Auguste Comte, bapak positivisme, dengan tegas mengatakan bahwa bentuk kebudayaan yang paling tinggi adalah sains. Kredo positivisme ini kemudian diperluas oleh para pemikir dan filosof Barat lainnya. Iimu-ilmu humaniora dan filsafat, yang dinilai punya kans paling besar untuk mengkomunikasikan manusia dengan asal primordial (fitrah)-nya guna mengantarkannya ke derajat kearifan perenial (abadi), pun mengalami reduksi yang sangat mengerikan.
Di tangan Freud, Jung, dan Adler, psikologi tidak lagi mempelajari psyche (jiwa) sebagai spirit atau inner-mind (ruhani) -yang merupakan bagian paling potensial dari eksistensi manusia-melainkan sebagai gejala biologis dan fisiologis semata-mata. Kenapa terjadi psikosis atau symptom neurotis, misalnya? Dengan psikoanalisis (Freud), psikologi analitis (Jung) atau psikologi individual (Adler) dijawab bahwa itu karena adanya energi psikis yang tidak tersalurkan. Oleh Freud, energi psikis ini disebut libido. Sehihgga secara sederhana, kalau anda tidak mau mengidap psikosis (penyakit kejiwaan) atau symptom neurosis (gejala sakit syaraf), anda boleh memilih ini: bergaul bebas secara heteroseks, homoseks, atau lesbian.
Pernikahan? Jelas tidak menyelesaikan masalah. Pernikahan dibutuhkan sejauh menyangkut kebutuhan administratif saja. Tetapi untuk menyelesaikan gejala psikis tadi jelas tidak mempan. Sebab libido setiap saat bisa mendesak, sementara istri tidak selamanya siap untuk itu, entah karena (maaf) menstruasi, lagi sibuk, atau pulang-kampung misalnya. Satu-satunya jalan ialah dengan meruntuhkan tanggul-tanggul moral yang biasa menghalangi penyaluran libido tersebut secara bebas. Dalam konteks inilah terjadi deharamisasi besar-besaran. Prinsip-prinsip moral Bettrand Russel menganut etika seksual seperti ini.
Di lapangan filsafat juga begitu. Eksistensialisme--filsafat Barat yang disebut-sebut sebagai paling kontemporer- melalui tokoh utamanya, Jean Paul Sartre, dengan lantang menyebut manusia di planet bumi ini sebagai makhluk serba-kebetulan, dan karenanya tidak punya pandangan theologis, nasib sejarahnya tidak punya arah yang jelas. Tujuan hidup satu-satunya adalah memenuhi kepentingan perut dan sekitamya agar mencapai derajat Uebermensch (istilah ini dari Nietzche), derajat penaklukan dan penguasaan. Untuk itu, peduli syetan dengan orang lain. Bagi Sartre: 'The other man is hell' (orang lain adalah neraka). Jiwa imperialisme, penaklukan, dan penguasaan pasca PD II menemukan kembali semangatnya di sini.
Hal yang sama juga terjadi di bidang seni. Seni yang tadinya dipandang sebagai melodi Ilahiah, kini tereduksi menjadi “sekedar” hiburan murahan. Jargonnya yang paling terkenal: Art for the sake of art. Apa saja yang dilakukan di bidang ini selama memberikan hiburan segar kepada masyarakat, maka dengan sendirinya sah untuk diapresiasi sebagai karya seni. Tentu saja tak terkecuali dalam menampilkan goyang erotis sebagai tuntutan industri hiburan publik.
HUMANISME BARBARISME
Sekarang tidak ada lagi satu sisi pun dari kebudayaan Barat yang tidak mengalami materialisme dan reduksionisme (penyederhanaan yang absurd) seperti itu. Dan ini pula yang dipaksakan ke seluruh penjuru angin melalui arus globalisasi. Semua standarisasi internasional mengacu ke situ, yaitu bahwa suatu produk (termasuk produk politik dan kebudayaan) dikatakan memenuhi standar kalau pas dengan kriteria itu.
Untuk itu, mustahil ada upaya konkrit dari negara-negara Barat dan Amerika untuk menghentikan genocide (pemusnahan massal) dan Islamic Cleansing (pemberangusan Islam) di dunia. Mustahil Kongres memaksa Obama untuk menghentikan black propaganda terhadap ajaran Islam.
Mustahil negara-negara Barat dan pro-Barat membantu Rakyat Palestina berperang melawan aneksasi Zionis Israel. Mustahil dunia melaknat pendiskreditan dan pemerkosaan the Universal Declaration of Human Rights (yang disahkan PBB sendiri tahun 1948) di Lybia, Mindanao, Pattani, Afganistan, Kashmir, Iraq, Suriah, dan seterusnya. Mustahil, karena di semua tempat itu yang terjadi sesungguhnya adalah pemaksaan standar kebudayaan Barat kepada orang-orang Muslim yang dinilai tak sekolah, "kepala batu", radikal, teroris, atau fundamentalis, yang oleh Huntington diasumsikan bakal menimbulkan clash of civilization (benturan peradaban).
Kolonialisme bahasa tadi juga pada dasarnya penyesuaian istilah-istilah humanis dengan standar seperti ini, agar benar-benar cocok dengan kebutuhan mereka. Humanisme, dengan begitu, tidak lain dari Barbarisme itu sendiri.
Barbarisme kebudayaan semacam ini memang ibarat mesin raksasa mondial, tapi bukan berarti tidak tertandingi. Perilaku politik negara-negara Barat dan Paman Sam akhir-akhir ini mengisyaratkan bahwa bukan saja negara-negara imperialis itu takut tertandingi, tapi sekaligus takut akan munculnya kesadaran baru di negara-negara non-Barat. Derasnya penolakan sebagian masyarakat Muslim terhadap kebudayaan Barat akhir-akhir ini seraya menawarkan kebudayaan altematif yang di-elaborasi (diuraikan) dari sumber Hukum Islam, pun sudah merupakan belati maut bagi eksistensi kebudayaan Barat.