Tarik Ulur Pembahasan RUU Perampasan Aset
Pembahasan mengenai RUU Perampasan Aset sudah menjadi isu yang digabungkan dari jauh jauh hari. Tahun 2008 menjadi tahun pertama penyusunan RUU Perampasan Aset yang diinisiasi oleh Pelaporan dan Analisis Transaksi keuangan (PPATK).
Dalam KUHP, KUHAP, dan Undang Undang Tipikor telah ditetapkan hukum pidana dan perdata mengenai perampasan aset, namun ketentuan tersebut tidak efektif dalam menindak kasus korupsi di Indonesia. Selain itu Indonesia juga tergabung dalam (United Nations Convention Against Corruption) UNCAC. UNCAC telah mengatur mekanisme yang dianggap lebih efektif dalam upaya perampasan aset, maka indonesia harus menyesuaikan ketentuan hukum dengan UNCAC.
Pada tahun 2010, RUU Perampasan Aset selesai dibahas di dalam internal kementerian dan akan diteruskan ke tahap selanjutnya. Pada tahun 2011, draft RUU Perampasan Aset diserahkan pada presiden. Tahun 2012, naskah akademik RUU Perampasan Aset disusun oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) Kemenkumham RI. Pada tahun 2019, RUU Perampasan Aset diserahkan pada DPR dan sampai saat ini tidak ada tindak lanjut dari DPR. Bahkan, pada tahun 2021 DPR menolak melakukan pembahasan RUU Perampasan Aset.
Dilansir dari CNN, ketua komisi III DPR, Bambang Wuryanto, mengaku belum menerima naskah RUU Perampasan Aset, "kalau perampasan aset sudah pasti tidak dari DPR, tunggu dari Presiden RUU perampasan aset belum masuk," ujarnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (9/2).
Pemerintah yang seharusnya menjadi lembaga pembuat regulasi hukum tidak sepatutnya melakukan tindakan lempar tangan, terutama dalam pembuatan RUU sepenting perampasan aset. Menurut Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, kekuasaan dalam membentuk UU merupakan kewenangan DPR. Proses pembuatan Undang Undang diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (pasal 16 sampai 23, pasal 43 sampai 51 dan pasal 65 sampai 74). Berdasarkan ketentuan tersebut, berikut adalah proses pembentukan undang-undang:
- Sebuah RUU dapat diajukan oleh presiden, DPR, dan DPD
- RUU yang diajukan oleh pihak pada nomor 1 diteruskan pada lembaga yang bersangkutan.
- RUU lalu diajukan dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) oleh DPR untuk jangka waktu 5 tahun
- RUU yang diajukan harus dilengkapi dengan naskah akademik kecuali RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), RUU Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perpu) selanjutnya menjadi Undang-undang serta RUU pencabutan undang undang atau pencabutan perpu
- RUU dilanjutkan dengan pemaparan oleh pimpinan DPR kepada seluruh anggota dewan saat rapat paripurna
- Dalam rapat paripurna selanjutnya diputuskan apakah RUU tersebut akan disetujui, disetujui dengan perubahan, atau ditolak untuk dibahas lebih lanjut
- Jika pembahasan disetujui maka RUU akan ditindaklanjuti dengan dua tingkat pembicaraan
- Pembicaraan tingkat pertama dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat badan legislasi, rapat badan anggaran, atarapat panitia khusus.
- Pembicaraan tingkat II dilakukan di rapaparipurna yang berisi: penyampaian laporan terkait proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD, dan hasil Pembicaraan tingkat I
- Apabila tidak tercapai kata sepakat melalui musyawarah mufakat, keputusan diambil dengan suara terbanyak
- Bila RUU mendapat persetujuan DPR dan perwakilan pemerintah, maka kemudian diserahkan ke Presiden untuk diberikan tanda tangan.
- Apabila RUU tidak ditandatangani oleh Presiden dalam kurun waktu 30 hari terhitung sejak RUU disetujui bersama, RUU tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan
- Setelah Undang-Undang tersebut diundangkan DPR wajib menyebarluaskan Undang-Undang tersebut melalui media cetak elektronik maupun media cetak. penyebarluasan dilakukan oleh DPR pemerintah di setiap proses pembentukan Undang-Undang
Berdasarkan penjelasan diatas, DPR tidak melaksanakan tupoksinya sebagai lembaga legislasi sebagaimana yang tertera dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 20A ayat (1), DPR seharusnya melakukan fungsi legislasi, tetapi malah melakukan penghapusan dalam pembahasan RUU perampasan aset pada Prolegnas di tahun 2021, hal ini jelas akan semakin merusak kepercayaan publik terhadap anggota DPR.
Urgensi RUU Perampasan Aset Segera Untuk Disahkan
Rancangan Undang-Undang (RUU) Perampasan Aset dinilai sangat dibutuhkan Indonesia saat ini, agar aset negara yang banyak dicuri dapat dikembalikan dengan cepat, tanpa proses peradilan pidana maupun perdata yang panjang. Kasus harta kekayaan yang tidak wajar Pejabat Eselon III DJB, Rafael Alun Trisambodo, merupakan salah satu dari sekian banyak pejabat yang terungkap dan bisa saja masih ada diluar sana pejabat yang masih belum tersiar harta kekayaannya.
Rafael terseret karena ulah anaknya memamerkan kekayaan serta terlibat dalam kasus pengeroyokan. Ditambah lagi, mobil mewah Jeep Rubicon yang dipamerkan menggunakan plat nomor palsu, setelah dicek kembali plat nomor yang sesungguhnya ternyata pajaknya belum dibayarkan.
Dari catatan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN), jumlah kekayaan Rafael terbilang fantastis karena melampaui atasannya yakni Dirjen Pajak, Suryo Utomo. Bahkan, kekayaan itu hampir mendekati Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati. Berdasarkan PP No 15 Tahun 2019, gaji pokok yang diterima Rafael sebagai pejabat eselon III DJP sebesar:
- Golongan III a : Rp2.920.800 sampai Rp4.797.000.
- Golongan IV a : Rp3.044.300 sampai Rp5.000.000.
- Golongan IV b : Rp3.173.100 sampai Rp5.211.500.