Jelas sudah nampaknya jika kita berbicara tentang Virus Corona (COVID-19) di Indonesia. Jumlah korban yang tidak terkendali, sulitnya memberikan arahan kepada masyarakat, dan pastinya ketidak jelasan pemerintah dalam memberikan baik aturan maupun bantuan menjadi berita sehari-hari.Â
Dualisme antara masyarakat menengah ke atas yang memarahi orang di luar dan tetap beraktivitas dengan masyarakat menengah ke bawah yang wajib ke luar untuk mencari sesuap nasi terus-menerus terjadi di media sosial. Sangat sedih melihat pandemi ini justru semakin memperdalam jurang kesenjangan ekonomi-sosial masyarakat Indonesia.
Bagi saya, Indonesia memang benar-benar belum siap menghadapi Virus Corona. Bukan karena negaranya yang belum maju pendidikannya, bukan juga bukan negara yang belum maju perekonomiannya.Â
Bilamana ada masyarakat yang meminta semestinya negara ini mengikuti konsep negara lain seperti Selendia Baru, Korea, atau negara-negara Eropa Barat dalam mencegah atau menghilangkan Virus Corona, saya rasa itu tak akan bisa.Â
Indonesia adalah negara yang unik, dia hanya satu di dunia dan jujur saja dalam beberapa masalah global atau berefek global, negara ini tidak bisa melakukan "benchmark" ke negara manapun. Bangsa ini memiliki idealisme tersendiri yang sangat mengakar, dan sangat bertabrakan dengan upaya membantai rantai Virus Corona.
Ideologi Pancasila
Ketika negara-negara lain punya pilihan untuk menjadi negara liberal atau sosialis (atau konsep sejenisnya), Indonesia memilih Pancasila sebagai jalan tengah pemersatu ideologi yang ada di dunia.Â
Sebuah negara liberal dan sejenisnya sudah jelas memberikan kebebasan kepada rakyatnya untuk memilih jalan hidupnya masing-masing atas tanggung jawab masing-masing, negara hanya sebagai "pemantau".Â
Lain lagi, negara sosialis dan sejenisnya memberikan segalanya demi rakyat atas kuasa dari pemerintahan negara, bantuan-bantuan terarah secara jelas apalagi dibantu dengan karakteristik umum hadirnya satu partai komunis/sosialis yang mengikat seluruh gerak bantuan kepada masyarakat.
Jika bicara Virus Corona, umumnya negara liberal memberikan kebebasan mereka untuk tidak menggunakan masker, bahkan di Amerika Serikat sang presiden melakukan tindakan yang "anti-Corona", sedangkan negara sosialis sangat menjaga tatanan kesehatan hidup masyarakat dan bantuan yang jelas karena kembali lagi umumnya negara ini dipegang kendali oleh seorang diktator, contohnya Cina yang sangat cepat mengontrol rakyatnya dari Virus Corona padahal dikatakan virus ini berasal dari negara tersebut. Oleh karena itu, jelas pada negara liberal jika ada orang terinfeksi yang disalahkan adalah pribadi orang tersebut, sedangkan pada negara sosialis yang disalahkan adalah negara. Lantas Pancasila?
Uniknya negara ini ketika terkena status pandemi global adalah terbentuknya masyarakat yang ingin diberikan bantuan sebanyak-banyaknya, tetapi juga tidak mau diatur oleh pemerintah. Sepertinya sudah hukum alam yang memberi banyak pantas mengatur yang diberi.Â
Saya tidak menyalahkan Pancasila sebagai ideologi, tetapi karena negara yang sudah cukup tua ini terlalu lama mencari jati diri realitasnya, masyarakat sebenarnya tidak tahu mereka hidup sebagai apa dalam konsep bernegara ataupun berbangsa. Masyarakat tidak tahu mereka "dibebaskan" atau "diikat". Semestinya BPIP yang diisi oleh orang-orang berkualitas mengkaji hal-hal seperti ini. Pancasila bukan hanya soal keberagaman, tetapi sangat berpengaruh pada kehidupan sosial-ekonomi bangsa.
Gotong Royong
Semakin lama hidup saya semakin menyadari efek samping dari gotong royong. Ini adalah budaya yang sangat bagus adanya. Berbeda dengan bangsa-bangsa Barat yang bersikap individualis, ciri gotong royong menciptakan lingkungan masyarakat yang cepat adaptif serta kondusif. Budaya ini tidak boleh hilang, tetapi masyarakat perlu tahu konteks gotong royong. Batas gotong royong itu sampai mana?
Budaya gotong royong sebagai salah satu konsep ideal berbangsa di Indonesia kadangkali menciptakan perasaan masyarakat yang pasrah dengan keadaan dan memberikan kepasrahan itu kepada orang-orang di sekitarnya. "Ah, kalo gaada yang bantu gue palingan dibantuin ama ponakan gue yang tajir melintir!". Pemikiran ini terus turun-temurun dan lantas menyebabkan gotong royong yang awalnya memberikan bantuan kepada yang membutuhkan justru menjadi membebankan kalau orang lain harus membantu dirinya tanpa melakukan upaya preventif terhadap dirinya sendiri.
Contohnya, seseorang yang tidak perlu ke luar rumah ingin bermain di pusat kota. Dengan alasan seperti "paling bokap gue kalo gue kena bakal nyari bantuan ke kaka-adeknya", membuat orang ini tidak takut lagi dengan Virus Corona. Mengenaskan bukan karakter seperti ini?
Perlu adanya pendidikan yang lebih mendasar dan menyeluruh mengenai idealisme gotong royong di Indonesia. Batasan yang jelas, subjek yang harus dibantu, sampai kepada objek yang menerima bantuan secara moral maupun logika. Jangan sampai, semakin banyak orang yang merasa nyaman karena akan dibantu, padahal itu salahnya sendiri.
Over-proud Nationalism
Walaupun saya bilang di awal Indonesia adalah bangsa yang sangat khas sampai-sampai kita sangat sulit meniru bangsa atau negara lain untuk membuat kebijakan, jangan membuat kita tinggi hati atas adanya rasa bangga sebagai "bangsa yang khas".
Kadang Indonesia memiliki ke-khas-an yang jelek dan dipertahankan, seperti berbicara tidak blak-blakan karena takut mencederai perasaan orang lain. Inilah yang terkadang dilakukan oleh pemerintah, khususnya Menteri Kesehatan RI tentang Virus Corona.Â
Sepertinya bukan rahasia lagi kalau Menteri Terawan sangat "hati-hati" untuk berbicara kalau Indonesia terinfeksi Virus Corona sedari awal. Dengan embel-embel rakyat kita kuat, rakyat kita terbiasa terkena serangan virus, bahkan dikatakan influenza lebih berbahaya dilontarkan beliau beserta beberapa pejabat lainnya entah untuk menyenangkan rakyat atau "Bos" Jokowi. Atau, supaya ekonomi tidak mati? Siapa yang tahu.
Sub ini saya khususkan untuk menjelaskan janganlah kita mempertahankan idealisme yang usang nan ambigu, apalagi dimanfaatkan untuk politik yang berdampak pada kepentingan rakyat.
Sebenarnya dari idealisme bangsa yang sudah saya jelaskan di atas sangat tidak patut untuk dihilangkan, bahkan harus semakin ditegakkan. Akan tetapi, sebagai bangsa yang ingin maju dan bergerak ke depan, sudah sepatutnya semua hal yang mengakar di Indonesia patut dikritisi dan diperbaiki demi mimpi besar bangsa yang terwujudkan. Definisi, tujuan, dan batasan idealisme-idealisme ataupun budaya-budaya bangsa perlu dikaji lebih mendalam lagi sehingga sesuai dengan kebutuhan masyarakat sekaligus kultur global. Memang, friksi dengan budaya (bahkan agama) pasti ada.
Namun, lebih baik kita berfriksi supaya anak cucu kita hidup lebih damai daripada diam-diam saja tapi Indonesia bak ditelan bumi? Atau lebih baik ditelan bumi saja supaya gak malu-maluin lagi kayak kalung anti-Corona? He..he..
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H