Mohon tunggu...
Reynal Prasetya
Reynal Prasetya Mohon Tunggu... Penulis - Broadcaster yang hobi menulis.

Penyuka Psikologi, Sains, Politik dan Filsafat yang tiba - tiba banting stir jadi penulis Fiksi. Cerita-cerita saya bisa dibaca di GoodNovel: Reynal Prasetya. Kwikku: Reynal Prasetya

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Seorang Ibu yang Peduli Tidak akan Membebaskan Anaknya Begitu Saja

20 November 2020   14:29 Diperbarui: 20 November 2020   14:31 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi ibu dan anak (Sumber: pixabay.com/Victoria_Borodinova/4924 images)

Tahukah anda, apa keberuntungan terbesar bagi seorang anak? Yaitu ketika memiliki seorang ibu yang peduli dan mau menasehati.

Tidak ada satupun seorang ibu yang tidak mencintai anaknya, bagaimana pun bentuk dan dengan segala kekurangannya, dimata seorang ibu, anak tetaplah buah hati tercinta.

Namun bila berbicara kadar kepedulian, kita masih sering menemukan, ada dua ekstrem yang berkebalikan. Disisi kiri ada seorang ibu yang terlalu membebaskan anaknya, sebaliknya disisi kanan ada seorang ibu yang terlalu protektif terhadap anaknya.

Mana yang lebih baik diantara keduanya? 

Tidak ada.

Terlalu membebaskan anak tentu sangat beresiko. Anak akan bertingkah semaunya, bergaul sesuka hati, kebebasan yang terlalu longgar kadangkala disalahgunakan oleh anak untuk hidup tanpa mengenal mana yang benar dan mana yang salah. Mana pergaulan yang sehat dan mana pergaulan yang buruk.

Sebaliknya, terlalu protektif terhadap anak juga bisa berujung pemberontakan. Mau tidak mau anak harus berontak karena tidak suka dikekang.  

Pendidikan yang over protective selalu memicu anak menjadi stres bahkan depresi karena kesehatan mentalnya terganggu. 

Bagaimanapun anak memiliki kehendak. Setiap anak punya keputusan dan pilihan yang menurutnya terbaik. Setiap anak membawa karakter uniknya masing-masing, mana mungkin kita sebagai orangtua bisa memaksakan kehendak kepada anak.

Ibu yang baik seharusnya berada ditengah. Tidak terlalu membebaskan dan juga tidak terlalu over protective. Sesekali anak memang perlu dibebaskan, namun dengan kadar yang wajar. 

Ketika dia melakukan kesalahan, beri masukan untuk tidak mengulangi kesalahannya. Anak harus diajarkan untuk siap menerima konsekwensi dari setiap tindakan yang dia lakukan.

Ilustrasi ibu dan anak (Sumber: pixabay.com/Victoria_Borodinova/4924 images)
Ilustrasi ibu dan anak (Sumber: pixabay.com/Victoria_Borodinova/4924 images)
Namun sayang sekali, akhir-akhir ini justru saya lebih banyak melihat hal yang sebaliknya. Mungkin anda juga sering menyaksikan itu. Beberapa anak dibiarkan dan dibebaskan begitu saja tanpa ada kepedulian dan perhatian dari orangtuanya. 

Anak-anak SD yang notabene masih labil dan masih butuh bimbingan dari orang tua bergaya seolah anak yang sudah dewasa dengan kisah cinta yang mereka banggakan. Sekarang punya pacar lebih bergengsi, ketimbang berprestasi dibidang akademis.

Mereka terlalu cepat jika harus difasilitasi smartphone yang mahal. Namun demi gaya dan tekanan sosial, ada banyak orangtua yang justru dengan bangga membelikan smartphone untuk anaknya yang masih labil itu. 

Entah karena ingin terlihat gaul, bergengsi atau bagaimana? Kita tidak tahu.

Untungnya itu tidak berlaku bagi ibu saya. Meski ada beberapa teman dari adik saya yang masih SD sudah pada punya smartphone, ibu tidak buru-buru membelikan smartphone untuk adik saya. 

Bukan karena ibu pelit atau tidak mau membelikan padahal teman-temannya yang lain sudah punya, akan tetapi ibu tahu, benda itu bukan digunakan untuk keperluan belajar, tapi bisa disalahgunakan untuk sesuatu yang tidak perlu. Salahsatunya: pacaran.

Memang ini terdengar lucu, ada anak-anak SD yang katanya sudah pacaran, tapi begitulah faktanya jika kontrol dari orangtua yang kurang peduli dengan anaknya.

Serius! saya sering mengamati bagaimana gerak gerik pergaulan adik perempuan saya yang masih kelas enam SD itu. Masih kecil belum tahu apa-apa soal cinta dan pernikahan, obrolannya kok sudah kayak anak dewasa. Sukanya ngerumpiin cowok idaman yang disuka. Hadeuhh..

Itu sebenarnya normal, tapi tetap saja masih butuh bimbingan dari orangtua. Supaya tidak terlalu kejauhan dan kebablasan.

Ada beberapa anak dari teman adik saya yang kelihatannya kurang diperhatikan orangtuanya. Kemana-mana sudah menenteng smartphone mahal, sudah diperbolehkan bawa motor sendiri, sudah bersedia didekati dan mendekati cowok yang dia suka. 

Pertanyaannya, kemana ibunya? Mengapa si anak dibebaskan berkeliaran begitu saja diumur yang masih dini? Apalagi dia adalah anak perempuan? Bagaimana dengan masa depannya kelak?

Ini dampaknya tidak main-main, lho. Mau tau apa dampak jangka panjangnya?

Dalam kasus ini si anak kurang edukasi dari orangtuanya. Masa muda yang seharusnya dia habiskan untuk belajar, mengeksplorasi diri, menemukan minat dan bakat, justru digunakan untuk berpacaran. Akibatnya ketika dia lulus SMP atau SMA, yang ada di otak si anak pasti hanya ada cinta dan pernikahan.

Tidak akan ada lagi hasrat untuk mengejar karir, mengerjakan passion, atau mewujudkan mimpi, karena menurut dia, tujuan hidup yang paling utama adalah: menikah. 

Pikirannya sudah lebih dulu terdistraksi dengan kisah-kisah romansa dan pernikahan. Apalagi jika mereka hanya belajar semua itu dari tontonan di televisi. Salahsatunya: sinetron. 

Banyak lho, saat ini anak-anak kita yang masih SD sukanya nonton sinetron. Apalagi yang bertema percintaan remaja, pernikahan, dan kisah rumah tangga. Akan selalu laris manis dipasaran :)

Dan benar saja, mimpi si anak untuk menikah muda pun akhirnya terwujud. Tujuan hidupnya sudah tercapai, kini dia sudah menikah. Lalu kemudian mempunyai anak. Dia kini sudah menjadi orangtua dan bukan anak-anak lagi.

Akan tetapi karena semenjak muda dia tidak pernah belajar bagaimana caranya menjadi orangtua dan orangtuanya pun lebih banyak membebaskannya, maka ada kecenderungan dia pun akan melakukan hal yang serupa kepada anaknya.

Hasilnya? Ah sudah bisa dipastikan, anaknya pun akan mempunyai kecenderungan yang sama untuk bertindak seperti orangtuanya. Siklus ini mungkin akan terus berulang, entah sampai generasi yang ke berapa.

Inilah yang menyebabkan SDM kita kalah dari negara-negara lain. Karena edukasi dan literasi belum menjadi orientasi utama. Melainkan pernikahan dan kisah romansa yang terlalu dijunjung tinggi.

Beruntung saya memiliki seorang ibu yang tidak pernah mendorong saya untuk buru-buru menikah. Untuk buru-buru berkeluarga. Ibu malah lebih peduli terhadap apa yang bisa dicapai dimasa muda? Karir apa yang akan saya raih? Tujuan dan cita-cita apa yang ingin dicapai?.

Ibu justru menganjurkan untuk berkelana dan mencari pengalaman sebanyak-banyaknya terlebih dulu, karena sebagai laki-laki, kelak saya akan menjadi pemimpin.

Bersyukurlah jika selama ini kamu mempunyai ibu yang peduli dan masih mau menasehati. Kamu musti curiga kalau misalkan selama ini kamu jarang diberi nasihat, kamu musti bertanya-tanya kenapa kamu terlalu dibebaskan?.

Karena seorang ibu yang peduli tidak mungkin membiarkan anaknya begitu saja melakukan apapun sesuka hati tanpa mengenal baik buruk atau pun salah benar yang dilakukan.

Seorang ibu yang peduli akan selalu memperhatikan apa yang terbaik untuk hidupmu. Seorang ibu yang peduli tidak akan segan melarangmu malam-malam keluyuran tidak jelas. 

Seorang ibu yang peduli akan memperhatikan dengan siapa kamu bergaul. Seorang ibu yang peduli akan memperhatikan pendidikan dan bagaimana kamu bersikap kepada orang lain. Seorang ibu yang peduli tidak akan menelantarkanmu begitu saja.

Semasa SMP hingga SMA dulu saya pernah berpikir, kenapa ibu saya terlalu mengekang saya? Kenapa saya tidak diberi kebebasan seperti halnya teman-teman saya? Kenapa teman-teman saya seolah-olah diberi kebebasan dan keleluasaan lebih oleh orangtuanya?

Alasan umum yang biasanya saya temukan adalah: "Yah namanya juga laki-laki, biarin saja, wajar kalau bandel."

Tapi beda dengan ibu saya yang meskipun saya adalah laki-laki, ibu tidak membebaskan saya begitu saja. Ibu selalu bertanya mau kemana dan dengan siapa setiap kali saya keluar rumah malam-malam.

Meskipun saya laki-laki, saya hanya boleh pulang tidak lebih dari jam sembilan malam saat itu. Ibu selalu mengawasi dengan siapa saya bergaul, apa yang saya lakukan ketika keluar malam-malam.

Karena hasil didikan itulah saya tidak pernah mengenal yang namanya minuman keras, obat-obatan terlarang, atau barang sejenisnya yang memabukkan. Apalagi sampai mencobanya. Meskipun teman-teman saya pada waktu itu sudah ada yang mencoba-coba untuk mencicipinya.

Saya tidak mungkin bisa seperti ini tanpa seorang ibu yang berjiwa pendidik. Apa yang dulu saya anggap larangan dan kekangan, justru sekarang saya bersyukur ternyata saya mempunyai seorang ibu yang sangat peduli dan perhatian terhadap anaknya.

Memang benar, buah selalu jatuh tidak jauh dari pohonnya. Anak adalah cerminan dari orangtua. Anak yang baik adalah buah dari pola asuh yang baik. Seorang ibu akan selalu menjadi sekolah pertama bagi anak-anaknya.

Bersyukurlah jika selama ini kamu masih mempunyai dan merasakan kasih sayang ibu, karena berkat sosok ibu-lah kita bisa berdiri dengan penuh percaya diri, kita masih kuat meski tekanan datang silih berganti. 

Kadang kita bisa lupa dengan jasa-jasa ibu, kadang kita terlambat untuk berterimakasih kepada ibu. Sekarang adalah waktunya untuk mengingat seberapa besar perjuangan dan jasa-jasanya terhadap hidup kita. Karena kalau sudah tiada, kita tidak bisa lagi merasakan cinta sejati itu.

Terimakasih ibu, semua pengorbanan dan jasa-jasa mu tidak akan pernah terhitung. Kau adalah pahlawan terkren dalam hidupku.

Sukabumi, 20 November 2020

[Tulisan Untuk Ibu. Hanya Ditulis Untuk Kompasiana]

Reynal Prasetya

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun