Ketika pada akhirnya PSBB tetap diberlakukan, apakah itu merupakan solusi terbaik dan betul-betul bisa mengurangi jumlah kasus positif Covid-19? Belum tentu!
Terbukti PSBB yang telah diberlakukan pada jilid pertama dinilai tidak efektif karena masih banyak masyarakat yang melanggar aturan PSBB dan tidak mematuhi protokol kesehatan.
Sejak 10 hari PSBB Jakarta pada jilid pertama dilakukan, sebagaimana dilansir dari tirto.id, Polda Metro jaya masih menemukan 18.958 pengendara yang melanggar aturan PSBB terkait sektor lalu lintas. Jenis pelanggaran terbanyak yakni, tidak menggunakan masker saat berkendara baik sepeda motor maupun kendaraan roda empat.
Satuan polisi pamong praja (Satpol PP), juga menemukan warga yang masih berkumpul dirumah makan dan anak usia pelajar berkerumun di warnet saat sekolah diliburkan. Masih banyak warga yang beraktivitas di jalan, hingga berkumpul lebih dari lima orang dan tidak menjaga jarak.
Beberapa pengamat menilai jika PSBB jilid pertama yang diberlakukan di DKI Jakarta dinilai gagal, karena manajemen yang kurang baik dan pemerintah yang kurang tegas dalam mengimplementasikan PSBB tersebut.Â
Buktinya masih banyak masyarakat dan perusahaan diluar sektor yang dikecualikan oleh Pemprov DKI masih beroperasi.
Selama kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga diri dan mematuhi protokol kesehatan masih rendah, selama itu pula penanganan Covid-19 akan lebih sulit dikendalikan. Jangan salahkan masyarakat! Karena sejak awal, pemerintah memang seakan tidak serius dalam menangani pandemi ini.
Wajar saja jika pada akhirnya terjadi banyak pembangkangan oleh masyarakat. Kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah kian menurun, karena narasi kebijakan pemerintah yang berubah-ubah dan membingungkan.Â
Ironisnya, justru tidak sedikit pembangkangan itu dilakukan oleh para pejabat itu sendiri. Banyak beberapa pejabat dimulai dari Walikota, Bupati dan Gubernur yang justru mengabaikan himbauan dari pemerintah pusat. Salah satunya adalah Gubernur Sumatera Utara Edy Rahmayadi yang pernah menggaungkan gerakan memakmurkan masjid di tengah pandemi Covid-19.
Penulis juga menduga, disamping faktor politik dan kepentingan, kurangnya pemahaman tentang konsekuensi pertumbuhan eksponensial ikut menyumbang dalam kelambanan penanganan pandemi.