Ada tiga alasan yang melatarbelakangi keputusan Anies Baswedan untuk kembali memberlakukan PSBB di DKI Jakarta pada hari Senin (14/9), secara ketat.
Tingginya angka kematian, jumlah kasus positif Covid-19 yang semakin meningkat, dan kapasitas tempat isolasi dan ICU khusus Covid-19 yang sudah hampir penuh, membuat Gubernur DKI itu memilih untuk menarik "rem darurat" dikarenakan kekhawatiran kasus Covid-19 di DKI Jakarta semakin tidak terkendali.
Namun upaya Anies itu mendapat kritik dari beberapa pihak yang mengkhawatirkan keadaan ekonomi Indonesia semakin terpuruk jika PSBB kembali di berlakukan.
Adalah tiga menteri Jokowi, yakni Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Perindustrian Agus Gumiwang Kartasasmita dan Menteri Perdagangan Agus Suparmanto yang tidak setuju apabila Anies tetap memberlakukan PSBB di DKI Jakarta.
Keputusan Anies secara mendadak menarik rem darurat untuk memberlakukan PSBB itu dengan seketika mempengaruhi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang turun tajam sebesar 5 persen pada level 4.892,87 atau turun 257,49 poin.Â
Tidak hanya itu, kinerja industri manufaktur akan kembali tertekan dan akan semakin parah bila wilayah lain juga menerapkan hal yang serupa.
Perlu diketahui bahwa, Industri manufaktur merupakan salah satu penyumbang terbesar perekonomian Indonesia. Tertekannya industri manufaktur akan berpengaruh besar terhadap kondisi perekonomian secara keseluruhan.Â
Pemberlakuan PSBB juga dinilai berpotensi mengganggu kelancaran distribusi barang, mengingat peran penting Jakarta dalam aliran distribusi nasional.
Selama ini peran pemerintah dalam menangani Covid-19 di Indonesia memang seringkali tereduksi dan terpolarisasi dalam dua ekstrem. Antara mengorbankan nyawa atau mengorbankan ekonomi. Antara membiarkan dengan harapan terbentuk imunitas kelompok ala Inggris atau kebijakan draconian ala China.Â
Disinilah perlunya kebijaksanaan pemerintah dalam mengambil kebijakan yang tepat dengan cara mengambil jalan tengah. Dengan tetap mementingkan aspek ekonomi namun juga tidak mengabaikan soal kesehatan.Â
Pemerintah perlu meneliti dan menyelidiki dengan seksama kira-kira strategi seperti apa yang paling pas diterapkan di Indonesia?. Karena selama ini, setiap kebijakan yang dibuat selalu saja memunculkan polemik yang tak berkesudahan, sehingga Kasus Covid-19 di Indonesia semakin hari semakin mengkhawatirkan.
Ketika pada akhirnya PSBB tetap diberlakukan, apakah itu merupakan solusi terbaik dan betul-betul bisa mengurangi jumlah kasus positif Covid-19? Belum tentu!
Terbukti PSBB yang telah diberlakukan pada jilid pertama dinilai tidak efektif karena masih banyak masyarakat yang melanggar aturan PSBB dan tidak mematuhi protokol kesehatan.
Sejak 10 hari PSBB Jakarta pada jilid pertama dilakukan, sebagaimana dilansir dari tirto.id, Polda Metro jaya masih menemukan 18.958 pengendara yang melanggar aturan PSBB terkait sektor lalu lintas. Jenis pelanggaran terbanyak yakni, tidak menggunakan masker saat berkendara baik sepeda motor maupun kendaraan roda empat.
Satuan polisi pamong praja (Satpol PP), juga menemukan warga yang masih berkumpul dirumah makan dan anak usia pelajar berkerumun di warnet saat sekolah diliburkan. Masih banyak warga yang beraktivitas di jalan, hingga berkumpul lebih dari lima orang dan tidak menjaga jarak.
Beberapa pengamat menilai jika PSBB jilid pertama yang diberlakukan di DKI Jakarta dinilai gagal, karena manajemen yang kurang baik dan pemerintah yang kurang tegas dalam mengimplementasikan PSBB tersebut.Â
Buktinya masih banyak masyarakat dan perusahaan diluar sektor yang dikecualikan oleh Pemprov DKI masih beroperasi.
Selama kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga diri dan mematuhi protokol kesehatan masih rendah, selama itu pula penanganan Covid-19 akan lebih sulit dikendalikan. Jangan salahkan masyarakat! Karena sejak awal, pemerintah memang seakan tidak serius dalam menangani pandemi ini.
Wajar saja jika pada akhirnya terjadi banyak pembangkangan oleh masyarakat. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah kian menurun, karena narasi kebijakan pemerintah yang berubah-ubah dan membingungkan.Â
Ironisnya, justru tidak sedikit pembangkangan itu dilakukan oleh para pejabat itu sendiri. Banyak beberapa pejabat dimulai dari Walikota, Bupati dan Gubernur yang justru mengabaikan himbauan dari pemerintah pusat. Salah satunya adalah Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi yang pernah menggaungkan gerakan memakmurkan masjid di tengah pandemi Covid-19.
Penulis juga menduga, disamping faktor politik dan kepentingan, kurangnya pemahaman tentang konsekuensi pertumbuhan eksponensial ikut menyumbang dalam kelambanan penanganan pandemi.
Pertumbuhan eksponensial mempunyai ciri khas. Ia akan terlihat datar di masa-masa awal, sebelum akhirnya melonjak drastis. Itulah yang sedang terjadi di Indonesia saat ini, khususnya di DKI Jakarta yang kini bisa mencapai 1.000 lebih kasus perhari.Â
Pertanyaan mengenai kapan kurva itu akan kembali mendatar akan sangat tergantung pada kecepatan dan efektivitas dari respon yang dilakukan.
Dalam konteks ini, bila melihat data dan situasi di lapangan yang kian mengkhawatirkan, tentu saja langkah Anies Baswedan untuk melakukan PSBB sangat tepat untuk dilakukan, meski sebenarnya sudah terlambat.Â
Anies sudah telat menekan rem darurat. Kesadaran masyarakat yang masih rendah untuk mengikuti protokol kesehatan hanya akan membuat PSBB menjadi sia-sia.
Namun jika itu tidak dilakukan, fasilitas kesehatan kita tidak akan mampu lagi menampung dan membendung kasus Covid-19 yang kian mengkhawatirkan ini.
Jika mengikuti acuan Badan Kesehatan Dunia WHO, yang ditetapkan berdasarkan jumlah penduduk, seharusnya jumlah minimal tes spesimen yang dilakukan Indonesia adalah 270.000 per minggu atau 54.000 orang per hari.
Sementara untuk saat ini, Indonesia baru mampu melakukan tes spesimen 30.000 per hari, yang mana itu masih jauh dari standar minimum dalam memetakan skala wabah virus corona di Indonesia.
Kendati begitu, keputusan Anies menarik rem darurat untuk kembali memberlakukan PSBB ini belum mendapat tanggapan resmi dari pemerintah pusat. Kabarnya hari ini, pemerintah pusat akan mengumumkan sikap resmi terkait rencana Gubernur DKI Jakarta tersebut.Â
Semoga hasil koordinasi yang dilakukan Pemprov DKI dan pemerintah pusat bisa menghasilkan solusi dan kebijakan yang terbaik bagi Indonesia. Sudah saatnya pemerintah bersinergi dan lebih serius lagi menangani pandemi ini, pemerintah perlu membuat satu kebijakan yang jelas, melakukan pendekatan sosial dan edukasi yang lebih gencar lagi, agar semakin banyak warga masyarakat yang sadar untuk menjaga diri dan pentingnya mematuhi protokol kesehatan.
Pemerintah juga perlu melibatkan peran Civil Society Organizations, khususnya Non Government Organizations (NGO), baik nasional maupun internasional bidang pembangunan dan kesehatan yang berpengalaman dalam menangani bencana.Â
Bukan hanya mengandalkan peran TNI dan Polri, tapi juga peran dari NGO/LSM akan sangat membantu penanganan covid-19 menjadi lebih efektif.Â
Penulis Picisan
Reynal Prasetya
Referensi : [1] ; [2] ; [3] ; [4] ; [5] ; [6] ; [7] Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H