Agak kesal memang ketika melihat para pemain timnas pada saat mendapat peluang didepan gawang yang seharusnya bisa dimanfa'atkan menjadi sebuah goal malah disiasiakan begitu saja.
Hal ini bukan terjadi satu kali, tapi berkali-kali. Dalam gelaran piala AFF 2022 ini dalam empat laga yang telah dilakoni, para pemain timnas hampir selalu mendapat peluang emas, namun entah kenapa peluang yang justru seharusnya terlihat mudah untuk dikonversi menjadi goal itu malah terbuang sia-sia.
Melihat adanya kenyataan ini, tak sedikit dari supporter garuda yang memberikan kritik, bahkan ada juga yang mencibir dengan kata-kata yang kurang pantas. Tak sedikit pula yang menganggap bahwa menurunnya performa timnas ini disebabkan karena Shin Tae-yong mulai melakukan beberapa blunder.
Saya tak menampik bahwa peran pelatih atau manajer dalam sebuah tim tentu sedikit banyaknya akan sangat berpengaruh pada permainan dilapangan, tapi saya tidak setuju apabila menurunnya kualitas permainan dari timnas Indonesia ini disebabkan hanya gara-gara Shin Tae-yong "blunder" saja.
Banyak faktor yang tentunya menyebabkan mengapa hingga saat ini timnas Indonesia belum kunjung mencapai level puncak performanya. Padahal dalam kualifikasi piala Asia yang lalu performa timnas sangat baik, bukan hanya dari segi bertahan tapi juga dalam hal menyerang timnas sudah menunjukan kelasnya.
Saya sepertinya agak sedikit berbeda dan bersebrangan dengan Bung Arson soal "blunder fatal" yang dilakukan STY. Meski dalam hal ini STY "bertanggung jawab" soal permainan timnas diatas lapangan, tapi menurunnya performa para pemain dilapangan tentu bukan semata-mata salah STY, strateginya yang jelek, atau taktiknya yang kurang tepat, akan tetapi itu disebabkan karena kondisi dari para pemain yang terlihat belum siap dalam turnamen yang bergengsi ini.Â
Kenapa demikian? Saya akan coba uraikan alasannya ditulisan ini.
Jadi, kita baru boleh mengkritik dengan keras atau mengatakan STY "gagal" bahkan blunder fatal, kalau selama pertandingan timnas Indonesia tidak pernah bisa "menciptakan peluang", akan tetapi dalam kenyataannya dilapangan dari mulai berhadapan dengan Kamboja hingga Filipina kalau ditotalkan ada berapa peluang shot on target yang berhasil timnas ciptakan? Bisa sampai puluhan!
Banyak bangetttt, tidak terhitung sejauh ini berapa banyak peluang itu dan timnas Indonesia tidak pernah merasa kesulitan dalam menciptakan peluang bahkan ketika berhadapan dengan timnas sekelas Thailand pun, kita melihat ada beberapa peluang emas yang tercipta.
Itu menunjukan setidaknya taktik yang diterapkan STY itu efektif lho? Karena kita masih bisa "menciptakan peluang", itu kata kuncinya. Bukan hanya satu, dua, tapi banyak. Namun masalahnya lagi-lagi soal decision making dan finishing dari pemain kita yang bermasalah.
Apakah hal tersebut juga salah STY? Ah, kayaknya gak masuk akal apabila gagal mengeksekusi peluang matang didepan gawang juga menjadi salah pelatih. Harusnya itu kan menjadi tanggung jawab pemain dilapangan, kenapa masih egois? Kenapa masih belum tepat sasaran? Kenapa terlalu bermain Individual?
Memang lebih mudah mengkambinghitamkan STY daripada melakukan evaluasi dan memperbaiki permainan. Disini pentingnya melakukan kritik secara konstruktif demi memajukan, bukan malah memojokan.
Lalu soal decision making dan finishing, ini salah siapa? Kita juga tidak serta merta harus menyalahkan ini pada pemain dan terlalu mengkritik mereka terlalu keras, karena bagaimana pun para pemain kita sudah bekerja keras bermain diatas lapangan terlepas dari hasil yang didapat.
Saya lebih setuju kalau masalah decision making dan finishing dari para pemain timnas ini disebabkan karena kurangnya menit bermain, atau jam terbang dari para pemain, seperti apa yang dikatakan STY, "berikan menit lebih pada pemain, maka kualitas permainan pun pasti akan meningkat."
Hal ini sesuai dengan teori yang disampaikan oleh pelatih dunia Pep Guardiola ketika diwawancarai oleh seorang wartawan tentang bagaimana cara meningkatkan decision making dan finishing pemain dilapangan, Pep menjawab bahwa semakin sering bermain maka masalah decision making dan finishing ini bisa diperbaiki.
Nah, masalahnya sebelum bergulirnya piala AFF 2022 ini, para pemain timnas kita sempat menemui masalah dan "berhenti bermain" dikarenakan kompetisi lokal atau turnamen liga kita yang sempat terhenti selama 2 bulan imbas adanya kasus Kanjuruhan.
Jelas saja, ini benar-benar mempengaruhi performa pemain diatas lapangan. Karena secara teori memang masuk akal apabila kita sering melakukan, memainkan, atau mengerjakan sesuatu maka kita akan semakin ahli dalam bidang tersebut.
Tapiii... frekuensi bermain yang sering itu pun perlu ditunjang dengan "metode latihan" yang tepat apabila mengingkan output yang maksimal. Dua sebab itulah yang menjadikan performa para pemain timnas kita terlihat mengalami penurunan permainan di piala AFF kali ini.
Jadi terjawab sudah ini bukan hanya salah Shin Tae-yong atau pun pemain saja, tapi semua pihak dalam hal ini ekosistem sepak bola yang baik tentu akan menghasilkan kualitas permainan yang baik pula.
Tidak perlu jauh-jauh, kita tengok saja pesaing kita yakni Kamboja yang sekarang sudah mulai menjadi kuda hitam di piala AFF 2022 ini. Sepak bola mereka terlihat mengalami perkembangan yang begitu pesat semenjak salahsatu pengelola liga disana menunjuk Satoshi Saito yang merupakan mantan direktur JFA, AFC dan Barcelona ditunjuk sebagai CEO Cambodia Premiere League untuk memperbaiki kompetisi lokal disana.
Alhasil, hanya dalam beberapa tahun kita sudah melihat perkembangan sepak bola Kamboja mengarah kepada peningkatan positif dan tidak bisa diremehkan lagi. Karena mereka betul-betul niat dan serius membenahi sepak bola bukan hanya dari aspek permainan lapangan, tapi juga ekosistem sepak bola nya itu sendiri.
Pertanyaanya, apakah rela timnas Indonesia disusul oleh Kamboja dalam hal kemajuan sepak bolanya? Bijak kah kalau penampilan buruk para pemain kita dilapangan itu disebabkan karena sosok pelatih saja?
Meski sesekali melakukan blunder, rasanya kurang tepat kita menyebut bahwa menurunnya performa timnas di piala AFF kali ini disebabkan karena "ulah" STY, atau "ketidakmampuan" STY dalam meramu taktik, padahal sejauh ini taktik dan strateginya itu cukup efektif dalam "menciptakan peluang" hanya tinggal bagaimana para pemain mampu memanfa'atkan peluang itu dengan baik disetiap pertandingan.
Kalau pun masih ada pemain yang kedapatan egois, tidak mengutamakan tim dan indisipliner, mungkin STY harus mulai tegas dan memberikan punishment pada pemain tersebut dengan mencadangkannya.
Seperti halnya yang dilakukan oleh Eric Tan Hag di Manchaster United yang kala itu sengaja mencadangkan Marcus Rashford karena dianggap tidak disiplin dan akhirnya hanya bermain selama 45 menit kala bertemu dengan Wolverhampton.
Hukuman itu pun akhirnya membuat Rashford "sadar diri" dan menjawab Eric Tan Hag dengan mencetak goal dan sekaligus menjadi pahlawan bagi setan merah dengan satu-satu nya goal yang dicetaknya itu.
Saya berharap STY pun memberlakukan punishment yang serupa pada pemain timnas agar jangan melakukan kesalahan yang sama berulang-ulang. Salam...
***
Come Back Stronger Garuda!
Reynal Prasetya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H