A. PERMASALAHAN
Berbicara mengenai masalah kesehatan tidak akan ada habisnya jika dihubungkan dengan kehidupan bermasyarakat. Semua lapisan bertanggung jawab atas tercapainya derajat kesehatan masyarakat Indonesia. Berdasarkan sumber dari Sehat Negeriku Kementerian Kesehatan RI, bahwa mulai tahun 2023, 10 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) wajib dialokasikan untuk kesehatan. Hal ini dilakukan guna memperkuat sistem kesehatan daerah. Nantinya, anggaran tersebut dapat digunakan untuk biaya kesehatan, laboratorium kesehatan, optimalisasi fasilitas pelayanan kesehatan, dan peningkatan alat kesehatan, peningkatan kompetensi, jumlah serta insentif tenaga kesehatan untuk mewujudkan pelayanan kesehatan yang lebih baik (Kementerian Kesehatan RI, 2022).Â
Penggunaan anggaran kesehatan tersebut terbagi menjadi enam prioritas transformasi kesehatan yaitu promotif preventif, restrukturisasi Rumah Sakit, pembangunan sistem ketahanan kesehatan, pengembangan kecukupan sumber daya manusia (SDM) kesehatan, memperbaiki sistem pembiayaan kesehatan, serta menjadikan program kesehatan masa depan berbasis bioteknologi (Kementerian Kesehatan RI, 2022).
Anggaran kesehatan di tahun 2023 naik menjadi Rp 169,8 triliun dari yang sebelumnya Rp 130,4 triliun di tahun 2022. Budi Gunadi Sadikin selaku Menteri Kesehatan menjelaskan alokasi anggaran tersebut akan difokuskan untuk mendukung transformasi kesehatan. Kemenkes akan melakukan transformasi kesehatan enam pilar, yaitu transformasi layanan primer, layanan rujukan, sistem ketahanan kesehatan, sistem pembiayaan kesehatan, sumber daya manusia (SDM), dan teknologi kesehatan. Selain itu, juga dipersiapkan kegiatan rutin berupa belanja pegawai, belanja operasional perkantoran, dan belanja tupoksi non transformasi. Presiden Jokowi juga mengatakan bahwa anggaran kesehatan digunakan untuk merespons kelanjutan penanganan pandemi, reformasi sistem kesehatan, kesinambungan program JKN dan percepatan penurunan stunting.
Namun kenyataannya, berdasarkan identifikasi yang dilakukan KPK terdapat beberapa praktik dalam upaya penanganan prevalensi stunting yang beresiko menimbulkan korupsi. Niken, selaku Koordinator Harian PK mengatakan praktik yang beresiko menimbulkan korupsi terdiri dari tiga aspek, yaitu anggaran, pengadaan, dan pengawasan. Pada aspek penganggaran ditemukan adanya indikasi tumpang tindih perencanaan dan penganggaran antara pemerintah pusat dan daerah. Pada aspek pengadaan, terdapat pengadaan barang yang tidak dibutuhkan. Dan pada aspek pengawasan belum ada pedoman teknis untuk Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) dalam melakukan audit atau pengawasan khusus terkait pelaksanaan program.
B. OPINI
Hal lain yang menjadi perbincangan apakah praktik di lapangan sudah sesuai dengan pernyataan dari KEMENKES tersebut? Di dalam upaya penguatan sistem kesehatan di daerah, Kemenkes telah berkoordinasi dengan Kemendagri untuk mewajibkan 514 Kabupaten/Kota di 34 provinsi mengalokasikan 10 persen dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) untuk anggaran kesehatan. Namun pada prakteknya masih banyak sekali pengelolaan keuangan oleh layanan kesehatan yang masih belum optimal, salah satu contohnya adalah sebuah puskesmas di Kabupaten X. Hal ini menunjukkan bahwa upaya yang dilakukan oleh Kemenkes belum membuahkan hasil yang cemerlang. Hambatan yang dihadapi oleh puskesmas tersebut yang sudah berstatus BLUD (Badan Layanan Umum Daerah) antara lain, pada fungsi pengorganisasian yang masih menunjukkan kendala koordinasi dengan pejabat pelaksana kegiatan, kerjasama antar pemegang program masih kurang, dan mindset pelaksana belum penganggaran berbasis kinerja. Pada fungsi pelaksanaan juga muncul kendala berupa sulitnya mengelola keuangan berbasis akrual, dana BLUD belum dimanfaatkan untuk inovasi pencapaian SPM (Standar Pelayanan Minimal), SPI (Sistem Pengendalian Internal) yang belum berjalan, dan pelaksanaan monitoring belum terpadu terkait penyerapan anggaran berbasis kinerja.
Tantangannya sekarang ini adalah bagaimana anggaran Kementerian Kesehatan yang terbagi menjadi enam prioritas bisa berjalan dengan efektif dan efisien. Mengingat lagi dana yang digelontorkan tidak main-main nominalnya, yakni senilai Rp. 178,7 Triliun dari total anggaran kesehatan. Di sisi lain prioritas pertama pada program KEMENKES yang sifatnya promotif dan preventif seperti revitalisasi puskesmas, posyandu tidak akan dapat berjalan baik tanpa adanya monitoring yang berkelanjutan dan sistem yang terstruktur. Terlebih lagi dengan pembentukan Badan Layanan Umum Daerah (BLUD), termasuk puskesmas.Â
Perubahan ini berimbas pada pertanggungjawaban keuangan yang tidak lagi ditujukan kepada Kementerian Kesehatan melainkan kepada Kementerian Keuangan. Hal ini menyebabkan pengelolaan keuangan harus mengikuti standar akuntansi dan mengacu pada prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi dan efisiensi. Selain itu, anggaran yang akan disusun pun harus berbasis kinerja (Laeliyah, 2017; Pani, 2012). Bagian ini harus menjadi fokus pemerintah, terutama Kementerian Kesehatan dan Keuangan agar nantinya kebijakan atau program yang dihasilkan dapat berdampak positif bagi pelayanan kesehatan di Indonesia.
Banyaknya Anggaran Pendapatan Belanja dan Negara (APBN) yang digelontorkan akan terbagi pada beberapa kebutuhan terutama pada pelaksanaan transformasi kesehatan sebesar 89 persen, sesuai dengan penjelasan bapak menteri pada saat konferensi pers: Nota Keuangan & RUU APBN 2023 dimana bapak presiden menegaskan adanya transformasi kesehatan. Penggunaan anggaran sebesar itu tentunya tidak lepas dari berbagai tindakan dimana terdapat tiga aspek yang perlu diperhatikan yakni anggaran, pengadaan, dan juga pengawasan.Â
Dalam tahap pengawasan pada hal ini Komisi Pemberantasan Korupsi mendapatkan informasi terkait pengadaan pada program penurunan prevalensi stunting yang tidak memberikan manfaat optimal dimana ada indikasi tumpang tindih perencanaan dan penganggaran pada pemerintah pusat dan daerah, sementara dalam aspek pengadaan terdapat pengadaan barang yang tidak dibutuhkan. Hal ini juga disebabkan oleh aspek pengawasan yang tidak mempunyai pedeman teknis untuk aparat pengawasan intern pemerintah (APIP) didalam melakukan audit atau pengawasan khusus pada setiap program. Dengan adanya beberapa persoalan diatas maka dapat sangat beresiko terhadap penyimpangan dan berujung pada tindak pidana korupsi, hal tersebut tidak dapat disepelekan dan oknum yang menjadi kunci utama masalah tersebut tidak dapat dibiarkan karena dapat berpengaruh terhadap pelayanan kesehatan gizi yang diberikan kepada masyarakat.
Maka, itulah pentingnya dilakukan evaluasi dan pengawasan terhadap pembiayaan kesehatan yang dilakukan, mulai dari lingkungan kerja pelayanan kesehatan yang paling dasar yakni puskesmas. Jika evaluasi dan pengawasan ini dilakukan dengan maksimal, maka budget pembiayaan pelayanan kesehatan dan segala pembiayaan yang berkaitan dengan masyarakat dapat terjamah dan terlaksana dengan baik pula sesuai dengan tujuan negara untuk meningkatkan derajat kesehatan nasional.
Penulis:
- Ina Mardiana Putri,
- Novi Dwi Ariyani,
- Puteri Zawaliya Munarwi,
- Reza Azis Fahrezi,
- Salma Nilasalsabila,
- Ronal Surya Aditya,
- Dian Mawarni
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H