Mohon tunggu...
Reza Imansyah
Reza Imansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Teknik Sipil Universitas Indonesia

Seorang mahasiswa teknik sipil yang sangat menyayangi ilmunya. Suka menguak sisi lain Indonesia, khususnya dalam sosial, budaya, dan politiknya. Menulis menjadi bagian dari hidup. Dan akan terus hidup walau saya mati. Saya yakin.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Islam di Dalam Indonesia atau Indonesia di Dalam Islam?

20 Juli 2020   13:39 Diperbarui: 20 Juli 2020   13:28 308
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagi saya, hal ini merupakan keuntungan. Jika saya berpikir tidak memedulikan orang lain, hidup dengan agama lain membuat saya lebih berpikir atas keimanan saya. 

Saya juga akan semakin senang bisa belajar kepercayaan orang lain, menerima orang lain, dan pastinya punya pengetahuan yang lebih luas dibandingkan dengan orang-orang yang punya identitas sama. 

Walaupun pasti ada kecenderungan iman yang tergoyah karena ada interupsi non-Islam di dalam kehidupan bermasyarakat, tetapi apakah bila kita kuat terhadap iman kita akan membuat iman kita semakin tak tergoyahkan? Beda jelas dengan orang yang tidak tahu menahu apa yang ada di luar Islam. Sekali dia keluar, maka akan mudah goyah. Atau terlalu keras.

Multi-agama di Indonesia juga membuat kita seperti miniatur dunia, yang semestinya membuat kita siap untuk hidup di belahan dunia manapun karena kita tahu budaya agama di dunia secara global. Semakin banyak belajar, semakin bagus, bukan?

Islam Memang Mayoritas, tapi Bukan Superior

Saya sebagai umat Islam jujur merasa banyak hal privilege dalam kehidupan sehari-hari. Namun, patut disadari hal ini harus sesegera mungkin diselesaikan. 

Hal ini tidak baik untuk kehidupan berdampingan di Indonesia. Saya rasa Rasulullah SAW juga mengajarkan kepada kita untuk selalu hidup berdampingan dan damai kepada orang yang berbeda agama dengan kita.

Banyak orang yang berdakwah dengan dasar "sampaikanlah walaupun hanya satu ayat". Boleh kita berdakwah, tetapi tidak boleh kita memaksakan. 

Jujur saya tidak ingin teman saya masuk neraka walaupun saya tahu dia berbeda agama dengan saya, tetapi jika saya "berdakwah" dengan langsung mengatakan "kalo lo ga Islam, lo gabakal di surga!", apakah saya layak disebut teman? 

Mengapa kita tidak memilih berdakwah dengan tindakan-tindakan kita? Saya rasa itu lebih konkrit dan membuat damai. Dia sadar atau tidak, kembali lagi kepada dirinya.

Jangan pernah merasa dengan banyaknya jumlah umat Islam lalu merasa boleh berdakwah seenak jidat dengan cara-cara yang bisa menyakiti orang lain. Kalau kita punya kekuatan percaya kepada Islam sampai berani berdakwah mengajak orang lain masuk agama kita, apakah mereka tidak bisa demikian pula. Minoritas juga bisa superior.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun