Ada beberapa hal menarik dan fakta baru yang terungkap ke publik imbas daripada peristiwa penembakan yang menewaskan Brigadir J pada 08 Juli lalu.
Salahsatunya adalah banyaknya para personel Polri yang ikut terlibat dalam kasus yang penuh misteri ini. Tak tanggung-tanggung ada sekitar 56 personel yang diperiksa oleh Irsus Polri dan 31 diantaranya diduga melakukan pelanggaran kode etik dan terancam dipidana apabila terbukti mencoba menghalang-halangi proses hukum dan mencoba menyembunyikan fakta yang sebenarnya.
Dan kini terkuak sudah ternyata Irjen FS adalah tersangka yang berperan sebagai "master mind" dan berupaya mengaburkan fakta dengan menskenariokan kejadian seolah-olah terjadi peristiwa tembak-menembak.
Ada beberapa alibi yang sengaja FS dan geng nya lakukan untuk lolos dari jerat hukum, pertama FS beralibi bahwa pada saat kejadian dirinya sedang tidak ada di lokasi kejadian karena sedang melakukan tes PCR.
Kedua FS sengaja menembak dinding dan langit-langit disekitar lokasi kejadian menggunakan senjata milik Brigadir J untuk meyakinkan bahwa memang telah terjadi peristiwa tembak-menembak.
Alibi ketiga, Bharada E dibuat seolah-olah personel hebat yang jago menembak bahkan dikatakan pelatih menembak dikesatuannya, namun pada akhirnya terungkap bahwa Bharada E bukanlah penembak jitu seperti yang dimaksudkan.
Dan semua ini FS lakukan dengan melibatkan dan memerintahkan anak buahnya untuk memuluskan skenario yang telah dibuatnya demi meloloskan dirinya dari jerat hukum.
Kita asumsikan saja dari 31 personel yang terlibat itu mempunyai peran-peran khusus, ada yang berperan membersihkan TKP, ada yang berperan menyembunyikan dan menghilangkan barang bukti, ada yang berperan melakukan "peretasan" terhadap keluarga korban, dan peran-peran lain yang masih berkaitan dengan skenario yang dibuat oleh FS.
Dari sini kita bisa melihat, betapa kuatnya pengaruh FS di internal Polri sehingga banyak para personel yang akhirnya ikut terseret, mulai dari Pati hingga tamtama, mulai dari kesatuan Div Propam, Bareskrim hingga Polda Metro Jaya?
Dengan kuasa dan jabatannya itu FS bisa dengan leluasa memerintahkan dan menggerakan anak buahnya untuk menutupi fakta sebenarnya dari kasus ini. Betapa kuat posisi dan pengaruhnya itu.
FS memang bukan polisi sembarangan, diketahui sejak era Kapolri Tito Karnavian hingga era Kapolri sekarang, FS kerap menduduki jabatan-jabatan strategis seperti Wadireskrimum Polda Metro, Dirtipidum Polri hingga Kasatgassus Merah Putih yang konon merupakan satuan khusus untuk memberantas extra ordinary crime, seperti Narkoba, Judi Online, TPPU, Teror dan kasus-kasus besar skala nasional bahkan internasional.
Apakah karena pengaruh dan jabatannya itu sehingga tersiar isu bahwa ada kelompok atau geng-geng di internal Polri? Sehingga ini yang kemudian menyebabkan adanya Psiko-hierarkis dan Psiko-politis dalam mengusut kasus yang melibatkan dirinya itu?
Hal ini juga yang pernah disinggung oleh IPW bahwa Kapolri harus segera mengevaluasi keberadaan Satgassus yang ada di tubuh Polri. Karena keberadaan Satgassus secara langsung maupun tidak langsung membuat tumpang tindih kewenangan selama penyelidikan dan penyidikan dalam kasus Brigadir J ini.
Bahkan lebih lanjut Mahfud MD sempat mengatakan seperti ada Mabes di dalam Mabes, seperti sedang saling menyerang, menyandra dan bersaing satu sama lain. Atas dugaan itu pula yang menyebabkan Kapolri akhirnya segera melakukan mutasi 25 Personel buntut dari kasus Brigadir J ini karena diduga kuat sengaja menghambat proses penyidikan.
Perlunya Dibentuk Komisi Penegakan Hukum (KPH) Di Indonesia
Wajarkah apabila kita menyebut 31 Personel yang secara meyakinkan melanggar kode etik itu disebut sebagai oknum? Bukankah lebih tepat menyebutnya sebagai kelompok atau geng?
Karena mereka sengaja melakukan konspirasi dan pemufakatan jahat dalam menutupi kasus kematian Brigadir J. Ini sangat amat tidak wajar apabila kita sebut sebagai oknum.
Dari kasus yang menghebohkan dan mencengangkan ini penulis berpendapat sepertinya pemerintah harus segera membentuk suatu lembaga yang secara khusus menindak para penegak hukum yang nakal.
Pemerintah perlu segera membentuk Komisi Penegakan Hukum (KPH). Demi mewujudkan tegaknya keadilan hukum di NKRI.
Ide ini sebenarnya muncul dari salahsatu Politisi Partai Gerindra sekaligus musisi legenda di Indonesia yakni Ahmad Dhani, setelah keluar dari penjara akibat terseret kasus ujaran kebencian beberapa tahun lalu, dirinya seperti mendapat wangsit dan berkeinginan membentuk lembaga ini.
(Sumber: tangkapan layar dari wartakota.tribunnews.com)
Penulis cukup sependapat dengan ide nya itu. Menurutnya, KPH ini mirip-mirip seperti KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi). Yang mana merupakan lembaga independen yang mempunyai tugas dan fungsi khusus.
Bedanya, jika KPK berfungsi mengawasi para pejabat seperti Gubernur, Bupati dan menangkapi para koruptor, KPH ini nantinya berfungsi untuk mengawasi para penegak hukum seperti Polisi, Jaksa atau Hakim dan menangkapi para penegak hukum yang terbukti nakal dan menyeleweng.
KPH ini nantinya mengawasi misalnya, adakah indikasi kecurangan pada saat menegakan hukum? Adakah indikasi rekayasa pada saat menindaklanjuti suatu kasus? Adakah indikasi menyalahgunakan jabatan atau pun kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau tertentu? Ini jelas perlu diawasi.
Jangan sampai para penegak hukum ini menjelma seperti "dewa" yang bisa "kebal hukum". Dan senang melakukan abuse of power kepada masyarakat. Karena tidak menutup kemungkinan dan bahkan sudah terbukti banyak para penegak hukum yang justru malah melanggar hukum.
Kalau anggota Polri seperti Brigadir J saja sampai diperlakukan keji dan jahat sedemikian rupa, pertanyaannya bagaimana dengan kita sebagai rakyat sipil biasa? Kita berharap jangan ada lagi abuse of power seperti dalam kasus Brigadir J.
Sebagai penutup, setujukah anda kalau di Indonesia ada sebuah lembaga bernama Komisi Penegakan Hukum?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI