Ilustrasi di atas telah menjelaskan secara harafiah mengenai apa itu ad hominem (argumentum ad hominem). Contoh singkatnya seperti gambar tersebut, ketika seorang anak jurusan IPA berbicara tentang politik dan dibantah dengan "Kamu tuh IPA, Ngerti Apa Emang?" dikarenakan karakteristik anak IPA yang tidak mempelajari hal politik di sekolah. Padahalnya, tidak semua anak IPA tidak suka belajar non-sains, tidak semua pelajaran didapat di sekolah, dan pastinya tidak tentu anak IPS lebih benar dalam berbicara hal non-sains. Begitupula sebaliknya. Semestinya manusia melawan argumen manusia lain, khususnya dalam sebuah perdebatan, dengan premis-premis yang logikal dan menjawab lontaran lawan secara menyeluruh.
Sayangnya, setelah hidup sekitar dua dasawarsa di Indonesia, saya merasa ad hominem sangat mengakar di Indonesia. Generalisasi berbasis suku dan agama menjadi faktor utama mengapa ad hominem selalu hadir, bahkan di setiap perbincangan kita sehari-hari. Ada perusahaan yang kurang mau menerima orang Batak karena sifatnya keras, ada kostan yang tidak mau menerima orang Papua karena sering mendatangkan keributan, sampai hanya mau memilih orang Jawa sebagai pemimpin karena karakter lembutnya adalah contoh-contoh ad hominem secara komunal.
Dalam kehidupan personal, jangan salah, saya dan Anda mungkin sering pula melakukan ad hominem. Contohnya dalam kasus Virus Corona sekarang. "Ah, pantes aja Jawa Timur kasusnya naik terus! Orangnya batu, sih!" atau "Yak kalo provinsi sepi kayak Jambi atau Bengkulu mah pantes dikit kasusnya, kan mereka ga ngapa-ngapain!". Semua hal dilandasi perihal-perihal karakteristik pribadi atau generalisasi umumnya populasi yang bahkan belum terbukti apakah karakter tersebut melekat dalam setiap atau sebagian besar pribadi populasi daerah tersebut.
Setiap Manusia Unik
Secara genetika, setiap manusia yang ada di bumi diciptakan tidak ada yang sama persis seratus persen, bahkan antar saudara kembar pun pasti terdapat perbedaan. Seiring dengan berkembangnya zaman dan banyaknya input entah dari lingkungan maupun skala yang lebih kecil, karakteristik orang akan semakin bervariasi. Cara manusia berpikir dan menangkap informasi yang sama pastinya akan berbeda-beda. Oleh karena itu, manusia memang unik pada dasarnya dalam setiap pribadi.
Sebenarnya Indonesia kini sudah mulai memahami bahwa karakter tidak terikat dengan suku atau agama mereka. Dengan kasus pencopetan yang tidak hanya suku itu-itu saja, premanisme yang dilakukan oleh suku berbeda-beda, atau hal-hal baik yang tidak selalu dilakukan oleh suku tertentu semakin marak terjadi dan membuktikan kalau ad hominem itu kesalahan berpikir yang nyata adanya. Sayangnya, entah keinginan atau ketakutan masyarakat untuk menghilangkan budaya yang sebenarnya tidak sesuai dengan zaman membuat ad hominem terus berada di antara kita.
Misalnya, orang Jawa terus mempertahankan sikap santun mereka dan tidak berbicara yang buruk di depan banyak orang. Efek sampingnya adalah gosip yang beredar di mana-mana. Seseorang yang menjadi target pembicaraan tidak menjadi berbenah justru bisa makin menjadi karena dia tidak mengetahui secara jelas letak keburukannya. Ad hominem yang dilakukan oleh orang Jawa sendiri adalah menyatakan hal ini tidak apa-apa, bahkan membanggakan kalau "ini sikap orang Jawa yang benar". Padahalnya, bicara blak-blakan ada sisi positifnya. Dampaknya adalah ketika ada orang Jawa yang menyatakan blak-blakan suatu pendapat, tidak didengarkan lagi karena dirasa ada niat di belakangnya atau orang tersebut dinasehati dengan alasan "Kamu orang Jawa, gak boleh ngomong kayak gitu.".
Masih banyak contoh lain, misalnya orang Sunda tidak boleh marah-marah, orang Batak tidak boleh "bodoh", orang Sulawesi harus "berani". Rasanya ad hominem ini sangat mengakar dilandasi dengan rasa chauvinisme, bukan?
Ad Hominem dan Pendidikan
Pendidikan formal sebagai sesuatu yang didefinisikan sebagai "pendidikan" sampai saat ini, sayangnya, di Indonesia justru belum menghapus pengikatan karakter dengan kepribadian seseorang ini. Seringkali ucapan guru seperti "kok kamu orang Batak tapi gak nanya-nanya?" dengan maksud supaya si anak tersebut fokus kepada pelajaran sedikit demi sedikit menjadi tumpukan kasus yang membuat ad hominem terus turun-temurun. Pandangan guru terhadap anak-anak pada agama atau suku tertentu, entah dispesialkan secara positif atau negatif juga masih sering kita temukan di Indonesia.
Saya sendiri baru mempelajari bahwa ad hominem itu salah ketika di bangku kuliah melalui Mata Kuliah Kepribadian UI, yang artinya tidak semua kampus mengajarkan hal demikian. Betul memang situasi di kampus saya hampir tidak ada yang melakukan ad hominem, tetapi apakah semua orang Indonesia adalah mahasiswa UI? Jelas jauh dari kata "iya"!
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sudah sepatutnya melihat pendidikan karakter global secara penting. Sangat disayangkan pola pikir manusia Indonesia di masa mendatang jika terus seperti ini. Lama kelamaan, yang menduduki perusahaan dan pemerintahan hanya dari suku atau agama itu-itu saja.
Orang Jawa dan Sumatra Sangat Banyak
Kasus ad hominem berkembang bersamaan dengan jumlah orang Jawa dan Sumatra yang semakin banyak. Seiring itu pula semakin sulit untuk menghapus penilaian karakter dari suku seseorang.
Perkembangan kemajuan daerah yang tidak merata juga menjadi faktor yang membuat ad hominem terus ada di Indonesia. Doktrin-doktrin tidak dihapuskan secara formal melalui pendidikan, bahkan terus dilontarkan karena kepentingan politik oleh para pejabat. Masyarakat Indonesia yang kadar literasinya masih rendah justru semakin tenggelam dalam generalisasi karakter suku ini.
Suku Jawa dan Sumatra yang masuk ke daerah-daerah lainnya (cenderung ke Indonesia Timur) karena jumlah yang sangat banyak juga mempertahankan sekuat-kuatnya "karakter khas mereka" yang semakin membuktikan kalau mereka seperti apa yang didoktrin oleh orang-orang lain. Padahalnya, hal tersebut dipaksakan demi eksistensi suku mereka. Usaha untuk menepis karakter negatif yang digeneralisasikan kepada orang-orang Jawa dan Sumatra pun tidak pernah dilakukan secara jelas.
Memang, pendidikan dan pemerataan pendidikan menjadi kuncinya. Supaya otak semakin terbuka.
Bukan Hanya Soal Suku dan Agama
Mengakarnya ad hominem tidak hanya soal suku dan agama. Di Indonesia yang ideologinya tidak liberal maupun sosialis/komunis membuat ad hominem berada pada seluruh lapisan dan kasus. Ad hominem terhadap orang gemuk, orang kurus, orang putih, orang hitam, orang berparas cantik, orang berparas tidak cantik (bukan jelek!) selalu ada dalam kehidupan kita. Orang gemuk tidak selalu malas, orang kurus tidak selalu lincah. Karakter dan ekspresi gen muncul secara khas dalam setiap insan.
Ad hominem di negara liberal jumlahnya mungkin semakin berkurang karena mereka menyadari setiap pribadi punya kebebasan dan itu menjadi kekhasan setiap orang. Berbeda lagi, di negara sosialis/komunis justru ad hominem bisa dinyatakan "agak" benar oleh kita karena lingkungan yang mereka rasakan seragam dari lahir sampai tumbuh sampai tua sampai mati. Contohnya, semua orang mendapat tekanan dan aturan yang sama di Korea Utara, sehingga mereka punya karakter yang hampir sama satu sama lain. Tetapi, bagaimana jika kita bicara segelintir orang Korea Utara yang ingin keluar dari negaranya dan menyadari ke-diktator-an pemimpin mereka? Padahal semenjak kecil mereka juga dididik sebagaimana anak Korea Utara yang lain? Tidak semua orang Korea Utara seperti itu, bukan?
Jadi, bukan saatnya lagi kita melihat pribadi, melawan argumen, dan lain sebagainya dengan berdasarkan faktor generalisasi yang sebenarnya belum atau tidak akan terbukti secara saintifik. Lihatlah pribadi sebagai pribadi yang khas, dan jawablah pendapat mereka sesuai bukti yang nyata dan logis. Semoga kita selalu diberi pikiran yang jernih nan jelas oleh Tuhan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H