Mohon tunggu...
M Reza Baihaki
M Reza Baihaki Mohon Tunggu... Ilmuwan - Mahasiswa Magister Hukum Kenegaraan Universitas Indonesia

Peneliti di Pusat Studi Konstitusi dan Legislasi Nasional UIN Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Mempetimbangkan Formula Pilkada secara Tidak Langsung

30 Juni 2020   22:52 Diperbarui: 30 Juni 2020   22:50 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Komisi Pemilihan Umum (KPU) secara resmi berdasarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) Nomor 2 Tahun 2020 menunda pemilihan kepala daerah (pilkada). Penundaan tersebut didasari pada alasan kondisi nasional dan global yang sampai saat ini belum secara pasti terbebas dari wabah covid-19.

Secara normatif, berdasarkan ketentuan Perppu tersebut, dalam Pasal 201A, menyatakan bahwa penundaan pemungutan suara serentak dilakukan hingga bulan desember 2020. Lebih lanjut, Dalam hal pemungutan suara serentak tidak dapat dilaksanakan, maka pemungutan suara ditunda dan dijadwalkan kembali segera setelah bencana non-alam.

Berdasarkan Rapat Dengar Pendapat (RDP) antara pemerintah, DPR dan KPU (27 Mei 2020), telah disepakati bahwa pemungutan suara serentak akan diselenggarakan tepat pada tanggal 9 Desember 2020. Mengingat bahwa tahapan pemungutan suara merupakan rangkaian akhir dari skenarion pilkada, maka berbagai teknis pelaksanaannya tentu dimulai jauh-jauh hari sebelum tehapan pemungutan suara dilaksanakan. 

Oleh karenanya, pada kesempatan yang sama juga, kesimpulan RDP tersebut memuat bahwa bahwa perlu dilakukan revisi atas Peraturan KPU tentang jadwal, program dan tahapan, dimana tahapan lanjutannya dimulai pada 15 Juni 2020, dengan syarat bahwa seluruh rangkain kegiatan harus didasari pada protokol kesehatan dan berkoordinasi dengan gugus tugas berdasarkan prinsip demokrasi.

Persoalan yang hadir kemudian adalah, tentu berdasarkan syarat kondisional dan sekuensial tersebut, maka pilkada dapat diselenggarakan dengan catatan mengikuti protokol kesehatan, yang pada akhirnya akan menguras biaya yang relatif besar.

Komisioner KPU, Arief Budiman, secara terang-terangan mengajukan tambahan anggaran sebesar 535 Milyar, menurutnya biaya tersebut digunakan untuk masker bagi pemilih 105 Juta orang sebesar 263,4 milyar, dan untuk alat kesehatan bagi petugas Tempat Pemungutan Suara (TPS) dan Panitia Pemutakhiran Data Pemilih (Mutarlih) sebesar 259,2 Milyar.

Sebagai catatan biaya tersebut merupakan biaya tambahan, sebab pada dasarnya anggaran pemilihan kepala daerah serentak sebelumnya telah ditetapkan oleh KPU dan 270 Kepala Daerah (yang akan menyelenggarakan Pemilihan) melalui Naskah Perjanjian Hibah Daerah (NPHD) dengan total 9,9 Trilyun.  Ini artinya anggaran pilkada memang murni dari dan berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Lalu ditengah pandemi saat ini, bagaimana kondisi keuangan daerah saat ini?

Berdasarkan uraian salah satu komisioner KPU, Pramono Ubaid T. komunikasi KPU Provinsi dan KPU Kab/Kota dengan Pemda masing-masing, hampir semua Pemda yang menyelenggarakan Pilkada sudah tdk punya anggaran utk memenuhi usulan tambahan tersebut.

Lebih lanjut, ia menyarankan agar dana APBN dapat digunakan untuk membiayai tamabahan yang dibutuhkan dalam pilkada 2020.

Mungkinkan Menggunakan APBN?

Hubungan keuangan pusat dan daerah merupakan hubungan yang didasari pada pembagian kewenangan dan pertanggungjawabannya. Sehingga dalam hal ini keuangan akan mengikuti fungsi dari wewenang yang telah diatribusikan atau yang biasa di istilahkan money follow the function (Kenneth J Davey:1988).

Dalam konteks pemilihan kepala daerah, secara normatif pasca putusan MK Nomor 97/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa pemilihan kepala daerah bukan merupakan rezim pemilihan umum, sehingga dalam hal ini pilkada secara atributif diselenggarakan oleh KPU daerah dan KPU RI sebagai fasilitator serta penanggungjawab akhir dalam rangkaian pemilihan, sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 8 Tahun 2015.

Konsekuensi dari politik hukum tersebut adalah pendanaannya tentu akan bergantung pada masing-masing daerah yang akan menyelenggarakan pemilihan dengan menggunakan skema dana hibah yang dialokasikan dari APBD. 

Untuk itu, skema hibah melalui NPHD ditegaskan melalui Permendagri 54/2019 Tentang Pendanaan Kegiatan Pemilihan Gubernur, Bupati & Wali Kota dan Juga Peraturan perundang-undangan sektoral lainnya.

Lalu bagaimana jika hendak menggunakan skema tambahan biaya dari APBN? Mengingat dalam ketentuan UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU pemilihan menyatakan bahwa anggaran pemilihan dibebankan kepada APBD dan "dapat didukung" dengan APBN.

Pada tataran praktis, ternyata ketentuan demikian belum terimplementasi, sebab pada UU sebelumnya, yaitu UU No. 8 Tahun 2015 mendelegasikan pengaturan lebih lanjut mengenai skema dukungan APBN dalam pilkada ditentukan melalui Peraturan Pemerintah.

Ketentuan demikian kemudian ditiadakan dalam UU No. 10 Tahun 2016 tentang perubahan kedua, sehingga secara relatif, regulasi mengenai dukungan biaya APBN dalam pilkada belum memiliki regulasi yang pasti. Sebab jika merujuk pada Peraturan Menteri No.54/2019, tidak satupun ketentuan pendaaan APBN diatur dalam skema ini.

Persoalan selanjutnya, dapatkah menggunakan skema alokasi dana tambahan melalui prppu No 1 Tahun 2020? Mengingat dalam salah satu ketentuan Perppu tersebut memuat adanya alokasi dana hibah dari pusat saat, dimana alokasi tersebut menentukan bahwa Hibah kepada pemerintah daerah diberikan dalam rangka penanganan bencana alam, bencana non alam, bencana kemanusiaan dan/atau kebijakan stimulus fiskal dalam rangka mengurangi dampak ekonomi atas bencana tersebut (penjelasan Perppu No.1 Tahun 2020 pasal 2 ayat (1) huruf J).

Berdasarkan postulat tersebut, apakah pendanaan penambahan biaya penyelenggaraan pilkada dapat digolongkan dalam keadaan sebagaimana dimaksud?

Hemat penulis tentu tidak bisa, sebab skema perppu tersebut hanya dimaksudkan untuk kegiatan-kegiatan stimulus fiskal dan pendanaan penanggulangan bencana alam/non-alam sebagai konsekuensi dari mandatory spending dalam penanganan pandemi. Sedangkan kegiatan penambahan biaya atas pemilihan kepala daerah merupakan suatu hal kebijakan yang berbeda.

Dalam hal ini jika memang tetap hendak menginginkan pemilihan kepala daerah melalui alokasi APBN, maka beberapa ketentuan harus dipersiapkan seperti regulasi skema pembiayan dukungan APBN yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah artinya menghidupkan kembali pasal 166 ayat (2) UU No.8 Tahun 2015.  

Namun persoalan yang akan muncul kemudian dari skema tersebut adalah masalah pertanggungjawaban pengelolaan dana APBD dan APBN yang relatif akan berbeda. Dalam APBD, KPU Provinsi melaporakan hasil kegiatan pemilihan kepada kepala daerah berdasarkan pengelolaan dana hibah yang telah disepati.

Namun terkait dengan APBN, pertanggungjawaban sedikit memiliki skema yang akan rumit. Dan harus diantisipasi dengan regulasi yang kongkrir, sebab dalam hal ini kendati perppu No. 2 Tahun 2020 telah diterbitkan. Namun hal yang belum dipertimbangkan adalah skema dana yang digunakan dalam pemilihan.

Mungkinkah Pilkada Secara Tidak Langsung?

Pemilihan kepala daerah sebagaimana yang diputuskan oleh MK melalui Putusan No.97/PUU-XI/2013 bukanlah bagian dari rezim pemilihan umum, lebih lanjut, menurut Mahkamah Konstitusi, makna orisinalitas dari pemilihan secara demokratis dalam pemilihan kepala daerah tidaklah harus selalu dipersamakan dengan Pemilihan umum melalui konteks "one man one vote", melainkan dapat menggunakan pendekatan yang tidak menghilangkan esensi dari demokrasi tersebut, termasuk dalam hal ini adalah pemilihan melalui DPRD.

Hemat penulis, dalam kondisi pandemi saat ini, sangat relevan untuk mempertimbangkan konsep pemilihan secara tidak langsung, sebagaimana yang disinggung oleh Mahkamah. Tentunya dalam hal ini, pemilihan dilakukan dengan penambahan formula yang tidak sama persis layaknya pemilihan kepala daerah dalam zaman orde baru.

Konsepsi yang dapat ditawarkan adalah melalui lelang jabatan, yang dilakukan dengan uji publik, uji kelayakan oleh panel dari lokalitas tersebut yang ditentukan persyaratannya oleh Presiden (tampa unsur partai politik). Tentunya ini membutuhkan proses pengawasan dari berbagai lembaga penegak hukum dan keterbukaan informasi yang memadai.

Dari hasil panel tersebut, barulah diberikan 3 bakal calon kepada DPRD yang selanjutnya dilakukan musyawarah dan/atau voting (jika tidak mancapai kata mufakat).  Hal ini tiada lain adalah sebagai langkah alternatif dari upaya memaksakan pemilihan kepala daerah secara langsung. Sebab demoktasi tidak hanya berbicara mengenai bentuk, melainkan subtansi (Jimly Ashiddiqie)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun