Saat suara peluru terus berdesingan ditembakan oleh para tentara dan suara ledakan bom yang terus terdengar di beberapa titik, aku hanya bisa berlindung di bawah lorong yang pengap, gelap dan penuh sesak bersama dengan para warga yang sedang mengungsi.
Suasananya kala itu benar-benar kacau dan memilukan. Aku merasa seperti sedang hidup di dunia yang sama sekali belum pernah ku tinggali sebelumnya. Hampir semua orang memeluk dan memegangi tangan satu sama lain. Mereka berusaha saling menguatkan. Tak ada yang tersisa.
Rumah Ibadah, Sekolah, Kampus, Rumah Sakit, Jembatan dan Taman Kota kini sudah rata dengan tanah. Yang tersisa hanyalah puing-puing dan ribuan mayat yang bergelatakan dimana-mana. Aku melihat dan mendengar semua itu dengan mata dan telingaku sendiri.
Kalau saja diharuskan untuk memilih, aku lebih baik tidak ingin melihatnya sama sekali, sebab setiap kali aku meilhatnya, dada ini langsung terasa sesak, mata ku langsung memerah, hingga tak sadar air yang jatuh dari pelupuk mata ini mengering dipipi, tersorot oleh cahaya matahari dan udara kota yang begitu panas.
Aku yakin, aku sedang tidak berada di Neraka. Aku menganggap tempat ini adalah Surga bari orang-orang yang tidak bersalah. Surga bagi kedua orangtua yang mati syahid meninggalkan anak semata wayang nya yang kini menjadi yatim piatu. Surga bagi seorang ayah yang tertimpa reruntuhan meninggalkan istrinya yang kini menjadi janda. Surga bagi pemuda yang terhunus peluru tajam yang rela menjadi ‘martir’ untuk tanah airnya. Surga bagi seorang bayi yang baru saja melihat dunia dan harus kembali menutup mata untuk selama-lamanya.
Selama hampir 18 hari berada di kota ini, itulah pemandangan sehari-hari yang biasa aku saksikan. Jujur saja, aku tak kuasa melihatnya. Namun tugas yang mengharuskan ku untuk meliput semua kejadian dilapangan dan melaporkannya segera di media cetak, membuat aku perlu pura-pura tegar selama bertugas, padahal sebetulnya hati ini sudah keterlaluan sakit, teriris-iris bahkan hampir mati rasa saking terlalu seringnya.
Julia malah terlihat lebih tegar dan kuat. Padahal gadis kecil itu baru saja menjadi yatim piatu setelah orangtuanya ditemukan tergeletak tak bernyawa, dibalik puing-puing rumahnya yang sudah luluh lantak akibat terkena serangan udara. Untungnya gadis kecil yang baru saja pintar bicara itu selamat, hanya ada luka ringan di dahi dan lecet saja di beberapa bagian tubuhnya.
Aku menyaksikan langsung bagaimana Julia digendong oleh salahseorang relawan yang sedang bertugas, untuk kemudian diungsikan dan diberi bantuan medis di Rumah Sakit Al-Shifa. Kebetulan siang itu aku sedang bertugas meliput disana.
Dimana sehari sebelumnya, disaat orang-orang sedang istirahat dan beberapa perempuan hamil serta anak-anak sedang mendapat bantuan medis, peluru kendali itu jatuh menghantam gerbang Rumah Sakit. Cahaya langit yang gelap tiba-tiba berubah warna menjadi merah jingga. Kepulan asap tebal hitam itu menutupi hampir seluruh gedung. Sebagian orang berlarian, kecuali para Dokter yang terus bekerja siang malam. 13 orang tewas dalam serangan brutal malam itu.
Tareq Azzoum, kawanku dari media Aljazeera menangis melihat kejadian ini. Sambil tersedak karena tak sengaja menelan air matanya, ia berkata dalam bahasa Inggris, “Oh my friend, this is so cruel. we must not remain silent watching heartbreaking events like this. this is an extraordinary war crime.”
“Ya my friend. I agree.” Kataku, sambil mengusap air mata yang juga sudah mulai terasa hangat dipipi.
Disela-sela kegiatan meliput yang terlalu melelahkan dan menakutkan itu, aku sering mengunjungi Julia di Rumah Sakit. Secara fisik dia memang terlihat sehat, masih ada sedikit senyum yang tersisa dari wajah anggunnya. Namun secara psikis, mungkin ia masih merasa terpukul dengan kejadian yang baru saja ia alami. Gadis kecil itu terpaksa harus menjadi yatim piatu diusianya yang baru saja menginjak 3 tahun.
Aku masih ingat saat pertama kali bertemu dengannya, ia duduk di lobby Rumah Sakit mengenakan sweater warna kuning sambil memeluk botol berisi air mineral. Warna rambutnya brown menjuntai sebahu, hidungnya mancung, pipinya bulat berisi seperti ada dua bola pingpong yang besarang didalamnya, ditambah warna matanya yang sudah kebiruan tanpa perlu menggunakan lensa buatan, membuat Julia sangat indah dipandang dari sudut mana pun.
Sebenarnya Julia hanyalah satu dari sekian banyaknya anak-anak di Gaza yang akhirnya harus menjadi yatim piatu di usia yang masih belia. Namun yang menjadikan aku akhirnya dekat dengan Julia adalah kecakapannya dalam berkomunikasi. Tak banyak anak-anak di Gaza seusianya yang cukup fasih berbahasa Inggris. Sedikit-sedikit ia mengerti apa yang aku ucapkan.
Menurut cerita yang aku dengar dari teman Ayahnya yang kini mengurus dan menjaga Julia sehari-hari dipengungsian Rumah Sakit, Ibunya Julia adalah seorang Dosen bahasa Inggris yang sehari-harinya mengajar di salahsatu Kampus yang ada di Gaza. Rupanya Julia mewarisi kecerdasan itu dari ibunya.
Julia adalah gadis yang supel, ia sangat suka menggambar. Senyumnya selalu terpancar dari bibir mungilnya ketika ia sedang mengoret-oret pensil warna itu di buku gambarnya. Itulah satu-satunya hiburan yang bisa dilakukan Julia selama di pengungsian. Ia nampak fokus dan serius sekali ketika sedang menggambar.
“Julia, what are you drawing?” Tanya aku pada gadis kecil itu.
“I'm drawing my country's flag.” Tangannya cekatan membentuk persegi panjang dengan kombinasi warna merah, hitam, putih dan hijau.
“Why you drawing that?” Tanyaku lagi pada Julia.
“Because I love my country.” Ia menjawab sambil tersenyum sumringah, ada binar dimatanya. Seperti tidak sadar kalau negaranya kini sedang di jajah.
Aku ikut tersenyum, namun tidak lama kemudian air mata ini kembali terkumpul. Hanya bisa bergumam dalam hati melihat gadis itu yang masih bisa tersenyum disaat sudah kehilangan segalanya. Julia hatimu terbuat dari apa? Disaat negara mu hancur lebur dan harus menjadi yatim piatu diusia tiga tahun, kau masih bisa tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa.
Aku mengusap kepalanya dengan lembut lalu kemudian pamit untuk kembali bertugas dilapangan.
***
Hari ini sudah hari ke 20 aku bertugas di Gaza, keadaan kota semakin semrawut akibat serangan udara yang semakin masif dibebera titik. Ditambah lagi tank-tank zionis yang mulai memasuki kota turut menambah kekhawatiran warga. Malah baru saja tersiar kabar dari salahseorang kawan yang bertugas, ada dua orang Jurnalis yang kembali terbunuh. Risiko besar yang harus ditanggung oleh kami dilapangan.
Kadang ada rasa takut yang membelenggu langkah ini. Setiap kali aku mendengar kabar seperti itu, aku hanya bisa pasrah pada Tuhan, entah besok atau lusa, mungkin giliranku. Gumam ku dalam hati. Memang kemungkinan selamat selama bertugas disini kecil sekali. Setiap jurnalis yang ada di Gaza minim pengawalan dari aparat keamanan setempat karena mereka sibuk bergerilya dari lorong ke lorong.
Para pejuang disini tak mempunyai peralatan tempur canggih. Mereka hanya mengandalkan senjata hibah dari negara sebelah dan senjata hasil rampasan dari tentara zionis yang sudah tewas. Meski begitu, mereka tetap semangat bertempur seolah memiliki lebih dari satu nyawa. Mayoritas adalah pemuda dibawah usia 25. Mereka sudah berlatih tempur sejak usia dini, demi membela tanah kelahirannya.
Lebih baik mati daripada rumah ibadah kami di usik dan tanah kelahiran kami dirampas. Begitu kata salahseorang perajurit dengan lantang sambil mengepalkan satu tangan dan mengangkatnya keatas. Dari suara yang aku dengar yang keluar dari mulutnya, ini jelas adalah suara perjuangan. Mereka berbaris mendengarkan komandannya memberi arahan, mengatur strategi untuk kembali bertempur menghalau tentara zionis yang sudah mulai berdatangan.
Tak jarang kami pun para Jurnalis harus merayap menembus jalanan dan rumah-rumah penduduk yang sudah hancur lebur. Kami tak boleh lengah dan gegabah. Karena sedikit saja salah langkah dan terlalu merangsek masuk ke zona yang berbahaya, maka jelas nyawa taruhannya. Maka aku memutuskan tinggal di zona aman dan bertugas dengan sangat hati-hati demi keamanan.
Yang paling menyedihkan selama aku bertugas disini adalah ketersedian makanan dan juga air bersih yang sulit didapat. Aku terpaksa harus menghemat perbekalan serta harus bisa beradaptasi ditengah situasi yang serba terbatas ini. Minimnya listrik, bahan bakar dan sulitnya jaringan internet juga membuat kami kesulitan selama bertugas.
Begitupun dengan para Dokter dan tenaga medis, mereka hanya mengandalkan fasilitas kesehatan seadanya saja. Beberapa rumah sakit sudah hancur karena di bom, keandaraan ambulance yang tersisa di kota ini pun bisa di hitung jari. Sementara tiap beberapa menit selalu ada saja laporan warga sipil yang tewas.
Di hari ke 20 ini saja sudah ada sekira 3000 lebih warga sipil yang tewas. Mayoritas adalah perempuan dan anak-anak. Serta setengah dari populasi kota sudah mulai mengungsi. Belum lagi korban yang belum ditemukan dan juga para sandera yang ditawan oleh zionis. Ini seperti lebih dari sekadar mimpi buruk yang setiap hari aku alami. MashaAllah, gumam ku dalam hati.
Disaat sedang bertugas seperti itu, pikiran ku terus teringat kepada Julia. Kalau saja bukan karena tugas yang mengharuskanku meliput dilapangan, aku lebih baik tinggal dipengungsian, memengang erat tangannya setiap hari, memberinya semangat dan pelukan yang masih ia butuhkan. Mengajaknya bermain, memberinya pakaian serta makanan yang layak.
Aku sering tidak fokus selama bekerja, ketika harus meninggalkan Julia di pengungsian. Pikiran ku selalu bertanya-tanya, apakah anak itu baik-baik saja? Apakah anak itu masih ada yang menjaganya? Apakah anak itu ada dipengawasan orang yang tepat? Apakah anak itu sudah makan? Apakah lukanya sudah mengering? Apakah tidurnya masih pulas? Bagaimana kalau ia tiba-tiba ingat dan ingin bertemu kedua orangtuanya? Ah, Julia memang sering membuatku khawatir.
Kadang aku berpikir Tuhan tidak adil, aku rasa takdir ini terlalu berat diemban sendirian oleh Julia. Saat-saat dimana seharusnya ia bermain riang gembira, menikmati masa kecil dan mendapat cukup pelukan dari Ibunya, mendapat belaian dari Ayahnya, Ia justru harus terdampar di pengungsian sebatang kara. Tanpa makanan yang layak, tempat tinggal yang layak, dan harus tinggal bersesakan dengan para pengungsi lain dengan fasilitas seadanya.
***
Aku kembali mengunjungi Julia di pengungsian, hari ini Julia terlihat kurang semangat, wajahnya pucat, dahinya hangat, ia berkeringat dengan hebat. Sepertinya ia terserang demam. Ia mulai mengigau dan terus memanggil-manggil orangtuanya.
“Where is mom? Where is dad?” Raut wajahnya menampakan kebingungan. Matanya berkaca-kaca.
“I’m here Julia. Are you okay?” Aku mencoba menenangkan sambil memeluknya erat. Baru kali ini aku menyaksikan Julia menangis dengan begitu kerasnya.
“I miss Dad, I miss Mom” Bocah tiga tahun itu terus meracau. Aku tak kuasa melepaskan pelukan ini dari tubuh mungilnya.
“Julia, from now I will be your Dad. Call me Daddy okay?” Julia mengangguk, ku berikan kecupan lembut di dahinya beberapa kali.
Tak terasa air mata ini kembali menetes jatuh tepat diatas kepala Julia. Hingga beberapa helai rambutnya basah. Kami menangis berbarengan dan saling memeluk satu sama lain.
Setelah terlalu lama menangis dan hampir kehabisan suara, Julia pun akhirnya tertidur di pangkuanku. Aku seperti melihat taman surga di wajahnya. Wajahnya memancarkan keteduhan dan kedamaian ketika ia sedang tertidur. Ia bagaikan sebuah permata yang tersisa di Gaza.
Tapi kebersamaan kami berdua tak akan berlangsung selamanya. Semua ini akan ada akhirnya. Ketika aku sudah selesai bertugas dan harus kembali pulang ke Indonesia. Hanya ada 15 hari yang tersisa. Itu pun harus terbagi dengan tugasku dilapangan yang juga harus segera ku selesaikan.
Meski aku belum pernah punya pengalaman mengurus anak sebelumnya, tapi melihat kondisi mu terlunta-lunta seperti ini membuatku berpikir untuk membawamu pulang. Lalu akan kucarikan sosok Ibu yang sama cantiknya sepertimu. Yang bisa memelukmu erat setiap hari. Memberi mu makan, memberi mu gaun yang cantik, menemani mu menggambar dan kau bisa tidur pulas dipelukannya setiap malam. Tanpa ada suara bising tembakan senapan mesin zionis dan juga ledakan peluru tank-tank ganas yang kita dengar setiap hari di kota ini.
Seandainya mimpi ini bisa diwujudkan semudah membalikan telapak tangan dan kedipan mata Julia, pasti kita akan berbahagia bersama. Perpisahan ini pasti akan sama menyakitkannya ketika kau harus menerima kenyataan bahwa kedua orangtua mu telah tiada. Ini sama menyakitkannya bagi kita berdua Julia. Mimpi kita harus terhalang oleh persyaratan administrasi yang begitu rumit dan sulit. Ditambah lagi teman Ayahmu yang selama ini mengurusmu di pengungsian tak memberikan ku izin untuk membawa mu pulang.
Aku hanya bisa berdo’a semoga kau tumbuh menjadi anak yang sehat, kuat dan bisa terseyum kembali seperti biasanya. Aku juga berharap semoga ada keadilan yang segera datang untuk negara mu yang sudah sekian puluh tahun itu ada dalam genggaman penjajah.
***
Tibalah aku di hari ke 35 bertugas. Bagaimana rasanya bertugas selama 1 bulan 15 hari disini? Tidak hanya rasa lelah, namun semuanya serba menguras fisik dan mental. Begitu luar biasa dampak perang yang ditimbulkan selama ini. Hampir semua sektor vital sepertihalnya pendidikan dan ekonomi lumpuh total. Setiap warga hanya berharap bantuan yang cukup dan memadai untuk menyambung kehidupan mereka di kota ini.
Krisis air dan sulitnya mendapatkan makanan membuat mayoritas warga memutuskan untuk mengungsi ke negara sebelah. Mereka harus berjalan kaki beratus-ratus kilometer menyusuri gurun yang gersang seperti tanpa penghidupan. Namun hanya itu satu-satunya cara yang bisa mereka lakukan untuk bisa bertahan hidup.
Aku mengikuti eskalasi konflik ini dari hari ke hari. Geja-gejala akan adanya gencatan senjata belum juga terlihat, malah konflik ini semakin meluas dan menciptakan banyak korban baru, baik militer maupun sipil.
Sampai dengan hari ini, aku bisa melaporkan bahwa sudah lebih dari 11000 rakyat sipil di kota ini yang sudah meninggal dunia. Belum lagi tawanan yang belum diketahui keberadaannya dan bagaimana nasib selanjutnya? Turut membuat situasi menjadi tidak menentu. Setiap warga harus selalu siap dengan kondisi apa pun, termasuk terserempet peluru, atau pun terhantam serpiham bom yang dijatuhkan dari atas langit. Mengerikan sekali!
Para pembesar negara adidaya justru malah sibuk saling tuding dan menyalahkan satu sama lain tanpa ada langkah konkret untuk menghentikan eskalasi. Gerakan demonstrasi besar-besaran di beberapa negara diikuti dengan memboikot beberapa produk negara penjajah pun juga tak cukup berpengaruh dalam menghentikan agresi.
Selama 35 hari aku bertugas di kota ini aku bersyukur, tak ada satupun kulit yang lecet, atau pun bagian tubuh yang terluka. Hanya saja penglihatan ini terlalu lelah membendung air mata yang hampir setiap menit menetes. Terlalu perih dan pedih rasanya.
Ditambah lagi harus berpisah dengan Julia membuatku makin deras mengeluarkan air mata. Ini adalah kali terakhir aku menatap wajah anak itu. Ini adalah kali terakhir aku memeluknya. Ini adalah kali terakhir aku mengecup dahinya. Tak akan adalagi moment-moment seperti ini yang akan ku temukan setelah ini.
Saat aku sudah kembali ke pengungsian, Julia tengah asyik bermain dengan anak-anak yang lain. Ia berlari kesana kemari dengan lincahnya. Rambutnya terurai panjang mengkilap tertimpa cahaya matahari. Anak itu terlihat ceria dan sehat. Aku ikut tersenyum melihatnya yang kini kembali bersemangat. Anak itu memang sedang lucu-lucunya. Namun senyuman ini nampaknya hanya untuk beberapa saat, sebab esok aku harus kembali pulang dari medan tugas yang telah banyak memberikan pelajaran dan pengalaman berharga ini.
Aku bingung bagaimana cara aku menyampaikan pesan perpisahan ini padanya, kalimat apa yang kira-kira paling tepat aku ucapkan pada Julia? Seperti apa responnya apabila aku mengucapkan kalimat tersebut? Apakah masih ada senyuman yang tersisa di wajahnya? Apakah binar matanya masih akan terlihat cerah? Atau justru ia akan kembali mengeluarkan air mata yang tidak henti-hentinya?.
Julia, I’m sorry, this is the final fate we have to take :'(
Dari jarak kurang lebih sepuluh meter Julia menyambutku di pengungsian, Ia berlari dengan lincah sambil menjulurkan kedua tangannya. Rambutnya terombang-ambing kesana kemari diterpa angin siang itu.
“Daddy…..” Ia datang dan langsung memeluk ku erat.
Aku dekap Julia sambil jongkok beberapa saat, lalu kami saling menatap satu sama lain, binar matanya cerah, kulitnya bersih, senyumnya juga lebar kali ini, hingga tiap ujung bibirnya terangkat bertemu dengan kedua sudut matanya yang indah itu.
Ah Julia, 17 tahun yang akan datang pasti kau akan menjadi gadis yang pria mana pun tak akan sanggup memalingkan wajah setiap kali berpapasan dengan mu.
Aku membalas senyumannya dengan senyuman yang sama lebarnya, ku pandangi wajahnya lekat-lekat, ku genggam tangan mungilnya itu kuat-kuat. Kali ini aku berusaha untuk menahan tangisan yang rasanya ingin segera meledak.
Kamu pasti tahu kan bagaimana rasanya menangis diam-diam? Tanpa air mata, tanpa suara? Itu adalah tanda ketika kamu sudah ada dipuncak kesedihan. Itu adalah saat-saat dimana kamu berharap sesuatu, tapi tidak tahu apa yang mesti kamu lakukan. Lalu kamu hanya bisa terdiam dan berharap keajaiban akan segera datang.
Sambil mengusap kepalanya dengan lembut, aku berkata dengan nada pelan pada Julia. Yang apabila di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia kalimatnya kurang lebih seperti ini:
“Julia sayang, besok dan hari-hari seterusnya aku akan sangat sibuk bekerja di lapangan. Aku tidak tahu kapan akan kembali dan menemui mu disini seperti biasanya. Kali ini tugasku jauh lebih berat daripada sebelumnya nak, di hari-hari yang akan datang kamu mungkin hanya akan menggambar sendirian, bermain sendirian atau dengan orang-orang asing ditempat ini. Aku hanya ingin berpesan, semoga kamu tetap tumbuh sehat, kuat, ceria sebagaimana biasanya meski disituasi serba sulit seperti ini. Kamu anak yang kuat nak, Ayah sangat mencintaimu.”
Kalimat itu panjang sekali dan bisa dicerna dengan baik oleh Julia sehingga matanya kembali berkaca-kaca.
Setelah hening beberapa saat, ia pun mulai membuka mulut mungilnya dan berkata, “Apakah Ayah berjanji akan kembali kesini?”
“Ayah tidak tahu nak.” Dada ini langsung terasa sesak. Ingin sekali rasanya ku ledakan tangis yang sudah sejak tadi aku tahan itu.
“I love you Dad. I don’t want to lose you.” Julia kembali memeluk ku erat.
“I love you too Julia, You’ll be fine my love.” Pelukan itu begitu lama, sehingga orang-orang diruangan yang sama memperhatikan kami dengan serius.
Bahkan adapula yang memotret dan mengabadikan moment perpisahanku dengan Julia. Mungkin ini adalah pemandangan yang langka yang orang itu saksikan. Begitulah akhirnya, aku dan Julia pun harus berpisah. Julia harus kehilangan Ayah untuk yang kedua kalinya.
Barulah kemudian setelah beberapa meter aku melangkahkan kaki meninggalkan Julia dipengungsian, air mata ini pun tumpah ruah sampai-sampai membuat kerah kemeja kerja ku pun basah. Tugasku selesai dan aku harus meninggalkan kota Gaza dengan kesedihan yang begitu mendalam.
Good bye Julia, May Allah protect you always…
***
Disclaimer: Cerita ini adalah fiktif dan bukanlah kejadian yang sebenarnya. Seluruh informasi mengenai situasi di Gaza yang terkandung dalam cerita ini pun tidak seluruhnya sesuai dengan fakta di lapangan. Penulis sengaja memasukan beberapa informasi tersebut sebagai penguat latar cerita. Namun cerita ini ditulis dan terinspirasi berdasarkan kisah nyata tentang seorang anak yang bernama Julia, berumur 3 tahun menjadi yatim piatu karena kedua orangtuanya telah meninggal.
Foto-fotonya yang ditemukan selamat juga viral di media sosial. Penulis terketuk hatinya membuat cerita ini untuk menyadarkan banyak orang tentang betapa buruk dan mengerikannya dampak yang ditimbulkan akibat perang. Mari kita terus suarakan perdamaian agar banyak anak yang terselamatkan dan tidak menjadi yatim piatu seperti Julia.
Julia’s Dad
Reynal Prasetya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H