri di kota besar seperti Bandung pasti telah memenuhi standar yang berlaku secara nasional. Maka apalah artinya label SMA favorit karena yang penting murid sekolah harus siap belajar dengan tekun dan berdisiplin.

Dunia sekolah yang kini ia masuki tentu tidak selalu seindah-seharum seperti di kelas akselarasi SMP Jogjakarta itu. Yang pasti di SMA negeri Bandung ini tidak ada program akselerasi. Tapi itu bukan masalah bila proses belajar-mengajar tidak terdistorsi oleh perilaku menyimpang dari tujuan pendidik nasional, yaitu "....  mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab." (UU No. 20  tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 3). Jadi ada tujuan untuk menanamkan norma-norma dasar yang terpuji agar terbangun sistem nilai yang Pancasilais. Tetapi bagaimana proses pencapaiannya?

Suatu ketika pada tahun pertama menjalani sekolahnya di SMA anak kami pernah dengan nada heran dan jengkel berucap, "Mah, ternyata perbuatan menyontek itu ada ya?" Anak kami ini rupanya hanya pernah mendengar adanya perbuatan "menyontek" tapi belum pernah sekali pun menemukan faktanya di dunia nyata. Dan kali ini di sekolah SMA-nya, ia telah menyaksikan langsung perbuatan menyontek itu terjadi di kelasnya. Apa reaksi anak kami ketika menyaksikan perbuatan curang itu? 

Agaknya ia mengalami "kejutan ideologis" dalam dirinya (dalam lingkup yang lebih luas levelnya sering disebut cultural shock). Menanggapi reaksinya itu, kami sebagai orang-tua sebisa mungkin memberikan penjelasan "realistik" dalam melihat "dunia" sebagaimana adanya. Dan mencoba meyakinkannya bahwa sistem di sekolah pasti akan memfilter perilaku menyimpang seperti itu dengan akibat yang (tentu) akan merugikan setiap pelakunya.

Anak kami ini adalah murid yang polos dan sederhana. Ketika di SMP Jogjakarta dulu dia sudah terbiasa disiplin waktu. Tiba di sekolah biasanya sekitar 30 menit lebih awal sebelum jam masuk kelas. Sebelum pelajaran dimulai selalu diawali dengan baca kitab suci (Al-Qur'an). Kebiasaan disiplin waktu itu masih konsisten dilaksanakan di SMA ini.

 Setiap pagi ia berangkat ke sekolah naik sepeda, dan tetap bersemangat. Tapi pada tahun pertama itu keceriaannya mulai meredup. Ada kabar dari keluarga di Bandung bahwa anak kami kadang pulang sekolah dengan wajah muram dan menangis sesugukkan di kamarnya. Kesedihan dan kecemasan menerpa kami yang masih bermukim di Jogjakarta. Prihatin dengan kondisi yang menimpa anak kami itu, maka aku (ibunya) minta pindah kerja ke Bandung, sementara ayahnya tetap di Jogjakarta.

Akhir semester pertama tahun 2015 aku sudah pindah kerja lagi di Bandung. Anakku telah naik ke kelas dua SMA. Prestasi hasil belajarnya tidak sebagus saat dia di SD dan SMP. Tampak oleh kami ia seperti tanaman yang kurang terurus, padahal ia bibit yang (menurut kami) unggul. Padahal ia kini ditempatkan di lingkungan sekolah yang masih tergolong favorit di kota besar (bukan di daerah pedalaman). Jadi mestinya kualitas pengajaran dan pendidikannya dijamin yang terbaik. Tapi mengapa prestasi anakku hanya bergerak datar di ambang rata-rata?

Rupanya di SMA ini ada dua sistem pengajaran yang bekerja. Yang pertama adalah pengajaran formal yang sudah seharusnya dilaksanakan; yang kedua adalah pengajaran non-formal melalui les yang diselenggarakan oleh guru-guru tertentu. Penyelenggaraan kegiatan les ini memang tidak wajib, tapi dampaknya signifikan mempengaruhi 'nasib' keberhasilan setiap murid dalam mengikuti mata pelajaran yang di-les-kan itu. Suatu ketika anak kami dibuat heran dengan soal ulangan yang disodorkan oleh gurunya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun