Dalam bahasa Indonesia ada satu pribahasa yang cukup populer yaitu, "Buruk muka, cermin dibelah".
Berdasarkan KBBI, arti dari pribahasa tersebut yaitu suatu sikap menyalahkan orang atau hal lain, meskipun sebenarnya dia sendiri yang salah, bodoh dan sebagainya.
Arti lainnya, dari buruk muka cermin dibelah adalah karena aibnya (kesalahannya) sendiri orang lain yang dipersalahkan.
Fenomena buruk muka cermin dibelah, sudah pasti sering kita temui sehari-hari. Dimana ada segelintir orang yang entah kenapa begitu gemar melakukan ritual tersebut secara rutin.
Bahkan bisa dibilang sudah menjadi kebiasaan, mungkin lebih nikmat dan mudah menyalahkan pihak luar ketimbang harus melakukan introspeksi diri.
Umumnya sikap gemar menyalahkan pihak luar disebabkan karena adanya ego yang terlalu tinggi. Perasaan tidak mau disalahkan, merasa benar sendiri, bahkan merasa paling suci.
Berdasarkan teori, orang-orang seperti ini dinilai memiliki kecerdasan emosional yang rendah, mereka hanya peduli pada perasaannya sendiri, sementara abai pada perasaan orang lain.
Inginnya selalu dihargai, dipuja-puji dan dihormati, namun enggan menghargai, memuji dan menghormati orang lain.
Orang-orang terdekat adalah cerminan dari diri kita sendiri. Kita hanya bisa melihat cerminan diri ini melalui orang lain. Kita mampu menakar sejauh mana kualitas diri kita berdasarkan penilaian dari orang lain.
Kita tidak bisa mendeklarasikan, "Saya orang baik" atau "Saya orang jujur". Kita, hanya bisa bersikap dan menunjukkan kualitas-kualitas tersebut sambil menunggu timbal balik dari orang lain.
Kalau ingin diperlakukan baik, maka kita harus berbuat baik. Kalau ingin dihormati, maka kita harus menghormati. Kalau ingin dihargai, maka kita harus pula menghargai.
Bob Sadino pernah berujar, "Kaya raya bukan jaminan hidup terhormat. Tapi jujur, sopan, murah hati dan menghargai sesama, itulah kunci hidup terhormat".
Jadi, akan percuma bila sering-sering berteriak, menyalahkan, menyerang pihak luar, sementara kita enggan menengok dan membereskan apa kerusakan yang terjadi di dalam.
Jangan mengolok-olok ataupun membelah cermin yang ada di depan, tapi coba perbaiki kenapa wajah itu jadi terlihat buruk?
Jangan cepat menuduh, menilai, orang lain buruk, sebelum kita menilai apakah diri ini sudah pantas dinilai baik?
Selagi masih terus gemar menilai-nilai, menyalahkan, menuduh orang lain yang tidak-tidak, tanpa ada kemauan untuk mengevaluasi diri, jelas yang akan kita lihat hanyalah kekurangan-kekurangan atau keburukan-keburukan orang lain.Â
Prilaku memandang diri terlalu tinggi inilah yang mengakibatkan seseorang lebih suka dan senang mengevaluasi dan menilai orang lain, ia merasa paling sempurna, paling tinggi, paling hebat, pintar atau paling suci, namun anti kritik dan enggan di evaluasi.Â
Tanpa sadar, ketika ia melontarkan kritik, tuduhan dan vonis kepada orang lain sebenarnya, ia sedang mengkritik, memvonis dirinya sendiri secara diam-diam.
Bayangkan si A yang arogan mengkritik si B dengan vonis si B adalah pribadi yang arogan. Padahal dirinya sendiri tidak jauh seperti si B yang arogan. Inilah yang dimaksud, buruk muka cermin dibelah.
Si A dengan lancang menuduh si B arogan, padahal jelas-jelas ia sendiri juga arogan. Tapi ia tidak sadar bahwa selama ini ia adalah seorang yang arogan.
Pandai menilai dan memvonis orang lain, tapi tak pandai mengevaluasi dan introspeksi diri sendiri.
Sobat, sebelum kita hendak menilai orang lain, alangkah indahnya kita menilai diri sendiri dahulu, apakah kita sudah jauh lebih baik sebelum mengatakan orang lain buruk?
Bila tidak, penilaian dan tuduhan kita atas orang lain hanyalah sia-sia. Padahal yang perlu kita bereskan adalah diri kita bukan penampakan, pristiwa, atau orang lain di luar diri kita.
Semua selalu tentang yang di dalam. Bilamana selama ini kita lebih banyak menghormati dan menghargai orang lain, niscaya akan lebih banyak pula orang yang bersedia menghargai dan menghormati kita tanpa di minta.
Sebaliknya, bilamana selama ini kita lebih banyak merendahkan, menuduh sesuatu yang buruk terhadap orang lain, maka timbal balik yang di hasilkan pun tidak akan jauh berbeda.
Namun jangan pula akhirnya kita terlalu jauh mengevaluasi dan mengkritik diri sendiri. Yang akhirnya membuat kita malah merasa bersalah dan kehilangan motivasi.
Yang hanya perlu kita lakukan hanyalah terus berkaca, bila selama ini banyak orang yang enggan menghargai kita, curiga lah jangan-jangan, kita kerap berbuat yang serupa.
Karena tidak ada asap kalau tidak ada api.***
Reynal Prasetya
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H