Disaat sedang bertugas seperti itu, pikiran ku terus teringat kepada Julia. Kalau saja bukan karena tugas yang mengharuskanku meliput dilapangan, aku lebih baik tinggal dipengungsian, memengang erat tangannya setiap hari, memberinya semangat dan pelukan yang masih ia butuhkan. Mengajaknya bermain, memberinya pakaian serta makanan yang layak.
Aku sering tidak fokus selama bekerja, ketika harus meninggalkan Julia di pengungsian. Pikiran ku selalu bertanya-tanya, apakah anak itu baik-baik saja? Apakah anak itu masih ada yang menjaganya? Apakah anak itu ada dipengawasan orang yang tepat? Apakah anak itu sudah makan? Apakah lukanya sudah mengering? Apakah tidurnya masih pulas? Bagaimana kalau ia tiba-tiba ingat dan ingin bertemu kedua orangtuanya? Ah, Julia memang sering membuatku khawatir.
Kadang aku berpikir Tuhan tidak adil, aku rasa takdir ini terlalu berat diemban sendirian oleh Julia. Saat-saat dimana seharusnya ia bermain riang gembira, menikmati masa kecil dan mendapat cukup pelukan dari Ibunya, mendapat belaian dari Ayahnya, Ia justru harus terdampar di pengungsian sebatang kara. Tanpa makanan yang layak, tempat tinggal yang layak, dan harus tinggal bersesakan dengan para pengungsi lain dengan fasilitas seadanya.
***
Aku kembali mengunjungi Julia di pengungsian, hari ini Julia terlihat kurang semangat, wajahnya pucat, dahinya hangat, ia berkeringat dengan hebat. Sepertinya ia terserang demam. Ia mulai mengigau dan terus memanggil-manggil orangtuanya.
“Where is mom? Where is dad?” Raut wajahnya menampakan kebingungan. Matanya berkaca-kaca.
“I’m here Julia. Are you okay?” Aku mencoba menenangkan sambil memeluknya erat. Baru kali ini aku menyaksikan Julia menangis dengan begitu kerasnya.
“I miss Dad, I miss Mom” Bocah tiga tahun itu terus meracau. Aku tak kuasa melepaskan pelukan ini dari tubuh mungilnya.
“Julia, from now I will be your Dad. Call me Daddy okay?” Julia mengangguk, ku berikan kecupan lembut di dahinya beberapa kali.
Tak terasa air mata ini kembali menetes jatuh tepat diatas kepala Julia. Hingga beberapa helai rambutnya basah. Kami menangis berbarengan dan saling memeluk satu sama lain.
Setelah terlalu lama menangis dan hampir kehabisan suara, Julia pun akhirnya tertidur di pangkuanku. Aku seperti melihat taman surga di wajahnya. Wajahnya memancarkan keteduhan dan kedamaian ketika ia sedang tertidur. Ia bagaikan sebuah permata yang tersisa di Gaza.