Mohon tunggu...
Reynal Prasetya
Reynal Prasetya Mohon Tunggu... Penulis - Broadcaster yang hobi menulis.

Penyuka Psikologi, Sains, Politik dan Filsafat yang tiba - tiba banting stir jadi penulis Fiksi. Cerita-cerita saya bisa dibaca di GoodNovel: Reynal Prasetya. Kwikku: Reynal Prasetya

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Indonesia Tak Akan Alami Resesi Seks, Ini Alasannya

20 Desember 2022   06:38 Diperbarui: 20 Desember 2022   06:50 749
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir-akhir ini isu tentang adanya resesi seks di beberapa negera sedang ramai dibahas. Beberapa negara maju seperti Amerika, China, Jepang dan Korea Selatan telah mengkonfirmasi bahwa telah terjadi "resesi seks" dinegaranya.

Hal itu ditandai dengan menurunnya tingkat kelahiran yang disebabkan oleh berkurangnya aktivitas seks warganya di negara-negara tersebut. Hingga beragam spekulasi pun bermunculan bahwa Indonesia pun digadang-gadang akan berpotensi mengalami hal yang serupa.

Lalu apa sebenarnya resesi seks ini? Darimana asal mula istilah ini dan apa dampaknya bagi suatu negara jika terkena 'resesi' yang terbilang masih asing ini?

Istilah resesi seks ini ternyata bermula dari sebuah tulisan Kate Julian seorang editor senior Amerika Serikat yang menulis artikel berjudul "Why Are Young People Having So Little Sex?" Dimajalah online bernama The Atlantic pada desember 2018 yang lalu.

Dalam tulisannya tersebut Kate menjelaskan bahwa resesi seks terjadi disebabkan karena remaja dan kalangan dewasa muda di Amerika Serikat melakukan sedikit seks dibandingkan dengan generasi sebelumnya.

Resesi seks yang dimaksud Kate ini merujuk pada kebiasaan seks yang dilkukan oleh orang Amerika yang mana mayoritas mereka cenderung memiliki toleransi yang besar melakukan seks sebelum menikah.

Berdasarkan survei prilaku resiko remaja yang dilakukan oleh Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit AS, ditemukan jumlah siswa sekolah yang pernah melakukan hubungan seks turun dari 54 menjadi 40 persen.

Dengan kata lain seks dinegara tersebut telah berubah. Dari yang sebelumnya dialami oleh sebagian besar siswa sekolah menengah AS, menjadi sesuatu yang belum pernah dialami. 

Ini berarti tingkat kehamilan remaja AS juga anjlok menjadi sepertiga dari level sebelumnya. Menurut Kate, orang-orang yang kini berusia 20an tahun, sekitar 15 persennya tak berhubungan seks meskipun mereka sudah mencapai usia dewasa.

Tapi bagaimana dengan Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim dan jauh lebih konservatif daripada Amerika Serikat? Sangat sedikit sekali orang Indonesia yang memiliki toleransi besar berhubungan seks sebelum menikah.

Kita tahu bagi orang Indonesia, hubungan seks diluar perkawinan adalah sesuatu yang tidak wajar. Tidak dibenarkan oleh mayoritas orang Indonesia khususnya yang beragama muslim.

Bahkan dalam hukum negara kita yang termuat dalam RKUHP terbaru yang mengatur hubungan seks diluar pernikahan sebagaimana disebutkan dalam pasal 413 ayat 1 menyebutkan, "Setiap orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II". Seperti dilansir dari cnbcindonesia.com

Pasal lain juga menyebutkan, "Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri diluar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II." Demikian bunyi pasal 414 ayat 1 RKUHP.

Ini mempertegas bahwa teori Kate Julian menjadi tidak relevan apabila disandingkan dengan Indonesia, ketika subject yang diteliti adalah anak-anak remaja dan dewasa muda seperti halnya di Amerika Serikat.

Karena kehidupan anak remaja dan dewasa di Indonesia khususnya dalam hal seks pra nikah (diluar perkawinan) tentu sangat berbeda dengan kehidupan anak remaja dan dewasa muda di AS.

Resesi seks tidak pernah dan tak akan mungkin terjadi di Indonesia sebagaimana yang dipaparkan oleh Kate. Meski dunia sekarang semakin mengarah kepada trend global, namun soal seks agaknya masyarakat Indonesia masih menganggap hal tersebut sebagai hal yang tabu dan privat.

Hanya orang-orang yang sudah dewasa dan sudah menikahlah yang boleh membicarakan dan melakukan hubungan seks. Mereka yang melakukan hubungan seks sebelum menikah masih menjadi minoritas dinegara ini.

Akan tetapi apabila istilah resesi seks ini dikaitkan dengan keinginan sebagian besar orang untuk menunda pernikahan karena disebabkan tuntutan ekonomi, mengejar karir, atau fokus meningkatkan pendidikan, ini cukup terdengar relevan untuk negara kita yang sedang berkembang.

Agaknya banyak remaja Indonesia yang sudah mulai menyadari bahwa pernikahan bukan hanya soal seks, tapi juga soal bagaimana memenuhi kebutuhan hidup mulai dari sandang, pangan, papan termasuk juga bagaimana sulitnya mengurus anak menjadi alasan banyak remaja Indonesia yang kini memilih menunda pernikahan.

Termasuk penulis yang juga memilih untuk menunda pernikahan mengingat bagaimana rumitnya pernikahan di zaman modern ini dan tingginya tuntutan hidup dan biaya ekonomi membuat penulis memilih untuk fokus pada karir dan pengembangan diri ketimbang terburu-buru untuk menikah.

Menunda pernikahan ini juga dikenal luas dengan istilah "Waithood" sebagaimana dikatakan oleh Marcia Inhorn, Profesor Antropologi Hubungan Internasional di Yale University, yakni sebuah fenomena penundaan keputusan-keputusan besar dalam generasi muda kekinian, termasuk menunda pernikahan.

Waithood pertama kali dicetuskan oleh Diane Singerman, Profesor American University Washington DC, dalam risetnya tentang generasi muda Timur Tengah. Ia mempublikasikannya pada akhir 2007 dalam jurnal berjudul, "The Economic Imperatives of Marriage: Emerging Practices and Identities among Youth in the Middle East."

Salahsatu kasus yang diselidiki oleh Singerman adalah Mesir. Anak muda Mesir memilih menunda pernikahan ternyata bukan karena tidak ingin, tapi tidak punya cukup uang untuk hidup mandiri tanpa tinggal dirumah orang tua, membiayai resepsi, sampai menafkahi keluarga sendiri.

Waithood ternyata telah menjadi trend global dan muncul dibeberapa negara seperti Yordania, China, Amerika Serikat, Rwanda, Jepang, hingga Guatemala.

Jadi, penulis berpendapat bahwa fenomena Waithood versi Singerman lebih mungkin terjadi di Indonesia ketimbang fenomena Sex Recession versi Kate Julian. Meski dua-duanya mengarah pada keputusan sebagian besar remaja untuk menunda pernikahan, fenomena Waithood agaknya lebih masuk akal apabila terjadi di Indonesia.

Referensi : {1} ; {2} ; {3} ; {4}

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun