Tapi kebersamaan kami berdua tak akan berlangsung selamanya. Semua ini akan ada akhirnya. Ketika aku sudah selesai bertugas dan harus kembali pulang ke Indonesia. Hanya ada 15 hari yang tersisa. Itu pun harus terbagi dengan tugasku dilapangan yang juga harus segera ku selesaikan.
Meski aku belum pernah punya pengalaman mengurus anak sebelumnya, tapi melihat kondisi mu terlunta-lunta seperti ini membuatku berpikir untuk membawamu pulang. Lalu akan kucarikan sosok Ibu yang sama cantiknya sepertimu. Yang bisa memelukmu erat setiap hari. Memberi mu makan, memberi mu gaun yang cantik, menemani mu menggambar dan kau bisa tidur pulas dipelukannya setiap malam. Tanpa ada suara bising tembakan senapan mesin zionis dan juga ledakan peluru tank-tank ganas yang kita dengar setiap hari di kota ini.
Seandainya mimpi ini bisa diwujudkan semudah membalikan telapak tangan dan kedipan mata Julia, pasti kita akan berbahagia bersama. Perpisahan ini pasti akan sama menyakitkannya ketika kau harus menerima kenyataan bahwa kedua orangtua mu telah tiada. Ini sama menyakitkannya bagi kita berdua Julia. Mimpi kita harus terhalang oleh persyaratan administrasi yang begitu rumit dan sulit. Ditambah lagi teman Ayahmu yang selama ini mengurusmu di pengungsian tak memberikan ku izin untuk membawa mu pulang.
Aku hanya bisa berdo’a semoga kau tumbuh menjadi anak yang sehat, kuat dan bisa terseyum kembali seperti biasanya. Aku juga berharap semoga ada keadilan yang segera datang untuk negara mu yang sudah sekian puluh tahun itu ada dalam genggaman penjajah.
***
Tibalah aku di hari ke 35 bertugas. Bagaimana rasanya bertugas selama 1 bulan 15 hari disini? Tidak hanya rasa lelah, namun semuanya serba menguras fisik dan mental. Begitu luar biasa dampak perang yang ditimbulkan selama ini. Hampir semua sektor vital sepertihalnya pendidikan dan ekonomi lumpuh total. Setiap warga hanya berharap bantuan yang cukup dan memadai untuk menyambung kehidupan mereka di kota ini.
Krisis air dan sulitnya mendapatkan makanan membuat mayoritas warga memutuskan untuk mengungsi ke negara sebelah. Mereka harus berjalan kaki beratus-ratus kilometer menyusuri gurun yang gersang seperti tanpa penghidupan. Namun hanya itu satu-satunya cara yang bisa mereka lakukan untuk bisa bertahan hidup.
Aku mengikuti eskalasi konflik ini dari hari ke hari. Geja-gejala akan adanya gencatan senjata belum juga terlihat, malah konflik ini semakin meluas dan menciptakan banyak korban baru, baik militer maupun sipil.
Sampai dengan hari ini, aku bisa melaporkan bahwa sudah lebih dari 11000 rakyat sipil di kota ini yang sudah meninggal dunia. Belum lagi tawanan yang belum diketahui keberadaannya dan bagaimana nasib selanjutnya? Turut membuat situasi menjadi tidak menentu. Setiap warga harus selalu siap dengan kondisi apa pun, termasuk terserempet peluru, atau pun terhantam serpiham bom yang dijatuhkan dari atas langit. Mengerikan sekali!
Para pembesar negara adidaya justru malah sibuk saling tuding dan menyalahkan satu sama lain tanpa ada langkah konkret untuk menghentikan eskalasi. Gerakan demonstrasi besar-besaran di beberapa negara diikuti dengan memboikot beberapa produk negara penjajah pun juga tak cukup berpengaruh dalam menghentikan agresi.
Selama 35 hari aku bertugas di kota ini aku bersyukur, tak ada satupun kulit yang lecet, atau pun bagian tubuh yang terluka. Hanya saja penglihatan ini terlalu lelah membendung air mata yang hampir setiap menit menetes. Terlalu perih dan pedih rasanya.