KDRT dari ayah kandungnya sendiri.
Dihadapan awak media seorang Ibu terlihat terbata-bata dan sambil menahan tangis ia menceritakan bahwa kedua anaknya, KR (10) dan KA (12) telah mendapat perlakuanSang ibu terpaksa melaporkan tindakan biadab suaminya itu ke pihak polisi karena merasa sudah tak tahan lagi dengan perlakuan kasar RIS yang dilakukan kepada anak-anaknya.
Pasalnya bukan hanya sekali dua kali, tapi menurut pengakuan sang ibu, RIS melakukan KDRT kepada anak-anaknya itu sudah terlampau sering dan terjadi dalam rentang waktu 2021-2022.
Bahkan sebelumnya, delapan tahun silam RIS pernah juga dilaporkan ke Polisi dengan kasus yang sama. Namun istrinya memutuskan untuk damai dan mengakhiri perkara tersebut dengan alasan mengutamakan kepentingan anak-anak dan berharap suaminya bisa berubah.
Namun faktanya berkata lain, perangainya yang terlanjur pemarah dan tempramental yang sudah mendarah daging dalam dirinya itu membuat ia kembali melakukan tindakan yang serupa pada anak-anaknya yang masih kecil itu.
Hal itu yang kemudian membuat KEY sebagai ibu korban geram dan memutuskan melaporkan suaminya ke Polres Jakarta Selatan pada 23 September yang lalu.
Namun dalam hal ini Polisi terkesan lamban dalam menangani kasus tersebut sehingga baru dua bulan kemudian tepatnya pada Selasa (20/12) penyidik baru menaikan status perkaranya ke tingkat penyidikan.
Usut punya usut RIS bahkan sudah 4 bulan tak memberikan nafkah pada keluarganya. Menurut pengakuan KEY melalui kuasa hukumnya Muhammad Syafri Noer mengungkapkan bahwa sejak akhir agustus 2022, terlapor tidak menafkahi anak-anaknya sampai saat ini.
KEY menceritakan bahwa kondisi anak-anaknya kini semakin memburuk. Akibat kekerasan dan perlakuan kasar yang diterima ayahnya itu kini kedua anaknya menjadi pendiam dan minder disekolah.
Lebih lanjut dirinya pun menjelaskan bahwa ada beberapa sebab mengapa suaminya itu sampai berbuat demikian. Menurut pengakuannya, RIS diduga mempunyai simpanan (wanita lain) dan mendapat tekanan dari kantor sehingga ia kerap bertindak tempramental.
Namun kadang menurutnya, suaminya itu juga bisa tersulut emosi hanya gara-gara masalah spele. Lebih jauh lagi disaat suaminya itu sedang pusing dan banyak pikiran, ia memiliki kebiasaan destruktif dan suka membanting barang-barang yang ada dirumah.
Bukan hal yang mudah tentu bagi KEY dan anak-anaknya ketika menjalani rumah tangga yang demikian. Seorang kepala keluarga yang seharusnya bisa melindungi dan memberikan perhatian pada anak istrinya, justru malah menyakiti, bertindak kasar dan melakukan hal-hal yang malah merugikan keluarganya.
Pernikahan yang seharusnya menjadi impian dan ruang yang nyaman bagi sepasang manusia, justru seringkali menjadi "neraka" dan ruang yang paling menakutkan bagi sebagian perempuan dan anak-anak.
KEY dan anak-anaknya tengah mengalami itu. Kita bisa menyimpulkan sendiri bahwa ia sedang berada pada kehidupan rumah tangga yang toxic. Bukan saja racunnya itu telah melukai fisik dan menghancurkan mentalnya, tapi juga pelan-pelan mulai berdampak buruk bagi kedua anaknya.
Secara psikologis kita tahu bahwa tindakan KDRT dapat memberikan dampak yang sangat berpengaruh dan dapat merubah sikap, tingkah laku, kurangnya tanggung jawab dan stabilitas emosional pada anak.
Menurut hasil penelitian, perilaku sebagian anak yang memiliki latar belakang adanya tindakan KDRT tersebut menunjukan hal yang kurang baik untuk dirinya dan untuk lingkungan sekitar dalam kegiatan sehari-harinya. Sehingga dalam bidang akademi, anak yang memiliki trauma akibat dari tindak KDRT mengalami penurunan nilai dan minat untuk berkembang.
Alasan-alasan yang seringkali berbunyi, "lebih baik damai demi sang anak", atau "mempertahankan rumah tangga yang toxic demi anak" justu malah mempercepat proses dampak buruk yang akan dialami oleh sang anak.
Bukan hanya bisa lebih banyak melukai fisik dan menghancurkan mental anak, tindak KDRT juga tentu bisa berdampak buruk bagi masa depan anak. Karena butuh waktu dan penanganan khusus bagi anak yang mengalami KDRT untuk bisa pulih dari trauma dan merasa hidup aman seperti sebelumnya.
Itulah mengapa ada baiknya hubungan yang sudah terlanjur toxic tersebut lebih baik segera diakhiri. Hentikan alasan-alasan tak masuk akal yang justru malah semakin memasung anak dalam kesengsaraan dan penderitaan.
Tidak ada rumah tangga yang menyenangkan apabila terus bertahan bersama pasangan yang abusive, kasar, tempramental, toxic dan "tidak sehat". Karena bertahan dalam hubungan yang disfungsional tersebut malah akan membuat korban semakin tertekan dan menderita.
Secara biologis, bertahan dalam hubungan toxic akan memicu peningkatan kortisol sehingga mengganggu sistem kekebalan tubuh, kesehatan jantung dan juga kadar gula dalam darah.
Jadi selain terisolasi secara sosial dan merasa stress sendirian, orang-orang yang berada dalam hubungan toxic jadi lebih mudah terjangkit kelelahan, sakit kepala, gangguan pencernaan, kelebihan atau kekurangan berat badan, gangguan tidur, tekanan darah tinggi dan sebagainya.
Begitu buruk dampak yang akan diterima apabila terus mempertahankan hubungan yang sudah tak bisa diperbaiki itu. Beberapa penelitian menemukan bahwa konsekwensi negatif perceraian justru masih lebih mendingan, ketimbang bertahan dalam hubungan yang beracun.
Bahkan orang yang bercerai dan tidak menikah lagi, secara umum lebih sehat fisik dan jiwanya dibanding pasangan yang menikah tapi berada dalam hubungan yang bermasalah dan tidak sejahtera.
Bagaimana pun tindak KDRT tidak bisa dibenarkan. Malah lebih jauh lagi penulis benar-benar mengutuk setiap tindak KDRT yang sudah terlampau sering terjadi di Indonesia. Artinya dalam hal ini kita harus pandai dan jeli dalam memilih pasangan.
Jangan pernah mentoleransi hal-hal buruk yang sering pasangan lakukan, kenali lah dahulu bagaimana tindak tanduk dan karakter dari pasangan sebelum kita memutuskan untuk serius ke jenjang pernikahan.
Karena kalau kalau sudah berumah tangga, bukan saja diri kita yang menjadi pertaruhan, namun kesehatan, kesejahteraan dan masa depan anak juga berada ditangan kita sebagai orangtua.
Kementerian PPPA mencatat, hingga oktober 2022 sudah ada 18.261 kasus KDRT yang terjadi diseluruh Indonesia. Sebanyak 79,5% atau 16.745 korban nya adalah perempuan.
Berdasarkan data dan fakta yang ada serta adanya aturan dalam undang-undang yang sudah ditetapkan, seharusnya pemerintah dan lembaga-lembaga terkait dapat bergerak lebih tanggap dan konsisten untuk membantu serta melindungi perempuan dan anak dari KDRT.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H