Mohon tunggu...
Reynal Prasetya
Reynal Prasetya Mohon Tunggu... Penulis - Broadcaster yang hobi menulis.

Penyuka Psikologi, Sains, Politik dan Filsafat yang tiba - tiba banting stir jadi penulis Fiksi. Baca cerita terbaru saya disini : https://www.wattpad.com/user/Reypras09

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Sebagai Orangtua Mana yang Anda Inginkan, Anak Pintar atau Anak Penurut?

27 Maret 2022   20:33 Diperbarui: 2 April 2022   03:19 1463
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Lalu apa lawan kata dari pintar? Saya kurang nyaman menyebutnya bodoh. Ya, sebut saja otaknya tidak optimal. Atau mungkin disfungsional sehingga tidak mempunyai kemampuan berpikir yang luwes, encer layaknya mereka yang pintar. 

Salahsatu ciri khas dari mereka yang otaknya kurang optimal ini biasanya mudah terpengaruh, dihasut, gampang nurut, tidak punya pemikiran independen, mudah diadu domba dan dibodohi begitu saja. 

Sehingga mereka-mereka yang otaknya kurang optimal ini kerap berada di lingkaran sosial paling bawah, mudah disetir, dikendalikan dan ma'af biasanya menjadi budak. Akibat ketidaktahuan (kurang wawasan) dan kepolosan mereka. 

Tentu orangtua kita tidak menginginkan anaknya seperti itu. Mereka jelas sangat ingin mempunyai sosok anak yang pintar tadi. Kuat, independen dalam berpikir dan mampu mengoptimalkan anugerah terbaik dari Tuhan, yakni otak. 

Namun celakanya, salahsatu karakter anak pintar adalah mereka kerap kali keras kepala, sulit diatur, pandai berargumen bahkan berdebat, karena mereka adalah orang independen dalam berpikir serta pandai bersiasat. 

Jadi, tatkala sang anak mulai berani berargumen bahkan mendebat orangtuanya, mereka jutsru mulai ketar-ketir dan menganggap bahwa anaknya sudah berubah menjadi seorang pembangkang yang kurang ajar. 

Si orangtua jadi mulai ketakutan anaknya jadi tidak nurut dan patuh lagi. Si orangtua mulai khawatir si anak jadi ugal-ugalan dan tak bisa diatur lagi. Dari situlah akhirnya konflik dan babak baru dimulai. 

Bukannya bersyukur karena ternyata si anak sudah tumbuh dengan pintar dan independen, kebanyakan orangtua ketika dihadapkan pada situasi tersebut justru merasa parno karena anaknya telah berubah drastis dan mulai berani mendebat orangtuanya. 

Si orangtua justru harusnya bersyukur bahwa jerih payahnya dalam menyekolahkan anaknya agar otaknya terisi kini telah membuahkan hasil. Kini anaknya benar-benar menjadi pintar seperti apa yang ia dambakan. 

Kelak, jika suatu saat saya menjadi orangtua dan mempunyai anak, saya justru akan menaruh curiga ketika sang anak tidak mampu mendebat pemikiran ayahnya. Saya malah takut jika anak saya tidak berani berargumen dan melawan "rezim" papa-mamanya. Karena saya ingin anak yang pintar, kuat dan independen. 

Mereka yang kuat, pintar dan independen tidak mungkin begitu saja dapat terpengaruh, didikte, disetir apalagi diatur. Saya akan menaruh bangga dan bertepuk tangan meriah untuk anak saya atas kepintarannya tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun