Mohon tunggu...
Reza Akbar Nurokhman
Reza Akbar Nurokhman Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga

Saya adalah mahasiswa tahun pertama semester 2 Universitas Airlangga, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Prodi Ekonomi Pembangunan, saya memiliki ketertarikan dalam bidang ekonomi, politik, sosial, pendidikan, dan banyak hal terutama dalam bidang sosial masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

RUU Perampasan Asset, Sampai Kapan Akan Mengawang?

11 Mei 2023   17:32 Diperbarui: 11 Mei 2023   19:29 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sementara, nominal tukin pegawai DJP eselon III sebagaimana termaktub dalam Perpres No 37 Tahun 2015 adalah Rp5.361.800 sampai Rp46.478.000 per bulan. Sehingga uang yang bisa dikantongi untuk golongan III terendah saja sekitar Rp8,26 juta dan tertinggi Rp51,67 juta setiap bulannya. Sebagai Kepala Bagian dan Eselon III, ia juga mendapat tunjangan kinerja paling rendah Rp37,21 juta hingga tertinggi Rp46,47 juta per bulan, sangat tidak masuk akal jika Rafael memiliki harta kekayaan yang sangat fantastis.

Jauh sebelum ramai kasus eks pegawai DJB diperbincangkan. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menangkap Gubernur Papua Lukas Enembe di Kota Jayapura, Papua, Selasa (10/1/2023). Lukas Enembe merupakan tersangka kasus gratifikasi senilai Rp1 miliar sejak 5 September 2022; Tersangka kasus penerimaan gratifikasi ini melaporkan total harta kekayaan bersih sebesar Rp33 miliar pada 31 Maret 2022, tetapi muncul dugaan harta kekayaan yang dilaporkannya tidak sesuai. Tak hanya itu ia pun kedapatan sering menggunakan Jet Pribadi untuk melakukan perjalanan dinasnya.

Para pejabat masih berani untuk memamerkan harta kekayaan dan melakukan tindakan korupsi karena Indonesia belum mengatur pemidanaan terhadap pejabat negara yang memiliki harta yang tidak sah (illicit enrichment). Padahal, pada Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Pemberantasan Korupsi (United Nations Convention against Corruption atau UNCAC) sudah mengatur soal kriminalisasi illicit enrichment ini.

Karena ketiadaan pengaturan ini, maka seolah-olah boleh saja pejabat berharta banyak walau sumbernya patut dicurigai, sepanjang tidak ketahuan bahwa hartanya diperoleh secara tidak sah atau berasal dari tindak pidana. Sehingga, Undang-Undang (UU) Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) perlu segera direvisi dengan memidana peningkatan kekayaan pejabat yang tidak sah.

Pakar hukum pidana dari Universitas Trisakti Jakarta Abdul Fickar Hadjar mengatakan, RUU Perampasan aset yang disahkan, nantinya akan sejalan dengan UU Korupsi, dan bisa memperpendek waktu dengan bisa merampas aset secara paksa terhadap barang atau harta negara hasil korupsi atau tindak pidana lainnya.

Banyaknya kasus korupsi yang terjadi di Indonesia tentu berpengaruh pada skor Indeks Persepsi Korupsi (IPK/CPI) Indonesia Penilaian yang dilakukan oleh Transparency International Indonesia (TTI) pada tahun 2022 mengenai Indeks Persepsi Korupsi membuat posisi Indonesia semakin mendekati deretan negara-negara terkorup di dunia.

TTI menyampaikan bahwa hasil Indonesia tahun 2022 berada di skor 34. Angka itu turun empat poin dibanding pada 2021 berada di peringkat 110 dari 180 negara disurvei.

Bukan hanya kesalahan para penegak hukum yang gagal untuk menindak korupsi secara konsisten. Kegagalan ini justru secara sistemik berawal dari ketidaksiapan aturan anti-korupsi di Indonesia. Tentu saja bukan merupakan tugas KPK atau penegak hukum lainnya seperti Kepolisian dan Kejaksaan untuk membuat UU yang baik guna terciptanya sistem pemberantasan korupsi yang baik Dengan salah satu fungsinya yaitu fungsi legislasi, maka DPR-lah yang sepatutnya dipersalahkan karena gagal membuat UU Tipikor yang sejalan dengan standar pemberantasan korupsi global.

Penyitaan aset korupsi atau harta kekayaan merupakan upaya paksa dari tindakan penyidik yang bertujuan untuk mencegah hilangnya harta kekayaan negara akibat tindak kejahatan. Sedangkan perampasan aset atau harta kekayaan yang disita dari hasil tindak pidana korupsi berdasarkan putusan hakim yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap yang merupakan upaya pengembalian kerugian keuangan negara atau sebagai pidana tambahan.

Harta kekayaan atau barang yang dapat disita menurut Pasal 39 ayat 1 KUHAP adalah sebagai berikut:

  1. Benda atau tagihan tersangka atau terdakwa yang seluruh atau sebagian diduga diperoleh dari tindakan pidana atau sebagai hasil dari tindak pidana;
  2. Benda yang telah dipergunakan secara langsung untuk melakukan tindak pidana atau untuk mempersiapkannya;
  3. Benda yang dipergunakan untuk menghalang-halangi penyidikan tindak pidana;
  4. Benda yang khusus dibuat atau diperuntukkan melakukan tindak pidana;
  5. Benda lain yang mempunyai hubungan langsung dengan tindak pidana yang dilakukan

Adapun menurut Bahder Johan Nasution, harta benda selain dari hasil tindak pidana korupsi yang dapat dirampas adalah harta benda seseorang atau suatu badan yang dengan sengaja tidak diterangkan olehnya atau oleh pengurusnya, harta yang tidak jelas siapa pemiliknya dan harta benda seseorang yang kekayaannya setelah diselidiki dianggap tidak seimbang dengan penghasilan mata pencahariannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun