[caption id="attachment_165149" align="alignright" width="300" caption="wikimedia.org"][/caption]
Oleh Reza A.A Wattimena
Dosen di UNIKA Widya Mandala, Surabaya
Para pelaku kejahatan tidaklah harus orang-orang jahat berhati kejam penuh dendam. Orang-orang biasa pun bisa melakukan kejahatan besar, ketika ia tidak memiliki imajinasi untuk membayangkan posisi orang lain, dan tidak berpikir kritis di dalam melihat keadaan secara lebih luas. (Arendt, 1963) Analisis Arendt pada hemat saya bisa digunakan untuk memahami berbagai tragedi di Indonesia.
Banalitas Kejahatan di Indonesia
Salah satunya yang terbesar adalah penangkapan dan pembantaian orang-orang yang dituduh PKI pada 1965-1969. Pelaku penangkapan dan pembantaian tersebut adalah militer dan sipil di berbagai penjuru di Indonesia. Para pelaku tersebut bukanlah orang-orang jahat yang berhati kejam. Sebaliknya sama seperti Eichmann, mantan perwira Nazi Jerman yang diadili di Israel, mereka adalah orang-orang biasa, yakni rakyat kebanyakan, dan militer yang patuh pada perintah atasan.
Dan sama seperti Eichmann, mereka adalah orang-orang yang miskin imajinasi, sehingga tak mampu membayangkan perasaan orang-orang yang mereka tangkap atau bantai pada masa-masa itu. Mereka adalah orang-orang yang tak berpikir, karena hanya asal menjalankan perintah dan mengikuti trend umum masyarakat (menangkap dan membantai), sehingga pembantaian pun dilihat sebagai suatu tindakan yang biasa-biasa saja.
Hal yang sama kiranya terjadi pada era 1996-1999 di Indonesia, yakni penculikan aktivis pro demokrasi di masa rezim otoriter Orde Baru. Pelaku penculikan mayoritas adalah anggota militer, walaupun ini masih bisa diperdebatkan. Mereka menangkap, menculik, menyiksa, dan bahkan membunuh aktivis-aktivis pro demokrasi yang pada waktu itu mayoritas adalah mahasiswa. Mereka tak peduli akan ketakutan dan penderitaan yang dialami oleh korban penculikan.
Yang ada di pikiran mereka hanya satu, yakni menjalankan perintah, tanpa pernah sungguh bertanya, apakah perintah itu masuk akal atau tidak? Apakah perintah itu manusiawi atau tidak? Sama seperti Eichmann para pelaku penculikan aktivis tersebut bukanlah orang-orang yang kejam dan jahat, namun hanya orang-orang biasa yang miskin imajinasi dan tak berpikir, yang melihat tindakan jahat sebagai suatu tindakan yang wajar (banal).
Pembantaian dan Diskriminasi
Fenomena penculikan, penyiksaan, pembunuhan, dan pembantaian massal adalah fenomena universal umat manusia. Artinya kita bisa menemukan peristiwa-peristiwa semacam ini di berbagai peradaban di berbagai lintasan waktu. Belajar dari Arendt kita bisa menemukan dua ciri mendasar dari fenomena ini.
Yang pertama adalah distorsi persepsi dari pelaku tentang korbannya. Orang bisa menculik, menyiksa, dan membunuh orang lain, karena ia tidak melihat orang lain tersebut sebagai manusia, melainkan semata sebagai benda, atau bahkan musuh yang harus dihancurkan. Distorsi persepsi mengaburkan pandangan orang tentang dunia, dan ini jelas amat mempengaruhi tindakannya.
Yang kedua adalah ketidakberpikiran. Ketika bertindak jahat orang menutup imajinasinya, sehingga ia tidak bisa membayangkan perasaan dan ketakutan korbannya. Dan belajar dari Arendt, kita bisa tahu, bahwa orang-orang biasa pun bisa melakukannya, tidak hanya orang-orang yang memang berhati kejam. Dua ciri ini bisa kita temukan di berbagai peristiwa penculikan, penyiksaan, pembunuhan, dan pembantaian massal di berbagai peradaban sepanjang sejarah manusia.
Dari pemikiran Arendt kita bisa mengajukan satu argumen kontroversial, bahwa kejahatan terbesar justru dilakukan oleh orang-orang biasa yang tidak merasa melakukan tindakan jahat, tetapi melihat kejahatan semata sebagai sesuatu yang wajar. Dalam konteks ini ada satu penyakit sosial yang telah lama diderita oleh masyarakat Indonesia, yakni diskriminasi sistemik.
Diskriminasi sistemik adalah tindakan meniadakan atau mengecilkan peran seseorang di masyarakat, karena latar belakang suku, agama, rasa, ataupun golongannya di masyarakat. Misalnya etnis minoritas yang tidak akan pernah menjabat sebagai presiden, sulitnya kelompok minoritas memasuki perguruan tinggi negeri, sulitnya penganut agama minoritas, dan berbagai diskriminasi lainnya.
Disebut bersifat sistemik karena kejahatan ini telah begitu mengakar pada budaya maupun sistem birokrasi di Indonesia, sehingga tidak lagi dilihat sebagai suatu tindakan jahat, namun sebagai tindakan yang sewajarnya dilakukan (banal). Pada titik ini analisis Arendt jelas amat relevan untuk memahami permasalahan diskriminasi sistemik di Indonesia. Para pelaku dari kejahatan ini bukanlah orang-orang kejam, melainkan orang-orang yang tidak berpikir secara mendalam, dan tak punya imajinasi untuk membayangkan penderitaan orang lain.
Miskin Sikap Kritis
Dengan berpijak pada pemikiran Arendt, kita bisa menyimpulkan satu argumen sederhana, bahwa akar kejahatan tidak melulu kebencian, dendam, ataupun pikiran kejam, melainkan sikap patuh buta pada sistem dan aturan, yang tidak disertai dengan sikap kritis maupun reflektif.
Kejahatan semacam ini memiliki dampak amat besar, namun pelakunya adalah orang-orang biasa yang tidak merasa berbuat jahat. Mirip seperti seekor monyet yang menyelamatkan ikan, karena ia mengira, ikan itu tenggelam di air. Akhirnya si monyet justru membunuh si ikan, walaupun niat awalnya adalah menolong si ikan.
Yang perlu dilakukan kemudian adalah pendidikan untuk berpikir kritis dan reflektif di dalam bertindak dan memahami pelbagai hal di dunia. Berpikir kritis berarti orang mampu mengambil jarak dari peristiwa yang dialaminya, bersikap skeptik, lalu membuat penilaian secara tepat atas peristiwa tersebut. Berpikir reflektif berarti melihat ke dalam diri sendiri, lalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan, apakah jalan yang ditempuhnya sudah tepat.
Pola semacam ini tidak hanya diterapkan di sekolah, tetapi juga di dalam keluarga. Hanya dengan mengembangkan pola berpikir kritis dan reflektif di berbagai segi kehidupan bangsa, Indonesia bisa terhindar dari penyakit tak berpikir dan kemiskinan imajinasi yang mematikan kehidupan bersama.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI