(Terinspirasi dari penuturan sorang teman karibku)
* Anak senantiasa disinari harapan orang-tuanya demi kehidupannya yang terbaik, yang ideal, yang bagi orang-tua kini sudah tak mungkin lagi untuk dirambahnya. Tentu saja semua orang-tua berharap anaknya lebih maju menurut ukuran dari pengalaman hidup mereka. Dan bagaimana berkas sinar harapan itu kelak menjadi bintang yang berkilau, maka  jalur pendidikan melalui sarana sekolah adalah media (wasilah) yang dianggap paling efektif untuk meraih harapan terbaik itu.
**Cerita dimulai.
Anakku adalah anak yang termasuk subur tumbuh kembangnya. Sejak ia lahir kebutuhan nutrisinya telah cukup terpenuhi. Ia pun senantiasa disiram dengan cinta, kasih-sayang, dan norma-norma kehidupan yang (mestinya) lebih terarah dibanding yang kami (orang-tuanya) alami dulu. Dan hasilnya potensi alaminya tumbuh dan berkembang tanpa banyak hambatan yang mengkhawatirkan. Prestasinya di sekolah dasar (SD) sangat memuaskan. Mata kami dibuatnya sejuk, kebahagiaan yang kami rasakan adalah berkah yang patut kami syukuri sebagai nikmat Allah yang nyata.
Anakku baru kelas 4 SD di Bandung ketika kami pindah tugas ke Banjarmasin tahun 2009. Tentu saja anak harus dibawa pindah, dan terus bersekolah dimana pun kami menetap di negeri ini. Dan memang selalu perlu penyesuaian dengan lingkungan kultural yang berbeda. Tapi itu tidak menjadi kendala selama anak menerima sosialisasi yang nilai-nilainya (secara substantif) relatif sama (walau berbeda bahasa). Apalagi didukung oleh standar sarana dan materi (kurikulum) pendidikan yang merata di Indonesia (terutama untuk sekolah negeri). Dan mestinya memang demikian bahwa pemerataan dalam (menyediakan) sarana pendidikan adalah hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah.
Dua tahun pun berlalu, anak kami lulus SD tahun 2011 dengan hasil sangat memuaskan (ranking pertama). Pada tahun itu pula ia melanjutkan ke jenjang SMP. Dalam satu semestar pertama prestasi yang diraihnya masih di kisaran rata-rata. Di SMP itu ada program akselarasi yang bisa diikuti oleh setiap siswa yang masuk kualifikasi dengan tingkat potensi kecerdasan di atas rata-rata seluruh siswanya. Anak kami terdorong untuk mengikuti program akselerasi itu. Maka ia pun ikut tes seleksi, dan hasilnya ia lulus meyakinkan dengan menempati peringkat ke-4 terbaik.
Belum berselang satu semestar program akselerasi itu ia jalani di SMP Banjarmasin, kami ternyata harus pindah tugas lagi ke Jogkakarta pada permulaan tahun 2012 itu. Maka pindah sekolah jugalah anak kami ke Jogjakarta pada tahun itu.
Di SMP Jogjakarta itu, alhamdulillah, anak kami masih diberi peluang untuk bisa terus mengikuti program akselarasi. Betapa leganya hati kami, ternyata SMP di Jogjakarta itu masih melihat pada potensi kemampuan anak. Dan hal itu menandakan bahwa SMP di Banjarmasin dan Jogjakarta telah memiliki standar penilaian yang sama. Jika demikian tentu dapat dianggap bahwa kualitas lulusan SMP Banjarmasin dan Jogjakarta relatif sama saja. Jadi bisa dibilang bahwa yang menentukan tingkat kualitas (hasil prestasi belajar) akhirnya tergantung pada kesiapan setiap anak dalam mengikuti proses belajar di sekolahnya.
Di SMP Jogjakarta itu anak kami mengikuti program akselerasi dengan kelas khusus bersama 19 pelajar (siswa/wi) lainnya. Kelas itu dipimpin oleh seorang guru yang bertindak sebagai manager yang mengarahkan dan membina mereka selama mengikuti program akselerasi. Dan bagi kami, di periode inilah anak kami mulai terbangun spirit keilmuan dan keagamaannya.
Alangkah beruntungnya anak-anak siswa/wi kelas akselarasi di SMP Jogjakarta itu. Keberuntungan yang bukan semata-mata karena bisa masuk dalam kelas akselarasi, tetapi --ini yang kami anggap sangat prinsip dan paling utama-- karena di kelas itu mereka dibimbing oleh seorang PENDIDIK sejati.
[---- Perspektif penulis -----]