Semasa berkarir sebagai seorang sastrawan, eyang Sapardi paling sedikit menulis tiga genre sastra. Yaitu puisi, cerita dan esai. Bahkan pada awal karirnya beliau juga ternyata pernah menulis cerita dalam bahasa Jawa. Namun akhirnya beliau lebih memilih banyak menulis puisi di banding cerita, hal ini karena pengalamannya yang karyanya pernah ditolak oleh redaksi dengan alasan cerita itu tidak masuk akal.
Pengalaman itu terjadi tatkala beliau masih duduk dibangku SLTP. Â Pada saat itulah beliau memutuskan untuk tidak menulis cerita dan memilih menulis puisi.
Padahal menurutnya, karangan yang dibuatnya itu bukan sekadar rekaan semata, melainkan cerita itu benar-benar terjadi.Â
Karangan itu memang merupakan karya pertama eyang Sapardi yang dikirimkan ke sebuah majalah anak-anak berbahasa Jawa. Adalah Pak Subagio Imam Notodidjojo seorang tokoh jurnalistik terkenal yang dalam tulisan sering di singkat Pak SIN yang menolak karangannya itu.
Dalam karangannya itu, eyang Sapardi mencoba bercerita tentang suatu peristiwa yang terjadi pada masa kecilnya. Karangan yang ditulis dengan sikap anak-anak yang sejujurnya itu ternyata ditolak. Mengapa cerita itu ditolak? Jawabannya jelas bahwa cerita itu menurut Pak SIN tidak masuk akal.
Namun karena penolakan itulah, akhirnya eyang Sapardi mulai menyadari bahwa ada peristiwa dalam hidupnya yang memang tidak masuk akal.
Terlalu panjang kalau saya mengisahkan kehidupan eyang Sapardi dari awal dan membicarakan berbagai macam karyanya. Yang jelas, berkat puisi Hujan Bulan Juni lah, saya mulai kagum dengan beliau dan mulai menyukai karya-karyanya.
Karena dulu, yang saya tahu tentang Sapardi Djoko Damono, adalah beliau hanya seorang sastrawan, namun ternyata lebih dari itu, beliau juga sangat pantas disebut sebagai seorang seniman.
Sastra hanyalah salahsatu kemampuan berkeseniannya yang paling menonjol selain pandai menulis puisi, menjadi penerjemah dan menulis cerita. Beliau juga ternyata pandai menari, menabuh gamelan, main gitar, memimpin band, menggambar, main drama dan sedikit-sedikit bisa bermain wayang kulit.
Tak hanya itu, beliau juga merupakan seorang akademisi, seorang pemikir, dan juga kritikus sastra. Sudah banyak beberapa buku yang ia tulis tentang sastra, diantaranya adalah, Sosiologi Sastra : Sebuah Pengantar Ringkas (1978), Novel Indonesia Sebelum Perang (1979), Sastra Indonesia Modern : Beberapa Catatan (1983), Bilang Begini, Maksudnya Begitu (1990), Politik, Ideologi, dan Sastra Hibrida (1999), dan Sihir Rendra : Pemain Makna (1999).
Pencapaiannya yang gemilang dalam bidang puisi, membuka jalan baginya melanglang buana. Sukses besar dalam jagat perpuisian semakin membuatnya lebih banyak kluyuran, bahkan wilayah jelajahnya semakin luas dan dalam.Â