Aku ikut tersenyum, namun tidak lama kemudian air mata ini kembali terkumpul. Hanya bisa bergumam dalam hati melihat gadis itu yang masih bisa tersenyum disaat sudah kehilangan segalanya. Julia hatimu terbuat dari apa? Disaat negara mu hancur lebur dan harus menjadi yatim piatu diusia tiga tahun, kau masih bisa tersenyum seolah tidak terjadi apa-apa.
Aku mengusap kepalanya dengan lembut lalu kemudian pamit untuk kembali bertugas dilapangan.
***
Hari ini sudah hari ke 20 aku bertugas di Gaza, keadaan kota semakin semrawut akibat serangan udara yang semakin masif dibebera titik. Ditambah lagi tank-tank zionis yang mulai memasuki kota turut menambah kekhawatiran warga. Malah baru saja tersiar kabar dari salahseorang kawan yang bertugas, ada dua orang Jurnalis yang kembali terbunuh. Risiko besar yang harus ditanggung oleh kami dilapangan.
Kadang ada rasa takut yang membelenggu langkah ini. Setiap kali aku mendengar kabar seperti itu, aku hanya bisa pasrah pada Tuhan, entah besok atau lusa, mungkin giliranku. Gumam ku dalam hati. Memang kemungkinan selamat selama bertugas disini kecil sekali. Setiap jurnalis yang ada di Gaza minim pengawalan dari aparat keamanan setempat karena mereka sibuk bergerilya dari lorong ke lorong.
Para pejuang disini tak mempunyai peralatan tempur canggih. Mereka hanya mengandalkan senjata hibah dari negara sebelah dan senjata hasil rampasan dari tentara zionis yang sudah tewas. Meski begitu, mereka tetap semangat bertempur seolah memiliki lebih dari satu nyawa. Mayoritas adalah pemuda dibawah usia 25. Mereka sudah berlatih tempur sejak usia dini, demi membela tanah kelahirannya.
Lebih baik mati daripada rumah ibadah kami di usik dan tanah kelahiran kami dirampas. Begitu kata salahseorang perajurit dengan lantang sambil mengepalkan satu tangan dan mengangkatnya keatas. Dari suara yang aku dengar yang keluar dari mulutnya, ini jelas adalah suara perjuangan. Mereka berbaris mendengarkan komandannya memberi arahan, mengatur strategi untuk kembali bertempur menghalau tentara zionis yang sudah mulai berdatangan.
Tak jarang kami pun para Jurnalis harus merayap menembus jalanan dan rumah-rumah penduduk yang sudah hancur lebur. Kami tak boleh lengah dan gegabah. Karena sedikit saja salah langkah dan terlalu merangsek masuk ke zona yang berbahaya, maka jelas nyawa taruhannya. Maka aku memutuskan tinggal di zona aman dan bertugas dengan sangat hati-hati demi keamanan.
Yang paling menyedihkan selama aku bertugas disini adalah ketersedian makanan dan juga air bersih yang sulit didapat. Aku terpaksa harus menghemat perbekalan serta harus bisa beradaptasi ditengah situasi yang serba terbatas ini. Minimnya listrik, bahan bakar dan sulitnya jaringan internet juga membuat kami kesulitan selama bertugas.
Begitupun dengan para Dokter dan tenaga medis, mereka hanya mengandalkan fasilitas kesehatan seadanya saja. Beberapa rumah sakit sudah hancur karena di bom, keandaraan ambulance yang tersisa di kota ini pun bisa di hitung jari. Sementara tiap beberapa menit selalu ada saja laporan warga sipil yang tewas.
Di hari ke 20 ini saja sudah ada sekira 3000 lebih warga sipil yang tewas. Mayoritas adalah perempuan dan anak-anak. Serta setengah dari populasi kota sudah mulai mengungsi. Belum lagi korban yang belum ditemukan dan juga para sandera yang ditawan oleh zionis. Ini seperti lebih dari sekadar mimpi buruk yang setiap hari aku alami. MashaAllah, gumam ku dalam hati.