Globalisasi bukan saja benar-benar telah terwujud, tetapi bahkan telah siap membobol semua bendungan kebudayaan kita. Tak ada lagi sejengkal tanah di planet ini yang tak tertimpa banjir infomasi. Semuanya telah menjadi bagian tak terpisahkan dari sebuah bola dunia yang kian menyempit. Negara-negara di dunia telah disulap menjadi hanya sekedar RT-RW dari sebuah dusun global (global village) yang dikepaladesai oleh satu-satunya negara super power Amerika Serikat.
Globalisasi informasi telah menjadi bagian internal dari kehidupan kita. Telah menjadi ukuran maju dan tidak majunya suatu komunitas. Telah menjadi mizan modern dan tidak moderennya seseorang. Darah daging kebudayaan kita telah dibentuk olehnya.
Instrumen-instrumen peradaban kita ditata olehnya. Kebudayaan global bahkan telah merenda visi kita terhadap realitas dunia, alam, manusia, sejarah, dan masyarakat. Alhasil, dasar untuk menilai benar-salah dan baik-buruknya suatu subjek pun telah dicampurtanganinya.
Masalahnya kini, apakah kebudayaan global semacam itu identik dengan sebuah mesin raksasa yang tak tertandingi? Apakah di dalam dirinya tersimpan kekuatan misterius yang memungkinkannya survive (tetap hidup) terus menerus? Sudah sedemikian berkuasakah sehingga tak ada lagi suatu komunitas tertentu yang bisa menawarkan kebudayaan alternatif? Ataukah manusia memang kini sudah kehabisan stock budaya selain liberalisme dan demokrasi? Lalu bagaimana dengan Islam?!
SENTRALISME KEBUDAYAAN
Konsisten dengan pengertian “global”, maka kebudayaan yang merambat lewat arus ini sifatnya mendunia. Apa yang terjadi di suatu tempat tertentu dengan serta merta menjadi pengetahuan umum di seluruh penjuru dunia. Model rambut yang sedang trendy di Seatle atau di Paris dengan secepat kilat merambahi pelosok-pelosok bumi. Gaya hidup dan pola konsumsi ala Hollywood dengan segera menjadi selera mondial (mendunia), yang kalau seseorang tidak mengikutinya seakan tidak absah untuk disebut up to date. Kebudayaan di sini sontak menjadi komoditi masal. Individu kehilangan otoritasnya.
Apakah setiap kebudayaan berhak untuk meng-global? Kendati secara istilah seharusnya memang begitu. Tetapi karena variabel utama dari globalisasi adalah kecanggihan alat transportasi dan teknologi komunikasi, maka praktis yang berpeluang memasuki arus itu hanya kebudayaan dari negara yang memiliki kemampuan dan akses teknologi seperti itu. Maka selain ketujuh negara industri maju (terkhusus Amerika Serikat) menurut teori ini, kesulitan (kalau tak dibilang tak punya) akses untuk meng-globalisasikan kebudayaannya. Pada tataran ini, globalisasi lantas berubah menjadi sentralisme (pemusatan kebudayaan), yakni keyakinan bahwa kebudayaan yang "unggul" terpusat pada suatu negara tertentu. Bangsa lain, kalau mau maju --atau lebih tepat, kalau mau survive- harus mengadopsi kebudayaan mereka.
Sentralisme kebudayaan seperti ini akan menemukan bentuknya yang paling despotis (zholim) dan represif (menindas) setelah bersekongkol dengan lembaga-lembaga internasional. Diposisikan vis-a-vis dengan negara lain, maka sentralisme ini dengan segera berubah bentuk menjadi imperialisme kebudayaan.
Di titik ini, agar Barat dan Amerika tetap tampil dengan wajah humanisme (kemanusiaan), maka seluruh kata yang mereka gunakan mengalami eufemisme (penghalusan bahasa). Kata-kata demokrasi, liberasi, hak asasi, dan konservasi lingkungan pada hakekatnya hanya mewakili satu makna saja: mempertahankan status quo kebudayaan sekuler Barat. Di sini nampak jelas bahwa imperialisme dipersiapkan oleh kolonialisme bahasa. Maka istilah-istilah sekulerisme, modernisme, dan sainstisme tidaklah secara mandiri mewakili makna kata itu sendiri, melainkan telah menjadi missionaris-kata yang membawa pesan seluruh tetek bengek kebudayaan Barat sekarang.
KEBUDAYAAN POSITIVISME
Seluruh rangkaian sistem yang membentuk bingkai kebudayaan Barat dewasa ini bermula ketika sains melepaskan diri dari ikatan-ikatan primordialnya (yang suci). Tuhan, yang merupakan Ultimate Reality (Realitas Tertinggi), dikeluarkan dari wilayah sains. Suatu subjek hanya akan diakui validitasnya oleh sains jika subjek tersebut patuh kepada kerangka berpikir logis, dugaan dan pembuktian (nafas generalisir asli kaum modernis yang cenderung congkak). Di luar itu, hanya dianggap mitos belaka yang diciptakan sendiri oleh khayalan manusia akibat ketidakmampuannya menguasai fenomena-fenomena alam.
Auguste Comte, bapak positivisme, dengan tegas mengatakan bahwa bentuk kebudayaan yang paling tinggi adalah sains. Kredo positivisme ini kemudian diperluas oleh para pemikir dan filosof Barat lainnya. Iimu-ilmu humaniora dan filsafat, yang dinilai punya kans paling besar untuk mengkomunikasikan manusia dengan asal primordial (fitrah)-nya guna mengantarkannya ke derajat kearifan perenial (abadi), pun mengalami reduksi yang sangat mengerikan.
Di tangan Freud, Jung, dan Adler, psikologi tidak lagi mempelajari psyche (jiwa) sebagai spirit atau inner-mind (ruhani) -yang merupakan bagian paling potensial dari eksistensi manusia-melainkan sebagai gejala biologis dan fisiologis semata-mata. Kenapa terjadi psikosis atau symptom neurotis, misalnya? Dengan psikoanalisis (Freud), psikologi analitis (Jung) atau psikologi individual (Adler) dijawab bahwa itu karena adanya energi psikis yang tidak tersalurkan. Oleh Freud, energi psikis ini disebut libido. Sehihgga secara sederhana, kalau anda tidak mau mengidap psikosis (penyakit kejiwaan) atau symptom neurosis (gejala sakit syaraf), anda boleh memilih ini: bergaul bebas secara heteroseks, homoseks, atau lesbian.
Pernikahan? Jelas tidak menyelesaikan masalah. Pernikahan dibutuhkan sejauh menyangkut kebutuhan administratif saja. Tetapi untuk menyelesaikan gejala psikis tadi jelas tidak mempan. Sebab libido setiap saat bisa mendesak, sementara istri tidak selamanya siap untuk itu, entah karena (maaf) menstruasi, lagi sibuk, atau pulang-kampung misalnya. Satu-satunya jalan ialah dengan meruntuhkan tanggul-tanggul moral yang biasa menghalangi penyaluran libido tersebut secara bebas. Dalam konteks inilah terjadi deharamisasi besar-besaran. Prinsip-prinsip moral Bettrand Russel menganut etika seksual seperti ini.
Di lapangan filsafat juga begitu. Eksistensialisme--filsafat Barat yang disebut-sebut sebagai paling kontemporer- melalui tokoh utamanya, Jean Paul Sartre, dengan lantang menyebut manusia di planet bumi ini sebagai makhluk serba-kebetulan, dan karenanya tidak punya pandangan theologis, nasib sejarahnya tidak punya arah yang jelas. Tujuan hidup satu-satunya adalah memenuhi kepentingan perut dan sekitamya agar mencapai derajat Uebermensch (istilah ini dari Nietzche), derajat penaklukan dan penguasaan. Untuk itu, peduli syetan dengan orang lain. Bagi Sartre: 'The other man is hell' (orang lain adalah neraka). Jiwa imperialisme, penaklukan, dan penguasaan pasca PD II menemukan kembali semangatnya di sini.
Hal yang sama juga terjadi di bidang seni. Seni yang tadinya dipandang sebagai melodi Ilahiah, kini tereduksi menjadi “sekedar” hiburan murahan. Jargonnya yang paling terkenal: Art for the sake of art. Apa saja yang dilakukan di bidang ini selama memberikan hiburan segar kepada masyarakat, maka dengan sendirinya sah untuk diapresiasi sebagai karya seni. Tentu saja tak terkecuali dalam menampilkan goyang erotis sebagai tuntutan industri hiburan publik.
HUMANISME BARBARISME
Sekarang tidak ada lagi satu sisi pun dari kebudayaan Barat yang tidak mengalami materialisme dan reduksionisme (penyederhanaan yang absurd) seperti itu. Dan ini pula yang dipaksakan ke seluruh penjuru angin melalui arus globalisasi. Semua standarisasi internasional mengacu ke situ, yaitu bahwa suatu produk (termasuk produk politik dan kebudayaan) dikatakan memenuhi standar kalau pas dengan kriteria itu.
Untuk itu, mustahil ada upaya konkrit dari negara-negara Barat dan Amerika untuk menghentikan genocide (pemusnahan massal) dan Islamic Cleansing (pemberangusan Islam) di dunia. Mustahil Kongres memaksa Obama untuk menghentikan black propaganda terhadap ajaran Islam.
Mustahil negara-negara Barat dan pro-Barat membantu Rakyat Palestina berperang melawan aneksasi Zionis Israel. Mustahil dunia melaknat pendiskreditan dan pemerkosaan the Universal Declaration of Human Rights (yang disahkan PBB sendiri tahun 1948) di Lybia, Mindanao, Pattani, Afganistan, Kashmir, Iraq, Suriah, dan seterusnya. Mustahil, karena di semua tempat itu yang terjadi sesungguhnya adalah pemaksaan standar kebudayaan Barat kepada orang-orang Muslim yang dinilai tak sekolah, "kepala batu", radikal, teroris, atau fundamentalis, yang oleh Huntington diasumsikan bakal menimbulkan clash of civilization (benturan peradaban).
Kolonialisme bahasa tadi juga pada dasarnya penyesuaian istilah-istilah humanis dengan standar seperti ini, agar benar-benar cocok dengan kebutuhan mereka. Humanisme, dengan begitu, tidak lain dari Barbarisme itu sendiri.
Barbarisme kebudayaan semacam ini memang ibarat mesin raksasa mondial, tapi bukan berarti tidak tertandingi. Perilaku politik negara-negara Barat dan Paman Sam akhir-akhir ini mengisyaratkan bahwa bukan saja negara-negara imperialis itu takut tertandingi, tapi sekaligus takut akan munculnya kesadaran baru di negara-negara non-Barat. Derasnya penolakan sebagian masyarakat Muslim terhadap kebudayaan Barat akhir-akhir ini seraya menawarkan kebudayaan altematif yang di-elaborasi (diuraikan) dari sumber Hukum Islam, pun sudah merupakan belati maut bagi eksistensi kebudayaan Barat.
Atas dasar itu, Barat memberikan perlakuan khusus kepada komunitas Muslim di mana pun mereka berada, termasuk --dan terutama-- mereka yang cuma minoritas di negara-negara lain. Gelagat politik seperti ini sebenarnya sudah cukup menjadi hujjah bahwa dalam jatidiri kebudayaan Barat tidak terkandung kekuatan misterius yang memungkinkannya survive terus-menerus. Kekuatannya justru terletak di luar dirinya, yaitu pada kelemahan musuh-musuhnya.
PROYEK KEBUDAYAAN
Dari uraian tadi jelas bahwa sesungguhnya Barat tidak punya argumen filosofis yang kuat untuk memberikan basis kepada kebudayaannya sendiri. Pandangan hidupnya berdiri di atas absurditas substansial (kemustahilan). Kalau toh kelihatannya masih tetap eksis, bahkan terkesan anggun, maka ke-eksis-annya itu tidak bersifat konstan, melainkan sedang berproses menuju titik klimaks kehancurannya. Ditilik dari sisi mazhohir atau lahiriahnya, kelihatannya memang memukau, tetapi dari sisi mahiyah atau esensialnya, yang terjadi justru sebaliknya. Kehancuran kebudayaan Komunis di Sovyet dan Eropa Timur juga mempersaksikan fenomena seperti ini. Alloh Azza wa Jalla ber-Firman: "Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Alloh) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami) kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya." (QS. 17:16) "...Dan orang-orang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka." (QS. 47:12).
Ayat-ayat tersebut dengan gamblang menggambarkan bahwa glamourisme (QS. 17:16) serta pola hidup konsumeris dan hedonis (QS. 47:12) menunjukkan massa renta dan sekaratnya suatu kebudayaan. Di tahap inilah berlaku determinisme historis, yaitu sejarah sedang memperiihatkan dirinya sendiri bahwa kebudayaan yang dikandungnya sebentar lagi akan berakhir.
Cuma determinisme di sini tidak berjalan secara dialektis --seperti yang disangka Marx-- melainkan secara hirarkis. Dalam materialisme dialektis, determinisme adalah suatu yang niscaya, karena ia merupakan historical necessity (keharusan sejarah). Setiap tesis selalu melahirkan sintesis. Dan dalam sintesis baru ini pasti mengandung unsur-unsur pembentuknya, tesis dan anti tesisnya. Air misalnya, bagaimanapun juga, tetap mengandung unsur-unsur asalnya, yaitu dua oksigen dan satu hidrogen (H20). Dan hal ini benar-benar terjadi di negara-negara Komunis tempo dulu. Negara, yang berdiri setelah revolusi proletariat, pada akhirnya juga melahirkan golongan borjouis baru. Cuma bedanya, di masyarakat kapitalis golongan borjouisnya muncul dalam elite industri atau feodal, sementara pada masyarakat Komunis berasal dari elite Polit Biro Partai.
Untuk itu ayat-ayat tadi menentang determinisme historis seperti itu. Yang dinyatakan AI Qur'an adalah kausalisme hirarkis (sebut saja begitu, untuk menunjuk rangkaian peristiwa yang terjadi secara runtut berdasarkan hukum sebab akibat). Pada kausalisme hirarkis, urutan peristiwa yang ketiga, misalnya, tidak mesti melahirkan peristiwa ke-empat. Jadi tidak harus ada historical necessity. Daur sejarah bisa diubah arahnya dengan konsep taubah.
Dengan demikian faktor yang menentukan perubahan sejarah bukan cara produksi --seperti yang dianut Marx- tetapi 'cara beraksi'. Fir'aun misalnya, dilaknat dan kemudian dihancurkan kebudayaannya oleh Allah bukan karena ia telah membangun kota piramida yang canggih atau menganut suatu sistem produksi tertentu, melainkan karena ia telah beraksi secara thagha (QS. 20:4 dan 43; QS. 79:17) dengan melakukan tindakan genocide dan etnic cleansing terhadap kaumnya Musa. Lebih jauh, Fir'aun malah mengklaim dirinya sebagai Tuhan (QS. 79:24; QS. 28:38).
Pelaku sejarah yang kembali taubah seraya melaksanakan amal-amal shaleh (merekonstruksi daur sejarah), bukan saja diselamatkan dari kehancuran tapi juga diberi tempat yang terpuji (maqomam mahmuda-QS. 17:79) atau kedudukan yang tinggi (daraajat al 'ula-QS. 20:75). Mereka yang berjasa memutar daur sejarah dari arahnya yang negatif ke arah yang positif juga dinilai melakukan hijrah dan jihad, sehingga oleh Allah dimuliakan kedudukannya dengan posisi yang paling agung (a'dzam darajah-QS. 9:20).
Dengan cara pandang seperti ini, sejarah sudah beranjak dari konsepsinya yang Darwinis dan materialis ke konsepsi yang bersifat theologis eskatologis (percaya kepada alam akhirat). Ruh kebudayaan di sini sudah melampaui batas-batas historisnya dan memasuki alam sakral dan transedentalnya. Karena kaum Tsamud dan 'Aad tadi dihancurlumatkan hanya karena satu sebab: mendustakan al-Haqqah dan al-Qori'ah (keduanya bermakna hari akhirat).
Masalahnya kini menjadi jelas, bahwa kalau Barat tadi bermula dengan melepaskan kebudayaannya dari ikatan-ikatan primordialnya, maka kita harus menghadapinya dengan menempuh jalan sebaliknya, mengembalikan ikatan-ikatan tersebut ke pangkuan esensi kebudayaan. Kalau paradigma kebudayaan Barat bersifat materialis-konsumeris, maka paradigma kebudayaan Islam justru bersifat theologis-eskatologis. Kalau dasar filsafat kebudayaan mereka menganut faham dialektika materialis, maka kita menganut hukum kausalisme hirarkis.
Tinggal bagaimana mengelaborasinya ke dalam konsep sosiologis (dengan akhlaqul karimah, misalnya) dan konsep akademis (dengan Islamisasi epistemis terhadap berbagai subjek keilmuan, misalnya). Men-seriusi kedua konsep inilah nampaknya yang sangat muhim untuk dijadikan proyek kebudayaan, yang tentu saja, harus didiskusikan secara jama'i dan berkesinambungan. Pekerjaan ini memang berat. Tetapi mesti.
Billahi Hayaatuna Wallahu Fii Hayati 'I-Mustadz'afin
http://revolusiana.blogspot.com/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H