“Julia sayang, besok dan hari-hari seterusnya aku akan sangat sibuk bekerja di lapangan. Aku tidak tahu kapan akan kembali dan menemui mu disini seperti biasanya. Kali ini tugasku jauh lebih berat daripada sebelumnya nak, di hari-hari yang akan datang kamu mungkin hanya akan menggambar sendirian, bermain sendirian atau dengan orang-orang asing ditempat ini. Aku hanya ingin berpesan, semoga kamu tetap tumbuh sehat, kuat, ceria sebagaimana biasanya meski disituasi serba sulit seperti ini. Kamu anak yang kuat nak, Ayah sangat mencintaimu.”
Kalimat itu panjang sekali dan bisa dicerna dengan baik oleh Julia sehingga matanya kembali berkaca-kaca.
Setelah hening beberapa saat, ia pun mulai membuka mulut mungilnya dan berkata, “Apakah Ayah berjanji akan kembali kesini?”
“Ayah tidak tahu nak.” Dada ini langsung terasa sesak. Ingin sekali rasanya ku ledakan tangis yang sudah sejak tadi aku tahan itu.
“I love you Dad. I don’t want to lose you.” Julia kembali memeluk ku erat.
“I love you too Julia, You’ll be fine my love.” Pelukan itu begitu lama, sehingga orang-orang diruangan yang sama memperhatikan kami dengan serius.
Bahkan adapula yang memotret dan mengabadikan moment perpisahanku dengan Julia. Mungkin ini adalah pemandangan yang langka yang orang itu saksikan. Begitulah akhirnya, aku dan Julia pun harus berpisah. Julia harus kehilangan Ayah untuk yang kedua kalinya.
Barulah kemudian setelah beberapa meter aku melangkahkan kaki meninggalkan Julia dipengungsian, air mata ini pun tumpah ruah sampai-sampai membuat kerah kemeja kerja ku pun basah. Tugasku selesai dan aku harus meninggalkan kota Gaza dengan kesedihan yang begitu mendalam.
Good bye Julia, May Allah protect you always…
***