Ditambah lagi harus berpisah dengan Julia membuatku makin deras mengeluarkan air mata. Ini adalah kali terakhir aku menatap wajah anak itu. Ini adalah kali terakhir aku memeluknya. Ini adalah kali terakhir aku mengecup dahinya. Tak akan adalagi moment-moment seperti ini yang akan ku temukan setelah ini.
Saat aku sudah kembali ke pengungsian, Julia tengah asyik bermain dengan anak-anak yang lain. Ia berlari kesana kemari dengan lincahnya. Rambutnya terurai panjang mengkilap tertimpa cahaya matahari. Anak itu terlihat ceria dan sehat. Aku ikut tersenyum melihatnya yang kini kembali bersemangat. Anak itu memang sedang lucu-lucunya. Namun senyuman ini nampaknya hanya untuk beberapa saat, sebab esok aku harus kembali pulang dari medan tugas yang telah banyak memberikan pelajaran dan pengalaman berharga ini.
Aku bingung bagaimana cara aku menyampaikan pesan perpisahan ini padanya, kalimat apa yang kira-kira paling tepat aku ucapkan pada Julia? Seperti apa responnya apabila aku mengucapkan kalimat tersebut? Apakah masih ada senyuman yang tersisa di wajahnya? Apakah binar matanya masih akan terlihat cerah? Atau justru ia akan kembali mengeluarkan air mata yang tidak henti-hentinya?.
Julia, I’m sorry, this is the final fate we have to take :'(
Dari jarak kurang lebih sepuluh meter Julia menyambutku di pengungsian, Ia berlari dengan lincah sambil menjulurkan kedua tangannya. Rambutnya terombang-ambing kesana kemari diterpa angin siang itu.
“Daddy…..” Ia datang dan langsung memeluk ku erat.
Aku dekap Julia sambil jongkok beberapa saat, lalu kami saling menatap satu sama lain, binar matanya cerah, kulitnya bersih, senyumnya juga lebar kali ini, hingga tiap ujung bibirnya terangkat bertemu dengan kedua sudut matanya yang indah itu.
Ah Julia, 17 tahun yang akan datang pasti kau akan menjadi gadis yang pria mana pun tak akan sanggup memalingkan wajah setiap kali berpapasan dengan mu.
Aku membalas senyumannya dengan senyuman yang sama lebarnya, ku pandangi wajahnya lekat-lekat, ku genggam tangan mungilnya itu kuat-kuat. Kali ini aku berusaha untuk menahan tangisan yang rasanya ingin segera meledak.
Kamu pasti tahu kan bagaimana rasanya menangis diam-diam? Tanpa air mata, tanpa suara? Itu adalah tanda ketika kamu sudah ada dipuncak kesedihan. Itu adalah saat-saat dimana kamu berharap sesuatu, tapi tidak tahu apa yang mesti kamu lakukan. Lalu kamu hanya bisa terdiam dan berharap keajaiban akan segera datang.
Sambil mengusap kepalanya dengan lembut, aku berkata dengan nada pelan pada Julia. Yang apabila di terjemahkan kedalam bahasa Indonesia kalimatnya kurang lebih seperti ini: