Fenomena penculikan, penyiksaan, pembunuhan, dan pembantaian massal adalah fenomena universal umat manusia. Artinya kita bisa menemukan peristiwa-peristiwa semacam ini di berbagai peradaban di berbagai lintasan waktu. Belajar dari Arendt kita bisa menemukan dua ciri mendasar dari fenomena ini.
Yang pertama adalah distorsi persepsi dari pelaku tentang korbannya. Orang bisa menculik, menyiksa, dan membunuh orang lain, karena ia tidak melihat orang lain tersebut sebagai manusia, melainkan semata sebagai benda, atau bahkan musuh yang harus dihancurkan. Distorsi persepsi mengaburkan pandangan orang tentang dunia, dan ini jelas amat mempengaruhi tindakannya.
Yang kedua adalah ketidakberpikiran. Ketika bertindak jahat orang menutup imajinasinya, sehingga ia tidak bisa membayangkan perasaan dan ketakutan korbannya. Dan belajar dari Arendt, kita bisa tahu, bahwa orang-orang biasa pun bisa melakukannya, tidak hanya orang-orang yang memang berhati kejam. Dua ciri ini bisa kita temukan di berbagai peristiwa penculikan, penyiksaan, pembunuhan, dan pembantaian massal di berbagai peradaban sepanjang sejarah manusia.
Dari pemikiran Arendt kita bisa mengajukan satu argumen kontroversial, bahwa kejahatan terbesar justru dilakukan oleh orang-orang biasa yang tidak merasa melakukan tindakan jahat, tetapi melihat kejahatan semata sebagai sesuatu yang wajar. Dalam konteks ini ada satu penyakit sosial yang telah lama diderita oleh masyarakat Indonesia, yakni diskriminasi sistemik.
Diskriminasi sistemik adalah tindakan meniadakan atau mengecilkan peran seseorang di masyarakat, karena latar belakang suku, agama, rasa, ataupun golongannya di masyarakat. Misalnya etnis minoritas yang tidak akan pernah menjabat sebagai presiden, sulitnya kelompok minoritas memasuki perguruan tinggi negeri, sulitnya penganut agama minoritas, dan berbagai diskriminasi lainnya.
Disebut bersifat sistemik karena kejahatan ini telah begitu mengakar pada budaya maupun sistem birokrasi di Indonesia, sehingga tidak lagi dilihat sebagai suatu tindakan jahat, namun sebagai tindakan yang sewajarnya dilakukan (banal). Pada titik ini analisis Arendt jelas amat relevan untuk memahami permasalahan diskriminasi sistemik di Indonesia. Para pelaku dari kejahatan ini bukanlah orang-orang kejam, melainkan orang-orang yang tidak berpikir secara mendalam, dan tak punya imajinasi untuk membayangkan penderitaan orang lain.
Miskin Sikap Kritis
Dengan berpijak pada pemikiran Arendt, kita bisa menyimpulkan satu argumen sederhana, bahwa akar kejahatan tidak melulu kebencian, dendam, ataupun pikiran kejam, melainkan sikap patuh buta pada sistem dan aturan, yang tidak disertai dengan sikap kritis maupun reflektif.
Kejahatan semacam ini memiliki dampak amat besar, namun pelakunya adalah orang-orang biasa yang tidak merasa berbuat jahat. Mirip seperti seekor monyet yang menyelamatkan ikan, karena ia mengira, ikan itu tenggelam di air. Akhirnya si monyet justru membunuh si ikan, walaupun niat awalnya adalah menolong si ikan.
Yang perlu dilakukan kemudian adalah pendidikan untuk berpikir kritis dan reflektif di dalam bertindak dan memahami pelbagai hal di dunia. Berpikir kritis berarti orang mampu mengambil jarak dari peristiwa yang dialaminya, bersikap skeptik, lalu membuat penilaian secara tepat atas peristiwa tersebut. Berpikir reflektif berarti melihat ke dalam diri sendiri, lalu mengajukan pertanyaan-pertanyaan, apakah jalan yang ditempuhnya sudah tepat.
Pola semacam ini tidak hanya diterapkan di sekolah, tetapi juga di dalam keluarga. Hanya dengan mengembangkan pola berpikir kritis dan reflektif di berbagai segi kehidupan bangsa, Indonesia bisa terhindar dari penyakit tak berpikir dan kemiskinan imajinasi yang mematikan kehidupan bersama.