Ada pengarang yang mulai menulis karena mendapat suatu ide, dengan kata lain, ada semacam tema sentral yang mendasarinya. Karangan itu kemudian seakan-akan mengurai tema sentral itu, atau sebaliknya, karyanya memusat pada tema sentral yang menjadi underan-nya.
Ada juga pengarang yang terdorong menulis karena ia melihat kebobrokan yang terjadi di masyarakat luas yang ada di sekelilingnya. Namun pengarang itu dalam karangannya tidak menyajikan suatu gambaran masyarakat yang bobrok yang di maksud, tapi cenderung menampilkan ajaran-ajaran moral lebih untuk mengatasi yang bobrok itu.
Ada juga pengarang yang mulai menulis bukan karena ide atau gagasan yang dimiliki, melainkan karena entah bagaimana, ia tiba-tiba menggoreskan penanya, atau mengetik beberapa kata pada kertas atau layar monitor dan kemudian pengarang itu mengembangkannya, dan jadilah sebuah puisi, sajak, cerita pendek, atau bahkan novel!
Barangkali eyang Sapardi termasuk penulis tipe ketiga. Nampaknya, daya cipta eyang Sapardi akan muncul apabila beliau sedang berada dalam suasana tertentu. Suasana yang dimaksud dalam bahasa Inggris disebut atmosphere.
Oleh karena itu, ketika beliau sedang berada di suatu tempat misalnya di jalan Jakarta yang letaknya di kota Malang, puisinya yang kemudian lahir diberi judul "Gerimis Kecil di Jalan Jakarta, Malang".
Puisinya bukan berupa pelukisan ataupun deskripsi dari jalan itu. Tidak ada gambaran tentang rumah-rumah, toko, warung, atau hotel dan juga kegiatan orang-orang di jalan itu. Yang dihadirkannya bukan gambaran tentang yang tampak dan terdengar di jalan itu, melainkan suasana batin beliau sendiri yang merespons suasana di jalan itu.
Inilah salahsatu kegemaran eyang Sapardi, bukan hanya gemar kluyuran dalam arti fisik, melainkan juga kluyuran dalam arti penjelajahan pengalaman batin sendiri.
Melalui karya-karya eyang Sapardi, saya mulai jatuh cinta dan kecanduan menikmati puisi-puisi. Ternyata puisi bukan hanya sebatas ungkapan perasaan, atau luapan emosi seseorang, puisi pada umumnya juga harus mempunyai manfa'at.Â
Pada zaman dahulu puisi punya kecenderungan untuk selalu berpihak pada kaum lemah-miskin, atau juga sebagai alat untuk membangkitkan semangat perlawanan terhadap kaum penjajah.
Menurut eyang Sapardi, "Puisi, bagi saya adalah hasil upaya manusia untuk menciptakan dunia kecil dan spele dalam kata, yang bisa di manfa'atkan untuk membayangkan, memahami, dan menghayati dunia yang lebih besar dan lebih dalam".
Artinya, beliau menilai puisi bukan dari bentuk fisiknya, akan tetapi lebih kepada aspek kegiatan penyairnya dan fungsinya.