Mohon tunggu...
Reza Akbar Nurokhman
Reza Akbar Nurokhman Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga

Saya adalah mahasiswa tahun pertama semester 2 Universitas Airlangga, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Prodi Ekonomi Pembangunan, saya memiliki ketertarikan dalam bidang ekonomi, politik, sosial, pendidikan, dan banyak hal terutama dalam bidang sosial masyarakat.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

RUU Perampasan Asset, Sampai Kapan Akan Mengawang?

11 Mei 2023   17:32 Diperbarui: 11 Mei 2023   19:29 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Penjelasan mengenai RUU Perampasan Aset

RUU Perampasan Aset merupakan rancangan kebijakan yang dilakukan untuk menyita dan merampas hasil tindak pidana dari pelaku tindak pidana. Tidak hanya memindahkan sejumlah harta kekayaan dari pelaku kejahatan kepada masyarakat, tetapi juga akan memperbesar kemungkinan masyarakat untuk mewujudkan tujuan bersama yaitu terbentuknya keadilan dan kesejahteraan bagi semua anggota masyarakat.   

Sebelumnya, sudah ada kebijakan untuk mengatur tentang tindak pidana dan perampasan aset melalui mekanisme hukum pidana yang didasarkan pada UU 31 Tahun 1999 Pasal 28 ayat (1) yang menyebutkan bahwa selain pidana tambahan yang terdapat pada KUHP, pidana tambahan menurut UU TIPIKOR adalah :

  1. Perampasan yang digunakan atau diperoleh dari tindak pidana korupsi.
  2. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi.

Menurut ahli hukum, Romli Atmasasmita, bahwa kenyataan saat ini dalam upaya penegakan hukum khususnya terhadap tindak pidana korupsi tidak membuahkan hasil yang signifikan terhadap kas negara. Selain itu, ia juga menyatakan bahwa perangkat hukum yang berlaku di Indonesia saat ini belum mampu mengatur dan menampung kegiatan-kegiatan dalam rangka pengembalian aset hasil korupsi dan kejahatan di bidang keuangan dan perbankan pada umumnya secara maksimal.

Dalam sistem hukum di Indonesia, perampasan aset merupakan bagian dari pidana tambahan berupa perampasan barang-barang tertentu hasil tindak pidana. Saat ini ketentuan penyitaan dan perampasan aset hasil tindak pidana hanya dapat dilakukan setelah seluruh proses penegakan hukum memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan tetap. Ketentuan lain mengenai penyitaan terdapat pada Pasal 39 KUHAP yang didalamnya berisi ketentuan barang-barang yang dapat dikenakan penyitaan.

Barang-barang tersebut yaitu hanya barang yang berkaitan langsung dengan tindakan pidana. Hal tersebut tentunya tidak efektif untuk menangani kasus tindak pidana korupsi, dikarenakan aparat penegak hukum yang melakukan penyitaan atau perampasan harus terlebih dahulu memilah barang mana saja yang berkaitan langsung atau tidak dengan tindak pidana. Tentunya, hal tersebut membutuhkan waktu yang cukup lama, sedangkan penyitaan dan perampasan aset membutuhkan kecepatan. Hal ini guna menghindari aset yang ada agar tidak berpindah tangan.

Berbeda, negara common law seperti Amerika Serikat, justru menggunakan konsep kebijakan civil forfeiture untuk mengungkap aset yang tidak wajar. Mahkamah Agung Amerika Serikat memutuskan bahwa aset hasil dari pelanggaran dapat disita tanpa mempertimbangkan kedudukan pemilik aset dalam pelanggaran yang dilakukannya.

Penerapan civil forfeiture mempermudah pengambilan aset dalam proses pembuktian di persidangan karena menggunakan hukum perdata yang standar pembuktiannya lebih rendah dari hukum pidana. Selain itu, civil forfeiture menggunakan sistem pembuktian terbalik, dimana pemerintah cukup mempunyai bukti awal bahwa aset yang akan diambil memiliki hubungan dengan tindak pidana. Contohnya, pemerintah cukup menghitung berapa pendapatan dari si koruptor dan membandingkan dengan aset yang dimilikinya. Jika aset tersebut melebihi dari jumlah pendapatan si koruptor, maka tugas si koruptor lah untuk membuktikan bahwa aset tersebut didapatkan melalui jalur yang sah.

Pengelolaan hasil rampasan sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 145/PMK.06/2021, memperlakukan barang rampasan sebagai aset yang berada pada pengurus barang. Oleh karenanya, mekanisme pengelolaan barang rampasan disamakan dengan mekanisme pengelolaan Barang Milik Negara pada Pengguna Barang. Hal itu tercermin dari pengelolaan yang dilakukan atas dasar usulan dari Pengguna Barang.

Dalam mengelola barang rampasan, Pengurus Barang memiliki fungsi sebagaimana halnya Pengguna Barang untuk Barang Milik Negara lainnya. Fungsi tersebut diantaranya meliputi fungsi penatausahaan, pengamanan, dan pengelolaan. Selain itu, Pengurus Barang juga

memiliki fungsi eksekutorial yang memungkinkan Pengurus Barang melakukan tindakan eksekutorial berupa penjualan secara lelang atas barang rampasan tanpa melalui persetujuan Pengelola Barang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun