Cerpen karya: Reyzeta Nabila Oriza Putri
Tiga tahun mengenalnya, tidak pernah ku dapati ia semurung ini. Tiga tahun menjalin hubungan persahabatan dengannya tidak pernah ku dapati ia semenyedihkan dan seputus asa sekarang. Untuk gadis remaja yang baru saja menginjakkan umur enam belas tahun aku tahu ini tidak mudah untuk diterima olehnya. Aku tahu, akan sangat sulit mengikhlaskan satu satunya orang yang kita punya di dunia. Akan sangat sulit melepaskan seseorang yang selama ini menjadi pelindung, menjadi sumber kekuatan atau bahkan alasan satu satunya yang ia punya untuk tetap bertahan hidup di bumi yang fana ini.
Tetapi, disamping semua itu aku juga tahu, aku juga yakin bahwa, ia adalah sosok perempuan yang kuat dan tidak mudah rapuh. Walaupun sempat beberapa kali aku mendapati ia yang mencoba bunuh diri, tetapi aku yakin bahwa di dalam hati kecilnya ia masih menginginkan hidup. Ia masih ingin mengejar cita-cita serta mewujudkan mimpi kecilnya. Ia masih ingin berusaha membuktikan kepada semua orang---terutama ayahnya---bahwa ia bisa menjadi seorang penulis hebat seperti sang ibu. Tetapi sayangnya semua itu harus ia korbankan hanya karena perasaan sedih, marah, kecewa, sertu putus asa yang membelenggu di dalam dirinya. Yang membuat ia tidak lagi menginginkan apapun selain mengakhiri hidupnya.
Dan semua itu berawal sejak kejadian tiga bulan yang lalu. Kejadian paling pilu yang menimpa ayah dari seorang gadis bernama Khadijah Terung yang mana ia sendiri merupakan sahabatku. Hari itu, ayahnya yang bernama Sulaiman, yang ketika itu terlilit hutang bermilyar-milyaran, dibunuh oleh sekawanan orang-orang suruhan. Dari desas-desus yang ku dengar, katanya karena ayahnya tidak menepati janji untuk membayar hutang. Alhasil beliau dibunuh dan mayatnya di buang begitu saja di sebuah hutan yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kampung kami. Untunglah Pak Suto--yang saat itu tengah mencari kayu di hutan---menemukan seorang laki-laki terbujur mengenaskan dengan darah disekujur tubuhnya. Tentu saja yang dilakukan Pak Suto saat itu adalah memanggil warga setempat untuk kemudian bersama-sama menggotong jasad Pak Gerald---ayah Khadijah.
Sedang khadijah, yang saat itu baru pulang sekolah langsung menangis seraya berlari masuk ke dalam rumah. Dengan tangan yang bergemetar, tubuh ayahnya yang penuh luka luka itu ia guncang, berharap laki laki yang sudah berumur kepala empat itu kembali membuka kedua matanya.
Bibirnya pun tak mau kalah, ia ikut berteriak seraya berkata, "Ayah jangan tinggalkan aku!"
Alhasil karena aksinya, para tetangga menatapnya iba. Tak sedikit pula dari mereka yang ikut meneteskan air mata melihat pemandangan itu. Bahkan, aku yang ketika itu duduk di sebelahnya sembari mencoba untuk menenangkan dirinya, ikut menangis melihat Khadijah yang biasanya selalu ceria berubah sangat menyedihkan.
Selepas dari kejadian itu, Khadijah berubah menjadi sosok pendiam. Tubuhnya kurus karena kurang makan. Hari-harinya yang dulu penuh tawa kini hanya ia habiskan di dalam kamar. Duduk di tepi ranjang, seraya menatap kosong keluar jendela. Begitu seterusnya. Sampai-sampai aku dan Bi Sumi---pembantu di rumahnya---kewalahan membujuknya untuk makan atau pergi ke sekolah.
"Tidak mau, Tha. Aku tidak lapar. Aku cuma mau ayah pulang," adalah kalimat yang selalu ia ucapkan tiap kali aku membujuknya untuk makan. Kalimat yang selalu berhasil membuat bibirku bungkam. Sama seperti sekarang, aku kembali terdiam ketika ia mengucapkan kalimat itu, yang entah sudah keberapa ratus kali diucapkannya. Tetapi, kali ini ia berujar dengan diiringi tangis paling pilu yang pernah ku dengar. Dan yang bisa ku lakukan hanya mengelus punggungnya, berharap dengan begitu ia sedikit merasa lebih tenang.
"Sudahlah, Khadijah. Kau tak perlu menangis. Kau masih memiliki aku. Hidupmu masih panjang, tidak baik bila hanya kau habiskan untuk meratapi kesedihanmu. Ingatlah bahwa bukan hanya kau, tetapi setiap orang pasti akan merasakan kehilangan. Karena yang namanya manusia, akan kembali pulang ke sisi sang pencipta. Begitu pula dengan aku, kau, dan semua makhluk yang ada di dunia."
Khadijah terdiam. Dahinya sedikit berkerut, tampak berpikir. Entah apa yang ada di kepalanya saat ini, tetapi sedetik kemudian ia mengucapkan kalimat yang membuatku melongo tak percaya.
"Tita, mau tidak kau temani aku ke Tionghoa? Aku ingin menonton pertunjukan wayang."
****
Aku ingat, Khadijah pernah berkata padaku bahwa semasa ia kecil dulu ayahnya selalu membawanya pergi ke Tionghoa. Entah itu sekadar jalan jalan atau menonton pertunjukan wayang. Tetapi, jika sekarang Khadijah mengajakku kesana untuk menonton wayang, itu sangat sangat mustahil untuk ku lakukan. Tionghoa bukanlah tempat yang dekat. Dan aku hanyalah gadis berusia 15 tahun yang tidak memiliki kendaraan untuk bisa sampai kesana dalam sekejap.
Pada akhirnya, dengan sedikit merasa menyesal karena tidak dapat memenuhi permintaan Khadijah, aku berkata, "maaf, Khadijah. Bukannya aku tidak mau. Tetapi, aku tidak bisa membawamu kesana. Bagaimana kalau kita menonton pertunjukan wayang tahun dep---"
Ucapanku terhenti ketika Khadijah dengan cepat memotong ucapanku.
"tidak perlu minta maaf Tita. Kau benar. Maaf, sudah meminta yang aneh aneh padamu. Aku hanya rindu dengan ayah. Dulu, ayah selalu membawaku pergi menonton pertunjukan wayang. Kau tahu itu kan?"
Aku mengangguk sebagai balasan dari ucapannya. Selepas itu, Khadijah memintaku untuk pulang karena hari sudah mulai gelap dan ia ingin beristirahat.
Dengan langkah gontai, aku keluar dari rumahnya. Setelah berpamitan dengan Khadijah dan Bi Sumi tentunya. "besok, aku kesini lagi." ucapku pada Khadijah sebelum akhirnya benar benar pulang ke rumah.
Seperti janjiku semalam bahwa aku akan kembali mendatangi rumahnya. Kebetulan hari ini hari minggu maka aku berkunjung ke rumahnya pagi pagi sekali. Tetapi, ada yang aneh pagi ini. Khadijah sama sekali tidak ada di kamarnya. Dimana dia?
Aku berjalan menyusuri setiap sudut rumahnya seraya berteriak memanggil manggil nama Khadijah. Bi Sumi juga ikut mencari dengan raut wajah tak kalah panik denganku. Sudah hampir di setiap ruangan di rumah ini ku telusuri, tetapi batang hidungnya tak kunjung ku temukan. Hingga tanpa sengaja aku mendengar suara suara berisik yang berasal dari gudang. Segera aku berjalan ke arah sana, dan ketika mataku menangkap sosok Khadijah yang tengah berjongkok sembari mencari cari sesuatu, aku bernafas lega.
"Apa yang kau lakukan?" tanyaku sejurus kemudian.
"aku sedang mencari boneka boneka pemberian ibuku, Tita." sahutnya tanpa sedikit pun menatap ke arahku.
"untuk apa?"
"aku ingin membuat pertunjukan wayang sendiri."
Aku hanya melongo mendengar penuturan darinya. Namun pada akhirnya aku ikut membantunya mencari boneka boneka. Kami keluar dari dalam gudang setelah lima belas menit menghabiskan waktu disana. Dan tentunya dengan membawa beberapa boneka berukuran kecil yang sudah sedikit kotor karena terkena debu.
Khadijah mengajakku ke kamarnya. Ia kemudian menyiapkan sebuah kotak berukuran sekitar 2x3 meter. Kemudian, dengan mahir ia memainkan boneka boneka itu seolah olah sedang bermain wayang. Aku menyimak ceritanya dalam diam. Dadaku bergejolak, ingin menangis rasanya, ketika ia menyuguhkan cerita mengenai kematian ayahnya.
Hingga singkat cerita, lima tahun kemudian Khadijah tumbuh menjadi wanita yang berprestasi. Kemahirannya dalam bermain wayang serta kecerdikannya dalam membuat cerita membuatnya sukses menjadi pemain wayang terkenal di pulau kami, Kepulauan Riau.
Wayangnya kemudian diberi nama dengan wayang cecak. Wayang yang dikenal memiliki filosohi hidup serta mengandung nilai nilai kehidupan yang dapat diserap di dalam kehidupan kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H