Mohon tunggu...
Reynal Prasetya
Reynal Prasetya Mohon Tunggu... Penulis - Broadcaster yang hobi menulis.

Penyuka Psikologi, Sains, Politik dan Filsafat yang tiba - tiba banting stir jadi penulis Fiksi. Dukung dan kunjungi channel Karyakarsa : Reynal Prasetya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sebagai Orangtua Mana yang Anda Inginkan, Anak Pintar atau Anak Penurut?

27 Maret 2022   20:33 Diperbarui: 2 April 2022   03:19 1463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi anak pintar (Sumber: lifestyle.kompas.com)

Saya tidak tahu persis apa yang ada dalam benak para orangtua Indonesia ketika mereka mempunyai seorang anak. Saya juga tidak tahu persis apa yang benar-benar mereka dambakan dari anak mereka. 

Pertanyaan dalam kepala saya ini tentu hanya tertuju kepada para orangtua di Indonesia. Ya, Indonesia. Karena saya melihat hubungan antara orangtua dan anak di Indonesia ini masih begitu kental dipengaruhi nilai-nilai budaya yang konservatif. 

Sehingga menghasilkan relasi yang kadang tidak cukup menguntungkan untuk menumbuhkembangkan sang anak. 

Dalam hal ini orangtua masih terus mendominasi bahkan tak sedikit orangtua yang masih mengurusi dan merecoki langkah sang anak hingga ia dewasa. 

Tidak seperti yang terjadi pada orang-orang barat misalnya. Saya yakin mereka bisa lebih liberal dan frontal dalam hal komunikasi dan juga mendidik anak. 

Namun anggap saja ini sebatas Hipotesa. Jangan dulu anda percayai dan telan bulat-bulat begitu saja. Saya hanya sedang mencoba menuangkan amatan dan analisis saya saja sejauh ini. 

Satu hal yang pasti dan sering saya dengar, rata-rata orangtua di Indonesia sangat menginginkan anak yang pintar dan penurut. Itulah kira-kira yang selama ini mereka dambakan. 

Namun benarkah orangtua di Indonesia menginginkan anaknya menjadi pintar? Untuk menjawab ini, mari kita lihat realitas yang sebenarnya dengan cara sedikit berlogika. 

Menurut saya, pintar erat hubungannya dengan kemampuan berpikir. Orang yang pintar adalah mereka yang mempunyai keluwesan berpikir dan mampu menggunakan otaknya dengan optimal. 

Tak heran berkat kemampuan berpikirnya itu, orang pintar dapat memecahkan masalah, membuat argumen, berdebat, bahkan menciptakan sesuatu dari hasil kepintarannya itu. 

Lalu apa lawan kata dari pintar? Saya kurang nyaman menyebutnya bodoh. Ya, sebut saja otaknya tidak optimal. Atau mungkin disfungsional sehingga tidak mempunyai kemampuan berpikir yang luwes, encer layaknya mereka yang pintar. 

Salahsatu ciri khas dari mereka yang otaknya kurang optimal ini biasanya mudah terpengaruh, dihasut, gampang nurut, tidak punya pemikiran independen, mudah diadu domba dan dibodohi begitu saja. 

Sehingga mereka-mereka yang otaknya kurang optimal ini kerap berada di lingkaran sosial paling bawah, mudah disetir, dikendalikan dan ma'af biasanya menjadi budak. Akibat ketidaktahuan (kurang wawasan) dan kepolosan mereka. 

Tentu orangtua kita tidak menginginkan anaknya seperti itu. Mereka jelas sangat ingin mempunyai sosok anak yang pintar tadi. Kuat, independen dalam berpikir dan mampu mengoptimalkan anugerah terbaik dari Tuhan, yakni otak. 

Namun celakanya, salahsatu karakter anak pintar adalah mereka kerap kali keras kepala, sulit diatur, pandai berargumen bahkan berdebat, karena mereka adalah orang independen dalam berpikir serta pandai bersiasat. 

Jadi, tatkala sang anak mulai berani berargumen bahkan mendebat orangtuanya, mereka jutsru mulai ketar-ketir dan menganggap bahwa anaknya sudah berubah menjadi seorang pembangkang yang kurang ajar. 

Si orangtua jadi mulai ketakutan anaknya jadi tidak nurut dan patuh lagi. Si orangtua mulai khawatir si anak jadi ugal-ugalan dan tak bisa diatur lagi. Dari situlah akhirnya konflik dan babak baru dimulai. 

Bukannya bersyukur karena ternyata si anak sudah tumbuh dengan pintar dan independen, kebanyakan orangtua ketika dihadapkan pada situasi tersebut justru merasa parno karena anaknya telah berubah drastis dan mulai berani mendebat orangtuanya. 

Si orangtua justru harusnya bersyukur bahwa jerih payahnya dalam menyekolahkan anaknya agar otaknya terisi kini telah membuahkan hasil. Kini anaknya benar-benar menjadi pintar seperti apa yang ia dambakan. 

Kelak, jika suatu saat saya menjadi orangtua dan mempunyai anak, saya justru akan menaruh curiga ketika sang anak tidak mampu mendebat pemikiran ayahnya. Saya malah takut jika anak saya tidak berani berargumen dan melawan "rezim" papa-mamanya. Karena saya ingin anak yang pintar, kuat dan independen. 

Mereka yang kuat, pintar dan independen tidak mungkin begitu saja dapat terpengaruh, didikte, disetir apalagi diatur. Saya akan menaruh bangga dan bertepuk tangan meriah untuk anak saya atas kepintarannya tersebut. 

Tapi tentu tidak semua orangtua memiliki pemikiran seperti saya. Mereka justru terlalu takut dan pengecut memiliki anak yang pintar. Jauh didalam lubuk hatinya, mereka sebenarnya hanya menginginkan sosok anak penurut yang tak banyak tingkah. 

Sulit diatur bukan berarti kita memaklumi anak yang terlalu sering melawan perintah, berkata kasar, dan tidak menghormati orangtuanya. Tentu prilaku tersebut tidak bisa ditoleransi dan kita harus dengan tegas dan keras memperbaikinya. 

Namun maukah kita sebagai orangtua sejenak melucuti ego yang ada untuk senantiasa menerima saran dan juga masukan dari sang anak? Maukah sejenak kita belajar dan berguru pada anak kita? Mendengarkan apa yang menjadi pendapatnya, pendiriannya, pemikirannya. 

Bukankah seharusnya kita sadar bahwa semakin tua kemampuan berpikir kita akan semakin menyusut? Sudah saatnya kita mulai mengandalkan anak-anak kita untuk berpikir dan mencari jalan keluar dari setiap permasalahan yang ada. 

Bersyukurlah apabila tetiba anak kita gemar berargumen, memberi saran dan masukan bahkan mendebat kita. Itu tandanya bahwa kita telah berhasil dan tidak menyianyiakan uang kita begitu saja untuk menyekolahkannya. 

Artinya dia telah tumbuh menjadi manusia yang sesuai fitrahnya. Dia telah tumbuh menjadi anak pintar dan sosok independen. Sehingga kita sebagai orangtua tidak akan khawatir lagi apabila kita telah tiada, karena dia telah menjadi sosok kuat yang tak akan mudah dibodohi, disetir, didikte, dipengaruhi, apalagi di adudomba. 

Sebaliknya, kita akan sangat menyesal ternyata anak kita begitu penurut, mudah dibodohi, diiming-imingi, dipengarui oleh teman-teman dan lingkungannya, sehingga selama hidupnya dia akan selalu menjadi budak dan korban kelicikan dari mereka yang ingin memanfa'atkannya. 

Untuk yang kedua kalinya, izinkan saya mengajukan pertanyaan lagi kepada anda, mana yang benar-benar anda inginkan, anak yang pintar atau anak penurut??? 

***

Calon Ayah 

Reynal Prasetya

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun