Mohon tunggu...
Reyhan Jauza
Reyhan Jauza Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Filsafat UGM

Seorang insan yang hidup diantara ke-randoman dunia.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pembunuh Tuhan

16 Januari 2024   21:11 Diperbarui: 23 Juli 2024   12:45 166
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dikenal sebagai pemeluk Tuhan itulah aku, seorang pengagum dan pecinta mati sang Tuhan. Ribuan kitab suci dan ribuan pujian selalu kulantunkan untuknya. Menghabiskan usia mudaku di tempat suci yang semata-mata hanya untuk akhirat.

Menjalankan kehidupan sehari-hari dengan mengikuti apa yang dikatakan oleh kitab suci. Membuat pikiranku hanya dipenuhi oleh dogma dogma agama.

Dan tiba pada suatu saat, aku memutuskan untuk pergi keluar dari wilayah tempat suci dan bertempat tinggal di sebuah kota yang sedang menikmati masa kasmarannya dengan zaman modern. Aku menempati sebuah rumah sederhana khas abad pertengahan yang berada di tengah kota.

Meninggalkan tempat suci dan memulai kehidupan di kota ini membuatku sangat tersiksa, kedamaian dan keharmonisan yang dulu aku rasakan sekarang menjadi keramaian dan pertentangan.

Jalanan kota yang sangat padat, udara yang tercemar oleh polusi pabrik, dan penindasan kaum buruh oleh para pemilik modal adalah segudang masalah yang terus menghantui pikiranku.

Aku selalu berdoa tiap saat akan keadaan yang saat ini terjadi dan mencoba mempercayakan semua padanya dan mencoba mengajak orang lain kepada jalan Tuhan. Karena Tuhan akan menolong umatnya yang meminta tolong, seperti itulah yang dikatakan oleh kitab suci.

Tetapi setelah ribuan kali aku memanggil-manggilnya tak pernah ia menunjukkan dirinya. Semua doa yang telah diminta hanyalah seperti surat-surat yang dibawa pos menuju rumah yang sudah kosong. Hal ini membuatku gelisah dan penasaran, sedang dimanakah dan sedang apakah Tuhan? Apakah Tuhan akan tetap membiarkan kekacauan seperti ini terjadi? Andaikan Tuhan membiarkan semuanya ini terjadi lalu dimanakah bukti dari kitab suci yang menyebutkan Tuhan maha baik?

Kekacauan semakin parah, kesenjangan sosial semakin tumbuh subur bagaikan rumput liar. Hal-hal ini semakin membuatku kecewa akan Tuhan. "Dimanakah Tuhan saat ini?" gumamku. Agar tak semakin larut dalam kekecewaanku, aku memutuskan untuk berjalan-jalan menyusuri kota. Ditengah perjalanku aku memutuskan untuk singgah di sebuah tempat suci untuk beribadah. Masuk dengan menata sepatu di tempat yang telah disediakan dan bergegas masuk untuk mendengarkan sebuah ceramah dari salah satu pemuka agama. Hal yang kusadari adalah nyaris semua orang yang sedang berkumpul di sana adalah seorang buruh yang sedang kesulitan. Kemudian dimulailah seorang pemuka agama tersebut menyampaikan pesan-pesan Tuhan yang ditujukan untuk umat yang hadir. Tapi anehnya sang pemuka agama kali ini hanya menyampaikan beberapa pesan singkat yakni "Wahai umatku, dan janganlah kamu mengeluh atas kondisimu, bekerjalah sekeras apapun untuk memenuhi kebutuhanmu dan selalu ingatlah Tuhan akan memberikan kerajaan di akhirat!"

Sontak apa yang dikatakannya ini sangat menghujam pikir dan hatiku, sejuta tanya muncul, aku pun berdiri dan berteriak dengan keras, "apakah Tuhan hanya menyuruh umatnya sabar disaat mereka tertindas? Apakah kita hanya harus menunggu di akhirat untuk bahagia di kerajaannya? Semua hal-hal ini membuatku marah!. Sekarang aku pun tau kenapa kalian para pekerja buruh ini tak pernah memberontak! karena kalian hanya menjadikan agama sebagai penenang bukan petunjuk, sungguh bodoh! seruku.

Mendengar apa yang kuucapkan di tempat tersebut membuat semua orang harus menatapku dengan ekspresi kaget dan tercengang. Lantas kemudian mereka semua menangis karena merasa sangat tak berdaya. Aku pun segera bergegas pergi untuk meninggalkan tempat suci tersebut.

Perjalanan membawaku melewati sebuah bar yang sangat mewah yang dipenuhi oleh para-para orang kaya. Aku pun memutuskan untuk masuk dan ingin tau bagaimana cara pikir mereka. Di dalam bar ada sebuah meja bundar, aku pun memilih untuk duduk disana, dan terdengar sangat ramai sekali pesta-pesta perayaan atas keberhasilan perusahaannya. Di Tengah suasana tersebut. Aku mendengar sebuah pembicaraan,

"Hai tom, bagaimana perusahaanmu?" tanya temannya.

"Hahaha, sangat mudah sekali menjadi kaya apalagi kini para pekerja sangat murah bahkan seperti hewan" jawab tom sembari tertawa.

"Hahaha, apakah kau tak takut atas Tuhan tom?" tanya lagi temannya dengan nada bercanda.

"Untuk apa takut, Tuhan? Dimana dia? Apakah masih ada? Hahahaha. Siapa yang peduli dengan Tuhan, kini uang lebih penting daripada Tuhan yang penuh kebohongan" jawab tom.

Setelah mendengar percakapan tersebut, membuatku semakin gila atas semua keadaan yang terjadi. Akupun memutuskan untuk pergi dan kembali kerumah, sesampainya dirumah aku memutuskan untuk langsung beristirahat dan tidur. Tetapi peristiwa yang sangat tak masuk akal pun terjadi. Dikala tidurku, Tuhan ternyata hadir di mimpiku dan berkata "Aku telah mati dan kaulah yang membunuhku, Aku telah mati dan kalianlah yang membunuhku!" kemudian Tuhan pun hilang begitu saja.

Aku terbangun dari tidurku dan mencoba memahami apa maksud dari mimpi tersebut. Kemudian sampailah aku dalam pemahaman rumit dari sebuah mimpi pewahyuan Tuhan. Setelah memahami semuanya, aku pun bergegas pergi dan menaiki sebuah menara yang ada di tengah kota. Setelah sampai di puncak menara aku pun berteriak agar seluruh kota mendengarkan dirinya, dan semuanya berjalan seperti yang kuinginkan, kemudian mulailah aku menyampaikan "Wahai saudaraku!, Tuhan telah mati dan aku yang membunuhnya! Tuhan telah mati dan kalianlah yang membunuhnya! Tuhan telah meninggalkan kita!"

Sebuah suara keras pun bertanya, "Wahai engkau, siapalah dirimu?"

"Aku adalah pemeluk Tuhan yang kini telah menjadi pembunuhnya!" jawabku.

Akupun turun dari menara setelah menyampaikan pesan tersebut. Ternyata sesampainya di bawah aku sudah ditunggu oleh seluruh masyarakat yang sedang menangis.

"Hentikanlah tangisan kalian!" seruku.

"Lalu apa yang harus kami lakukan kalau ternyata Tuhan yang selama ini sembah kini tidak ada?" sebuah tanya beberapa orang dengan nada sendu.

"Temukanlah esensi kalian sesuai keinginan kalian! Dan bawalah surga yang dulu berada di akhirat menjadi berada di dunia!" jawabku.

Setelah peristiwa tersebut semuanya menjadi chaos, bagaimana tidak, Tuhan yang dulu sebagai pengatur semuanya kini tidak ada dan semuanya ditanggung atas tanggung jawab semua manusia untuk menentukan kehidupannya sendiri.

Kehidupanku sangat berubah semenjak itu, yang dulu dipenuhi atas ambisi dan harapan kini tersisa pemberontakan batin atas pencarian tujuan sebenarnya dari kehidupan. Mencoba berkelana, menaiki gunung paling tinggi, melihat lautan yang paling luas dan mencoba semua kenikmatan dunia tetapi belum kutemukan tujuan atas dunia tanpa Tuhan.

Tiba-tiba aku pun teringat akan kata-kata orang bijak yang pernah berkata kepadaku "Kehidupan memang suram dan penuh penderitaan, tetapi bagaimana lagi? Kita hanya hidup satu kali di dunia ini dan carilah sesuatu untuk membuat hidupmu sendiri bermakna"

Setelah teringat atas kata-katanya, aku pun mencari senapan, dan membaringkan tubuhku menghadap langit yang sedang senja, menodongkan senapan ke ujung kepalaku dan sembari berkata "Tuhan yang telah mati, ijinkanlah untuk menemuimu satu kali lagi". Dorr! suara senapan yang sudah memecah kepalaku dan mengakhiri kehidupan yang penuh penderitaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun