Mohon tunggu...
irpan hadianto
irpan hadianto Mohon Tunggu... -

Hanya ingin tercukupkan oleh magfiroh, ridho dan rahmatNYA

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kebudayaan Global: Humanisme atawa Barbarisme

8 Oktober 2013   02:07 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:51 774
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Atas dasar itu, Barat memberikan perlakuan khusus kepada komunitas Muslim di mana pun mereka berada, termasuk --dan terutama-- mereka yang cuma minoritas di negara-negara lain. Gelagat politik seperti ini sebenarnya sudah cukup menjadi hujjah bahwa dalam jatidiri kebudayaan Barat tidak terkandung kekuatan misterius yang memungkinkannya survive terus-menerus. Kekuatannya justru terletak di luar dirinya, yaitu pada kelemahan musuh-musuhnya.

PROYEK KEBUDAYAAN

Dari uraian tadi jelas bahwa sesungguhnya Barat tidak punya argumen filosofis yang kuat untuk memberikan basis kepada kebudayaannya sendiri. Pandangan hidupnya berdiri di atas absurditas substansial (kemustahilan). Kalau toh kelihatannya masih tetap eksis, bahkan terkesan anggun, maka ke-eksis-annya itu tidak bersifat konstan, melainkan sedang berproses menuju titik klimaks kehancurannya. Ditilik dari sisi mazhohir atau lahiriahnya, kelihatannya memang memukau, tetapi dari sisi mahiyah atau esensialnya, yang terjadi justru sebaliknya. Kehancuran kebudayaan Komunis di Sovyet dan Eropa Timur juga mempersaksikan fenomena seperti ini. Alloh Azza wa Jalla ber-Firman: "Dan jika Kami hendak membinasakan suatu negeri, maka Kami perintahkan kepada orang-orang yang hidup mewah di negeri itu (supaya mentaati Alloh) tetapi mereka melakukan kedurhakaan dalam negeri itu, maka sudah sepantasnya berlaku terhadapnya perkataan (ketentuan Kami) kemudian Kami hancurkan negeri itu sehancur-hancurnya." (QS. 17:16) "...Dan orang-orang kafir itu bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang-binatang. Dan neraka adalah tempat tinggal mereka." (QS. 47:12).

Ayat-ayat tersebut dengan gamblang menggambarkan bahwa glamourisme (QS. 17:16) serta pola hidup konsumeris dan hedonis (QS. 47:12) menunjukkan massa renta dan sekaratnya suatu kebudayaan. Di tahap inilah berlaku determinisme historis, yaitu sejarah sedang memperiihatkan dirinya sendiri bahwa kebudayaan yang dikandungnya sebentar lagi akan berakhir.

Cuma determinisme di sini tidak berjalan secara dialektis --seperti yang disangka Marx-- melainkan secara hirarkis. Dalam materialisme dialektis, determinisme adalah suatu yang niscaya, karena ia merupakan historical necessity (keharusan sejarah). Setiap tesis selalu melahirkan sintesis. Dan dalam sintesis baru ini pasti mengandung unsur-unsur pembentuknya, tesis dan anti tesisnya. Air misalnya, bagaimanapun juga, tetap mengandung unsur-unsur asalnya, yaitu dua oksigen dan satu hidrogen (H20). Dan hal ini benar-benar terjadi di negara-negara Komunis tempo dulu. Negara, yang berdiri setelah revolusi proletariat, pada akhirnya juga melahirkan golongan borjouis baru. Cuma bedanya, di masyarakat kapitalis golongan borjouisnya muncul dalam elite industri atau feodal, sementara pada masyarakat Komunis berasal dari elite Polit Biro Partai.

Untuk itu ayat-ayat tadi menentang determinisme historis seperti itu. Yang dinyatakan AI Qur'an adalah kausalisme hirarkis (sebut saja begitu, untuk menunjuk rangkaian peristiwa yang terjadi secara runtut berdasarkan hukum sebab akibat). Pada kausalisme hirarkis, urutan peristiwa yang ketiga, misalnya, tidak mesti melahirkan peristiwa ke-empat. Jadi tidak harus ada historical necessity. Daur sejarah bisa diubah arahnya dengan konsep taubah.

Dengan demikian faktor yang menentukan perubahan sejarah bukan cara produksi --seperti yang dianut Marx- tetapi 'cara beraksi'. Fir'aun misalnya, dilaknat dan kemudian dihancurkan kebudayaannya oleh Allah bukan karena ia telah membangun kota piramida yang canggih atau menganut suatu sistem produksi tertentu, melainkan karena ia telah beraksi secara thagha (QS. 20:4 dan 43; QS. 79:17) dengan melakukan tindakan genocide dan etnic cleansing terhadap kaumnya Musa. Lebih jauh, Fir'aun malah mengklaim dirinya sebagai Tuhan (QS. 79:24; QS. 28:38).

Pelaku sejarah yang kembali taubah seraya melaksanakan amal-amal shaleh (merekonstruksi daur sejarah), bukan saja diselamatkan dari kehancuran tapi juga diberi tempat yang terpuji (maqomam mahmuda-QS. 17:79) atau kedudukan yang tinggi (daraajat al 'ula-QS. 20:75). Mereka yang berjasa memutar daur sejarah dari arahnya yang negatif ke arah yang positif juga dinilai melakukan hijrah dan jihad, sehingga oleh Allah dimuliakan kedudukannya dengan posisi yang paling agung (a'dzam darajah-QS. 9:20).

Dengan cara pandang seperti ini, sejarah sudah beranjak dari konsepsinya yang Darwinis dan materialis ke konsepsi yang bersifat theologis eskatologis (percaya kepada alam akhirat). Ruh kebudayaan di sini sudah melampaui batas-batas historisnya dan memasuki alam sakral dan transedentalnya. Karena kaum Tsamud dan 'Aad tadi dihancurlumatkan hanya karena satu sebab: mendustakan al-Haqqah dan al-Qori'ah (keduanya bermakna hari akhirat).

Masalahnya kini menjadi jelas, bahwa kalau Barat tadi bermula dengan melepaskan kebudayaannya dari ikatan-ikatan primordialnya, maka kita harus menghadapinya dengan menempuh jalan sebaliknya, mengembalikan ikatan-ikatan tersebut ke pangkuan esensi kebudayaan. Kalau paradigma kebudayaan Barat bersifat materialis-konsumeris, maka paradigma kebudayaan Islam justru bersifat theologis-eskatologis. Kalau dasar filsafat kebudayaan mereka menganut faham dialektika materialis, maka kita menganut hukum kausalisme hirarkis.

Tinggal bagaimana mengelaborasinya ke dalam konsep sosiologis (dengan akhlaqul karimah, misalnya) dan konsep akademis (dengan Islamisasi epistemis terhadap berbagai subjek keilmuan, misalnya). Men-seriusi kedua konsep inilah nampaknya yang sangat muhim untuk dijadikan proyek kebudayaan, yang tentu saja, harus didiskusikan secara jama'i dan berkesinambungan. Pekerjaan ini memang berat. Tetapi mesti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun