Mohon tunggu...
Reyvan Maulid
Reyvan Maulid Mohon Tunggu... Freelancer - Writing is my passion
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Penyuka Seblak dan Baso Aci. Catch me on insta @reyvanmaulid

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Santri Milenial, Kesalehan Sosial, dan Santripreneur

22 Oktober 2021   10:22 Diperbarui: 22 Oktober 2021   16:08 536
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suasana di Kota Santri
Asyik tenangkan hati

Merayakan Hari Santri merupakan sebuah apresiasi berkat andil santri dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Hari santri sejatinya menjadi sebuah refleksi bahwa kemerdekaan yang kita raih sampai detik ini merupakan buah manis yang dipetik tanpa perjuangan dari kaum para santri. 

Kita tahu bahwa ada pejuang kemerdekaan maupun tokoh besar yang memiliki latar belakang santri seperti KH. Hasyim Asyari dari Nahdlatul Ulama, KH. Ahmad Dahlan dari Muhammadiyah dan lain-lain.

Adapun kilas balik penetapan tanggal 22 Oktober sebagai hari Santri juga ada filosofinya. 22 Oktober dipilih karena gaung Resolusi Jihad yang diserukan oleh KH. Hasyim Asyari pada tanggal 22 Oktober 1945. 

Momentum seruan ini menjadi kobaran semangat para santri untuk tetap gigih memperjuangkan kemerdekaan Indonesia agar bisa lepas dari jeratan penjajah. 

Ditetapkannya Hari Santri Nasional bukan tanpa alasan karena andilnya para santri dan kiai terkait keterlibatannya dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Ketetapan Hari Santri dituangkan dalam Keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015 yang secara langsung ditandatangani oleh Presiden Joko Widodo.

Kini, kita sudah memasuki era digitalisasi teknologi dan Society 5.0. Hari Santri sejatinya dapat menjadi media refleksi untuk saling berbenah dengan meningkatkan kualitas dan kapabilitas diri sehingga menjadi insan santri yang mampu menjawab tantangan-tantangan nyata didepan, perubahan global demi kemajuan bangsa Indonesia kedepannya. 

Memang ini bukan perkara yang gampang, sebab saya yakin dengan keyakinan dan keteguhan hati yang telah diajarkan semasa menjadi santri oleh pengasuh-pengasuhnya di pondok pesantren dapat menjadi bekal tersendiri bagi para santri untuk saling mawas diri menghadapi digitalisasi yang sedang terjadi di saat ini.

Seorang santri juga setidaknya mampu menyesuaikan derasnya arus modernisasi, baik ditilik dari sisi positif dan negatifnya. Jika santri tidak paham soal ini bisa-bisa menjadi korban dari tergerusnya modernisasi yang semakin gila-gilaan ini. Salah satu contoh nyatanya adalah perlindungan data pribadi. 

Kita mungkin sudah tahu bahwa perlindungan data pribadi perlu untuk diterapkan karena sekarang banyak praktik-praktik penggunaan data pribadi yang disalahgunakan seperti penggunaan NIK untuk keperluan pinjaman online. 

Penggunaan data pribadi sangatlah amat riskan jika dari kita sendiri tidak mau terlalu awas soal ini. Sebab data pribadi adalah privasi, jangan sampai ada yang tahu bahkan bocor dimana-mana.

Era digital membuka pintu seluas-luasnya bagi siapapun yang ingin mengutarakan pendapatnya. Tidak heran jika terjadi pertarungan opini yang berujung saling serang antara pihak satu dengan pihak lainnya. 

Seperti kata Ulil Abshar Abdalla bahwa masalah yang sedang menghantui umat muslim saat ini adalah bagaimana kita para santri dan umat Muslim lainnya dapat hidup sesuai dengan tuntunan teks agama. 

Seringkali kita memandang konten-konten di media sosial seakan memunculkan pisau bermata dua, sulit untuk membedakan mana yang benar dan mana yang salah. 

Ribuan konten yang telah disediakan melalui media sosial turut mengundang konten-konten yang merugikan masyarakat mulai dari hoax atau informasi palsu, konten yang misinterpretasi, penyebaran ujaran kebencian atau hate speech, penyalahgunaan konten sensitif dan konten privat hingga saling adu block di kehidupan dunia maya. 

Memang kita diberikan kebebasan untuk mengutarakan hasratnya di media maya ini. Tetapi tidak bisa dipungkiri, kalau jarinya sudah gatal ingin mencari tahu apapun di media sosial sampai-sampai lupa waktu sehingga terhanyut akan kebahagiaan dunia yang dipamerkan.

Majelis Ulama Indonesia menyebutkan bahwa hoax termasuk pada golongan ghibah (membicarakan keburukan orang lain), fitnah dan namimah (saling adu domba). 

Mereka ini masuk dalam sifat buruk yang mampu memecah belah persatuan dan kemaslahatan umat, pancingan untuk memprovokasi hingga kebenaran sudah lenyap karena tergerusnya kejahatan-kejahatan yang ada. 

Untuk menangkal hoax ini, kita sebagai umat Muslim diajarkan untuk tabayyun. Segala sesuatu informasi yang kita terima, tidak bisa untuk langsung ditelan mentah-mentah begitu saja. 

Tabayyun mengindikasikan kita perlu melakukan verifikasi terhadap berbagai informasi yang telah ada saat ini. Apakah ini berita yang benar atau justru berita yang salah kaprah. Jangan sampai informasi yang kita terima malah merusak tali persaudaraan kita. 

Kita perlu mengedepankan prasangka baik untuk cek, recheck, dan cross-check informasi-informasi yang muncul setiap detik, menitnya di media sosial. Saringlah terlebih dahulu sebelum kita sharing atau berbagi. 

Jangan sampai malah berujung oversharing yang bisa-bisa menjadi overthinking hanya karena secuplik informasi yang telah kita dapatkan di media sosial.

Ilustrasi Santri. Photo by Unsplash
Ilustrasi Santri. Photo by Unsplash

Dalam Al-Quran Surah Al-Hujurat ayat 6 Allah telah berfirman untuk menangkal hoax ini

"Hai orang-orang yang beriman, jika datang seorang fasik kepadamu membawa berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kecerobohan yang akhirnya kamu menyesalinya."

Ayat ini mengisyaratkan bahwa hoax itu tidak bisa ditelan secara mentah-mentah. Salah satu jalan untuk menangkal hoax adalah dengan verifikasi informasi. Sebagai makhluk yang memiliki akal dan pikiran, sejatinya kita telah diberkahi dengan berbagai ilmu. Contoh kasus dalam pandemi Covid-19, sudah berapa banyak berita hoax yang muncul ditengah-tengah kita. 

Kita perlu untuk menetralisirnya dengan membaca penelitian-penelitian dari para ahli, mendengar pernyataannya langsung dari pakarnya, tidak bisa hanya berbicara "eh katanya si A... harus abcd. Kata si B blablabla". harus ada bukti kuatnya sehingga tidak bisa bicara yang cuma modal katanya aja.

Maka dari itu, para santri perlu dibentengi dengan ilmu pengetahuan dan konten-konten yang bermanfaat bagi dirinya di dunia maupun di akhirat. Sekarang ini metode dalam menyiarkan syiar agama sudah dapat dilakukan diberbagai platform. 

Ada Youtube buat live streaming kajian ustadz-ustadzah, ada live chat kajian untuk membuka ruang bagi publik dengan menanyakan keresahannya sesuai topik kajian, ada media Instagram yang bisa para santri gunakan untuk membumikan ayat-ayat suci Al Quran dengan konten yang menarik dan menggugah kesadaran umat Muslim dalam setiap postingan yang dibuat. 

Konten-konten islami yang diproduksi jika dikelola dengan rapi dan terstruktur akan dapat dengan mudah menjangkau viewers diluaran sana. Sejalan dengan pembuatan konten Instagram baik single post maupun carousel Instagram post juga dimaknai sebagai peningkatan budaya literasi digital santri agar tidak dipinggirkan sebagai kaum gaptek alias gagap teknologi. 

Kini santri juga memiliki kesempatan yang sama dengan masyarakat untuk saling mendukung dalam mewujudkan era digitalisasi teknologi. Selain jago agama dan menyebarluaskan syiar agama, mereka juga bisa melek digital sebagai santri millenial.

Dakwah secara daring juga dapat menyelamatkan para santri dari belenggu ujaran kebencian. Diharapkan santri dapat menjadi insan yang berakhlakul karimah, mengedepankan kesadaran kritis sehingga terhindar dari ujaran kebencian, hoax, terorisme, sifat-sifat namimah, fitnah, dan adu domba. 

Santri dinilai alim oleh masyarakat bukan hanya rajin beribadah kepada Allah, tetapi dapat menebarkan kebermanfaatan dan kesalehan secara sosial. Sehingga santri tidak menjadi kaum yang terpinggirkan dan sumbu pendek yang sangat mudah untuk masuk dalam jurang provokasi massa.

Santri juga diharapkan dapat memiliki skill-skill yang mampu membuka peluang untuk masuk dalam ranah digital. Salah satunya adalah menjadi insan santri yang memiliki jiwa kewirausahaan. 

Kini dikenal dengan istilah santripreneur. Santri juga memiliki kesempatan untuk melakukan andil dalam kegiatan berdagang atau berwirausaha. Potensi pasar Indonesia yang sangat terbuka ditambah lagi dengan menjamurnya pelaku bisnis yang merambah ranah digital juga menjadi peluang yang sangat besar bagi para santri berkiprah di dunia wirausaha.

Kita tahu sendiri bahwa Rasulullah SAW memulai kiprahnya dalam dunia bisnis. Beliau merupakan sosok pebisnis yang telaten dan terampil dalam membaca peluang pasar yang dihadapi. 

Berkat keuletannya dan kegigihannya dalam berdagang mengantarkan Rasulullah menjadi pribadi yang berdikari dan mandiri secara finansial di usia muda. Umat Muslim terkhusus para santri perlu meneladani kisah Rasulullah dalam berbisnis. 

Hal yang bisa diambil adalah mandiri secara finansial di usia muda perlu kita rintis sedari dini. Kita mulai untuk berbisnis dari hal yang kecil saja dahulu namun membuahkan cuan yang deras. 

Sudah sepatutnya, santri tidak hanya berpaku pada mendalami kitab-kitab yang sarat dengan makna. Tetapi santri juga turut andil dalam mengambil kesempatan untuk go digital sebagai seorang santri yang berjiwa enterpreneur atau santripreneur.

Pondok pesantren sebagai lembaga pendidikan islami produk asli Indonesia dapat memberdayakan para santri untuk bisa mempelajari bisnis dan enterpreneurship. 

Santri-santri dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi secara digital untuk melakukan pemasaran bisnis, melakukan pelatihan digital marketing oleh pakar ahli secara langsung mulai dari dasar-dasar digital marketing, keunggulan dan kelemahan digital marketing, potensi pasar, strategi digital marketing, pelatihan pembukuan sederhana dengan menggunakan Microsoft Excel, administrasi penjualan, dan lain-lain. 

Kegiatan-kegiatan inilah yang bisa dilakukan bagi para santri untuk dapat membentuk minat berwirausaha menjadi santripreneur. Apalagi setelah santri mentas atau keluar dari pondok pesantren mereka telah dibekali ilmu-ilmu kewirausahaan sebagai bekal untuk membangun usaha di daerahnya masing-masing.

Jadi jangan salah jika lulusan pesantren cuma bisa jadi jago kandang soal agama dan hukum-hukumnya. Santri juga bisa berkiprah menjadi seorang santripreneur yang dapat membuka peluang kesalehan sosial kepada masyarakat. 

Kini, banyak sekali contoh kecil usaha yang mampu memberikan kesalehan sosial seperti Kitabisa.com, Aksi Cepat Tanggap, Dompet Dhuafa, dan lain-lain. Mereka mengedepankan wirausaha berbasis sosial yang terketuk hatinya menjadi pelopor ketika adanya bencana alam, menyisihkan sebagian rezekinya untuk membantu korban bencana.

Menjadi umat tidak hanya fanatik soal keagamaan, tapi juga cinta keberagaman. Menjadi santri yang alim tidak hanya dipandang sebagai santri yang rajin beribadah tetapi menebarkan kesalehan sosial, menyiarkan syiar kebenaran, dan menjadi santri yang mampu menyesuaikan keadaan zaman. Go Santri, Go Digital, Santri Millenial, dan Santripreneur

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun