Mohon tunggu...
Reza Muara
Reza Muara Mohon Tunggu... Mahasiswa - mahasiswa

maju atau di bungkam

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Seksual Bukan Mainan Balita

11 Januari 2022   19:32 Diperbarui: 11 Januari 2022   19:32 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pelecehan seksual adalah segala macam bentuk perilaku yang berkonotasikan seksual yang dilakukan secara sepihak dan tidak dikehendaki oleh korbanya, bentuknya dapat berupa ucapan, simbol, tulisan, isyarat dan tindakan-tindakan yang berarah seksual, semua yang berkonotasikan seksual itu dinamakan pelecehan seksual, di ruas perguruan tinggi, di lingkungan kampus sangatlah banyak kasus-kasus pelecehan seksual yang terjadi, korbanya rata-rata perempuan, dan pelakunya juga dari internal kampus dan bisa juga dari luar kampus.

Kebanyakan pelaku ini sendiri dari dalam kampus, disini sangat memilukan sekali jika hingga saat ini perbuatan seperti ini masih banyak beredar, UU perguruan tinggi kiranya tidak di pahami secara utuh oleh para mahasiswa, dan tidak di terapkan secara tegas dalam diri mahasiswa masing-masing, sehingga bisa terjadi suatu tindakan seksual, yang pada akhirnya mahasiswa lah yang rugi sendiri atas tindakannya, juga nama baik mahasiswa dan pelaku juga tercoreng di mata publik.

Ini juga bisa dihambaat oleh pengontrolan diri, mengontrol emosi, jiwa serta hati untuk lebih berhati-hati dalam memilih teman, jika tidak mengontrol diri kita, kita akan larut dalam suasana pertemanan yang bila mana sudah larut dalam pertemanan, kita bisa terbuka dan transparan kepada teman, sehimgga ini menjadi awal mula pelecehan seksual itu terjadi di dalam lingkungan kampus, faktor dari lingkup lingkungan juga sangat bisa untuk menimbulkan suasana-suasana pelecehan seksual, dikarenakan juga lingkungan yang ditinggalinya agak kurang terawat sosialisasi masyarakatnya, tidak mungkin juga seseorang hebat tanpa mempunyai lingkungan kehidupan yang baik juga, maka dari itu lingkungan juga sangat bisa untuk menjadikan tumbuhnya pelecehan seksual di kampus.

Dalam artikel ini, memaparkan suatu peristiwa nahas yang dialami oleh salah satu warga kampus, yang berdomisilikan di suatu daerah di jawa timur, banyak yang menduga bahwa seorang gadis ini sangat baik dan sangat taat kepada ibunya, setelah ditinggal oleh sang ayah.

Ia menjadi korban pelecehan seksual oleh suatu oknum polisi yang berasal dari daerah jawa timur juga, ia sebelumnya sudah menjalin kisah asmara pada tahun 2019 silam bersama oknum polisi tersebut, seiring berkembangnya waktu, kedua kekasih ini sudah menjalin hubungan layaknya suamu-istri, didasari rasa mau sama mau, hingga ia melakukan sudah lebih dari satu kali, dan pernah juga hamil tetapi di aborsi untuk menghilangkan jejak, pada suatu ketika, ia melakukan hubungan terlarang lagi dan pada akhirnya ia hamil juga, si wanita tidak ingin mengaborsi janinya.

Tetapi kekasihnya tidak menghendaki jika janin itu tidak di aborsi, karena rasa malu kekasihnya bila seseoarang temanya mengetahui pacarnya hamil di luar nikah, apalagi kekasihnya ialah anggota polisi, si wanita ini tidak menuruti apa kata kekasihnya untuk mengaborsi janinya, pada suatu ketika pihak dari keluarga kekasih mengajak pertemuan, dan wanita ini tidak di perbolehkan untuk putus hubungan, dikarenakan kekasihnya setahun lagi akan selesai berdinas.

Tetapi tuhan berkata lain, keluarga laki-laki tidak mau bertanggung jawab dan membiarkan begitu saja, hingga akhirnya wanita yang bernama Novia Widyasari menghembuskan nafas terakhir di samping makam ayahnya, yang dimana genap 100 hari wafat ayahnya meninggal, diduga ia sudah depresi dan stress yang amat berat, sehingga melakukan bunuh diri di samping makam ayahnya.

Dikutip dari media online Jawa Pos, polisi yang menangani kasus ini menyebutkan bahawa kasus Novia Widyasari ini tidak berbentuk pemerkosaan atau tidak ditemukan unsur pemerkosaan, polisi menjerat pelaku dengan pasal Aborsi, bukan Pasal pemerkosaan,  pelaku mungkin tidak melakukan suatu bentuk pemerkosaan terhadap korban tetapi pada suatu media juga menerangkan bahwa pelaku ingin menggugurkan janinya dengan melakukan hubungan intim lagi, guna merusak janinnya, pelaku beranggapan bahwa sperma dapat merusak janinnya yang sudah lemah.

Ini juga termasuk kedalam ranah pemerkosaan, kenapa? Dikarenakan korban sempat menolak untuk kembali melakukan hubungan itu lagi, apalagi hanya untuk menggugurkan janinya, dan ditambah lagi sebenarnya korban juga tidak menginginkan aborsi tersebut, yang menginginkan aborsi ialah keluarga pelaku dan pelaku itu sendiri demi menyembunyikan kasus ini, agar tidak diketahui oleh teman serta anggota-anggota polisi tempat ia dinas, di kutip juga, bahwasanya mereka melakukan aborsi sebanyak 3 kali, yang membuat korban memikirkan jika aborsi ini terus menerus di lakukan akan merusak kesehatan fisiknya serta mental.

Novia widyasari juga terkena dampak dari kekejaman pelaku, ia dipaksa untuk mengaborsi sebanyak 3 kali, dan pelaku pada tahap aborsi ke 3, pelaku membiarkan korban untuk  menangani janinya sendiri tanpa didampingi oleh seorang pun, sehingga ia dirawat inap di Rs selama 6 hari, selesai pulang dari rumah sakit, ia bertambah depresi dan stress berat, sebab ia tidak tahu akan kasus yang dialaminya sendiri ini mau dikemanakan dan di usut sebagaimana, hingga suatu hari ia ditemukan tergeletak di makam ayahnya, tanpa sepengetahuan warga setempat, yang menjadi kontroversi ialah, kasus ini bukan kasus pemerkosaan melainkan kasus aborsi, kiranya kasus aborsi memang begitu kuat dalam kasus ini, tetapi unsur pemerkosaan juga terjadi, dikala pelaku menginginkan berhubungan intim tetapi korban menolak.

Dilansir dari news detik.com, korban (Novia Widyasari), sempat menghubungi LBH (Lembaga Bantuan Hukum), ia mendapat nomor dari salah satu anggota LBH dari jejaring media sosial yang ia miliki, ia menghubungi pihak LBH dan menceritakan tentaqng permasalahnya, ia sedikit bercerita kepada LBH secara singkat, tetapi pihak LBH mendapati bahwa kasus yang dialami oleh korban begitu serisu, sehingga korban diminta untuk datang di kantor LBH dan menceritakan secara detail kasusnya.

Dia bercerita tentang kasusnya yang mana ia ingin bunuh diri karena tidak ada lagi harapan untuk hidup, pihak keluarga berkeinginan korban menikah saja dengan pelaku, tetapi korban memikirkan sifat dan karakter pelaku seperti itu dan dia sudah muak dengan semuanya, korban di cekoki obat-obatan guna untuk menggugurkan janinya yang dimana keluarga pelaku juga berkeinginan kepada korban agar janin itu gugur, berulangkali pihak dari LBH memberikan motivasi untuk korban agar tidak mengakhiri hidupnya,

Pihak LBH mengatakan ia siap mendampingi korban untuk mencari keadilan, tetapi korban masih menyimpan rasa kepada pelaku, ini yang menjadi minimnya bukti untuk diserahkan kepada yang lebih lanjut, korban berinisiatif untuk melaporkan kepada polda jatim, ia siap berkonsultasi dengan pengacara untuk mengusut tuntas kasus ini, tetapi pihak LBH masih menyayangkan, karena bukti-bukti hanya terkumpul sebagian, bukti nya ialah kronologi, chat dari Whatsapp serta fotocopy KTP pelaku, tetapi pada akhirnya pelaku tidak bertanggung jawab atas keahamilan korban ini, dan juga pelaku ingin janin yang dikandungnya di gugurkan saja, dengan pemaksaan, tetapi pelaku hanya di jerat pasal aborsi saja, usai di temukanya mayat korban di samping nmakam yahnya di desa japan, mojokerto.

Ia bunuh diri dengan potassium dicampur dengan teh, ia melakukan ini dikarenakan masalah asmaranya dengan pelaku, ia tidak memperdulikan keluarganya maupun kampus tempat ia kuliah, ia hanya berkeinginan kasus ini tuntas dan pelaku di jerat semaksimal mungkin, pada akhirnya pelaku dijerat dengan pasal 348 348 juncto pasal 55 KUHP, hukuman 5 tahun penjara sudah menantinya, serta pelaku yang berdinas sebagai anggota polisi juga di copot dari keanggotaaan polisi dengan tidak hormat atau lebih jelasnya dipecat.

Berbeda dengan kasus Novi Widyasari tentang pemerkosaan dan aborsi, tetapi kasus ini tentang kekerasan seksual mahasiswa yang terjadi di DIY, dilansir dari laman web BBC, menjelaskan kasus dugan kekerasan saeksuai UII Yogyakarta, sejumlah penyintas akan menempuh jalur hukum. 

Kasus dugaan kekerasan seksual di lingkungan kampus sering terulang, banyak para mahasiswa menginginkan agar adanya regulasi pencegahan dan penanganan secara serius kekerasan di perguruan tinggi, ada satu alumni dari kampus tersebut yang diduga menuai perbuatan kekerasan seksual, tim pencari fakta penanganan kasus kekerasan seksual hingga kini masih terus menyelidiki, sebabnya alumni tersebur menempuh pendidikan di salah satu perguruan tinggi luar negeri di Australia.

Begitu juga pihak dari universitas Melbourne masih melakukan penyidikan terkait laporan dua alumni yang juga mengklaim mengalami pelecehan seksual semasa kuliah di kampus UII tersebut, serta desakan bagi pemerintah Australia agar mencabut beasiswa yang di berikan kepada terduga pelaku, tetapi pihak dari (DFAT) Departemen Luar Negeri dan Perdagangan Australia belum bisa mengambil keputusan tersebut dikarenakan investigasi kasus ini belum sepenuhnya usai.

Pengakuan dari korban kekrasan seksual "saya merasa benar-benar takut dan gugup" begitu ucap para korban kekerasan seksual yang dilakukan oleh alumninya, tetapi juga, pelaku dikenal sebagai mahasiswa yang berprestasi yang popular di kampus karena sering mengikuti konferensi internasional, dan hebatnya dikenal sebagai ustadz yang seringkali mengisi ceramah.

Namun sebaliknya pelaku dituduh melakukan perbuatan kekerasan seksual secara fisik, ia juga melakukan kekerasan gender berbasis online (KGBO), pengakuan dari salah satu korban menuturkan kepada BBC News Indonesia, pelaku berani menanyakan hal-hal yang mendekati serta berbau privasi ketika sedang mengobrol di sosial media serta bila di telfon seringkali bahasanya lebih liar, dan pelaku sangat merasa gugup dan benar-benar takut, dilain waktu para penyintas/korban sebanyak lebih dari 20 orang, melaporkan IM kepada LBH (Lembaga Bantuan Hukum) untuik dapat membantu menyelesaikan masalah korban dan kasus pelaku ini, di lain  sisi Paul dari UII bergerek menuding bahwasanya pihak kampus tidak transparan dan tidak terbuka dalam penyidikan kasus IM, para korban dari kekerasan seksual ini mengatakan bahwasanya juga harus, kampus mendirikan regulasi tentang pelecehan seksual di lingkungan kampus, para korban berharap, kasus ini bisa menjadi tolak ukur kampus untuk membuat aturan-aturan tentang pencegahan dan penanganan di kampus.

Dari kutipan-kutipan berita di atas yang terdiri dari tiga media berita, mendefinisikan dan memaparkan segala kasus yang intinya menuju kepada pelecehan seksual di lingkungan kampus, yang mana para korban terdiri dari banyak perempuan yang terdampak dari kasus ini, dari kasus Novia Widyasari dahulu, kasus ini sedikit rumit dikarenakan juga bukan kasus pemerkosaan, yang mana pemerkosaan suatu perbuatan asusila dengan paksaan dari pelaku, tetapi kasus ini dinyatakan bukan hal pemerkosaan melainkan kasus aborsi, dimana jika tidak ada unsur pemerkosaan berarti mereka berdua mau sama mau yang pada akhirnya merugikan keduanya,

Kasus ini didasari dari kisah asmara dari kedua belah pihak, sebagai mahasiswa kita seharusnya sudah bisa untuk berfikir dan memilah suatu perbuatan baik dan buruk, dampak positif dan negatif suatu perbuatan yang kita lakukan, tetapi masih banyak mahasiswa yang terbelenggu dalam kasus ini, contohnya saja pacaran terlalu larut, ini bisa juga dapat menimbulkan percikan-percikan perbuatan asusila, apalagi mahasiswa adalah darah muda, syahwat dan nafsunya tentunya begitu kuat, kontrol diri disini sangat berperan penting dalam kehidupan mahasiswa yang notabenya hidup dilingkungan yang sangat banyak manusianya, mengontrol perilaku saat berbicara kepada lawan jenis, mengontrol situasi, serta mengontrol kondisi dengan cermat, ditambah lagi kampus semestinya sudah mempunyai aturan-aturan perundang undangan tentang pelecehan seksual, hendaknya ini di pahami secara mendalam oleh para mahasiswa sebagai bentuk perisai juga, bila dirasa pengontrolan diri ini sudah kuat serta kita memahami aturan-aturan di lingkungan kampus, agaknya bisa meminimalisir terjadinya kekerasan serta pelecehamn seksual didalam ranah kampus.

Novia Widyasari (korban), kiranya kurang bisa mengontrol diri terhadap kekasihnya, apalagi pada zaman sekarang, dengan embel-embel pria berseragam, agaknya terpikat oleh kata-kata itu sehingga menjadi suatu kebanggan bisa mempunyai kekasih yang berseragam sehingga ia mau di bawa dan di buat apa oleh sang kekasih, ditambah lagi dalam media ini, di tuliskan bahwasanya tidak ada unsur pemerkosaan, berarti yang di lakukan Novia Widyasari dan pelaku, itu didasari mau ssma mau, saat sedang hamil disini pelaku memilih untuk melakukan hubungan intim lagi, tetapi korban tidak menghendaki permintaanya, dan disini juga terdapat unsur pemerkosaan, karena ia dipaksa untuk berhubungan tetapi korban tidak mau.

Kasus ini dilihat dari hal aborsi saja tanpa melihat hal pemerkosaanya, sehingga pelaku yang beranggota polisi ini di jerat hanya dengan satu pasal saja yaitu pasal aborsi dengan kurun waktu penjara 5 tahun, ini sebenarnya bisa menjadi pasal pembunugan juga, di karenakan pelaku juga mempunyai potensi untuk terjadinya pembunugan bunuh diri, di karenakan ia bunuh diri karena depresi serta stress yang berlebihan hanya karena perbuatanya semasa menjalin asmara, tetapi dari pihak yang berwenang, pelaku tetap dinyatakan bersalah perihal kasus aborsi.

Beralih kasus oleh mahasiswa UII Yogyakarta, terdapat pelecehan seksual terhadap para mahasisawa, ini dilakukan oleh alumni dari kampus tersebut yang saat ini sedang mengenyam pendidikan di luar negeri tepatnya di Negara Australia, ini di lakukan semasa pelaku masih berkuliah di kampus UII Yogyakarta, pengakuan dari para korban pelecehan, bahwa pelaku adalah seorang yang cukup berprestasi di bidang perkuliahan karena juga ia sering mengikuti konferensi internasional saat semasa kuliah di Yogyakarta, ditambah lagi, pelaku juga dikenal sebagai ustadz karena sering mengisi ceramah.

Disini kita mengetahui lagi, penontrolan diri menjadi perisai diri sendiri terhadap orang-orang yang ingin melakukan tindakan-tindakan seksual, para korban juga berkomunikasi di jejaring media soaial dengan pelaku mulai berani menanyai perihal privasi kehidupan korban melewati chat serta melewati telefon, sehingga membuat para korban yang awalnya membalas dengan ceria kini korban berubah menjadi trauma dan benar-benar takut kepada seseorang yang menghubinginya secara online, atau tidak berinisial, sekali lagi, korban juga merasa bangga bisa berhubungan komunikasi dengan seseorang yang dianggapnya berpengaruh di dalam kampus, jadi ini menjadi awal mula korban terjerumus dalam perangkap pelaku untuk melakukan pelecehan dan kekerasan seksual,

Akibat dari lalainya pengontrolan diri dari segala hal, larut dalam lamunan serta situasi, ini menjadi sangat awas, sehingga para korban meminta bantuan kepada LBH (lLembaga Bantuan Hukum), untuk berusaha menyelesaikan secara adil dan terang atas apa yang di perbuat pelaku terhadap korban, terlebih mengejutkanya, salah satu aktivis kasus ini menyebutkan bahwa pihak kampus juga tidak transparan untuk mengusut lebih tuntas pelaku, mungkin guna untuk menutupi nama kampus di mata perguruan tinggi lainya agar tidak tercoreng nama baiknya, disini sedikit rumit antara penyelesaian masalsh korban dan kampus yang tidak transparan, tetapi salah satu ketua tim pencari fakta dari pihak kampus, membantah dikarenakan kasus ini belum spenuhnya kelar sehingga tidak di muat di muka mahasiswa atau para aktivis kasus ini,

Sebaiknya semua dilakukan dengan baik, dengan aktivis juga menelusuri bersama pihak kampus, dan sebaliknya, ini akan menjadikan kemudahan korban untuk menemukan keadilan yang nyata, dan tidak merusak nama baik korban di mata teman mahasiswa dan keluarganya.

Kini, pelecehan seksual di lingkungan kampus terus terjadi seiring berkembangnya tahun pendidikan, semestinya pihak perguruan tinggi dan pemerintah menetapkan UU pelecehan seksual dengan baik dan benar agar para pelaku dan korban tidak bertambah dan mengurangi siklus ini, serta membentuk satuan tugas jikalau UU pelecehan seksual ini diselewengkan atau dilanggar oleh para mahasiswa, juga membatasi pertemuan antara pendidik dan mahasiswa di luar kampus kecuali mempunyai izin dari kepala perguruan tinggi.

Kiranya jika UU pelecehan seksual, satuan tugas dan kebijakan yang tepat ini di realisasikan dengan baik, semestinya tidak ada korban di lingkungan kampus lagi, agar ruang pembelajaran dan hubungan sosial di dalam kampus bisa berjalan dengan baik tanpa adanya disintegritas antara pendidik dan mahasiswa.

Pelecehan seksual tidak akan pernah berhenti di lingkungan kampus jika para mahasiswa tidak sadar akan bahaya, dampak dari kekerasan seksual, juga pengontrolan diri yang baik masih cukup kurang sehingga mudah terombang-ambing oleh teman, prinsip dirinya belum kuat, sebaiknya tidak memandang siapa orang, apa yang dilakukan.

Jika semua itu mengarah kedalam pelecehan seksual, seperti kasus pertama, ia sangat larut dalam kisah asmaranya sehingga tidak sampai berfikir jernih dia di lecehkan, pada hakikatnya pelecehan itu terjadi karaena jati diri kita masih belum kuat untuk mempertahankanya, maka dari itu memahami dasar-dasar perbuatan seksualitas sangatlah wajib untuk zaman sekarang, agar kita tetap bisa hidup tentram tanpa adanya kekerasan-kekerasan seperti kekerasan seksual.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun