Karuan saja saya shock dan panik, hingga perut saya jadi kaku dan kontraksi.
Sejak saat itu, makin bertambah lagi level keparnoan saya, dan harus menahan hati yang deg-degan, berperang dalam hati, antara membiarkan anak bersosialisasi di luar, berbanding rasa trauma saya yang menginginkan anak di rumah saja.
Tapi, saya harus bangkit.
Tidak boleh terus menerus dalam trauma mendalam, yakin bahwa Allah-lah sebaik-baiknya tempat berlindung, dan Allah akan melindungi anak-anak saya selalu, aamiin.
Meskipun, setiap kali membaca berita duka, saya semacam terbawa secara paksa ke masa lalu, saat adik saya pergi dengan tiba-tiba tanpa pesan dan membawa misteri hingga kini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H