Judul : Kidung Rindu
Penulis : Arif Yudistira
Penerbit : Stone 2 Entertaiment
Cetakan : Pertama, Oktober 2017
Tebal : 26 hlm
Seperti apakah bentuk rindu berdimensi ganda? Pertanyaan aneh tersebut akan sedikit terjawab dengan membaca buku puisi terbaru dari penyair muda Solo, Arif Yudistira berjudul Kidung Rindu terbitan Stone 2 Entertaiment.
Dalam buku puisi tersebut pembaca tidak hanya akan dimanjakan oleh permainan kata yang syarat makna, tapi juga permainan tanda baca, tata letak penyuguhan puisi, serta bentuk dan ukuran huruf dalam puisi. Singkatnya, Arif berusaha menampilkan rindu dalam bentuk-bentuk terliarnya dengan memanfaatkan segala hal yang mampu memperdalam estetika rindu.
Dalam buku Kidung Rindu, Arif mencoba peruntungan dengan usahanya mengkombinasikan antara pernainan tata telak dan bentuk puisi ala Sutardji Calzoum Bachri dengan bentuk puisi tunggal panjang milik Linus Suryadi AG.
Seperti yang kita ingat, Sutradji yang pernah memproklamirkan diri sebagai presiden penyair, pernah berusaha melepaskan kata dari penjara makna. Hasilnya adalah kelahiran mantra-mantra dan pemaksimalan formasi tampilan puisi. Pada tahun 1970an sampai tahuan 1980an hal itu merupakan revolusi estetis yang diperhitungkan. Hal tersebut disebut Harry Aveling dalam buku Rahasia Membutuhkan Kata sebagai jalan keluar bagi sastrawan indonesia dari kebuntuan kreatifitas akibat pembatasan-pembatasan orde baru dibidang ekspresi seni.
Sedangkan Linus dalam buku puisi berjudul Pengakuan Pariem berusaha menampilkan puisi berspirit jawaisme yang berupaya mengeksplorasi tema psikologi perempuan jawa dalam satu puisi panjang bernuansa tembang. Upaya ini bukan hanya menimbulkan kesan unik namun juga mistis. Perempuan jawa berhasil dimaknai secara mendalam dengan balutan citra misterius dan eksotis.
Dalam buku puisi Kidung Rindu garapan Arif, kombinasi dua gaya sastra tersebut mendorong pembaca untuk memproduksi imajinasi rindu yang mampu menembus batas kompleksitas makna dan estetika bentuk puisi. Puisi tunggal berjudul Surat Ibu garapan Arif berhasil menyelami jejak kasih seorang ibu pada anaknya yang pergi jauh mencari penghidupan. Permainan tampilan dan bentuk puisi berhasil menghardik pembaca untuk menapaki estetika visual pada buku ini. Tendensi efek visual ini ialah munculnya nuansa rindu pada dimensi material yang meriah. Penggalan bait berikut upaya Arif dalam memperdalam dan memeriahkan rindu tersebut:
Saat ibu mengajakku ke sawah
Yang aku rasakan hati ini semakin membuncah
Bukan karena burung-burung yang terus bernyanyi
Bukan pula karna gatal kulitku setelah kami kembali
Saat ibu mengajaku ke sawah
Yang kuingat hanya senyumnya
Yang tak pernah luntur dimakan usia
Ibu mengajariku menanam kebajikan
Agar bisa memanen di masa mendatang
Yang aku berikan pada ibu adalah kisah
Yang ibu berikan padaku adalah kasih
Dari penggunaan tanda baca dan jenis ukuran huruf yang dipilih Arif, kita bisa menyimpulkan kemana perhatian dan penekanan puisi Arif. Kita dipaksa untuk bernostalgia dengan waktu dan mendalami rindu kita pada ibu. Pilihan penekanan visual Arif pada kata “saat” dan “saat ibu” mengindikasikan bahwa Arif mengajak kita untuk meromantismekan waktu. Sedangkan penonjolan kata “yang” kisah” dan “kasih” bertendensi pada pemuliaan perasaan rindu pada ibu yang dijalin lewat kisah dan kasih.
Dalam konteks puisi tersebut, saya kira Arif berusaha men-stop sejenak waktu yang berjalan terlalu cepat. Kita yang sering terlalu sibuk pada urusan pribadi dan bersifat duniawi, diingatkan Arif untuk kembali memeluk ingatan tentang ibu. Ibu yang merupakan sumber cinta, kembali disuguhkan pada kita dalam bentuk puja-puji nan mulia. Hal tersebut menimbulkan kesan romatis yang dalam dan membekas.
Bekas-bekas rindu dan cinta itu, yang diperoleh dari penjedaan waktu, saya yakin akan sangat membantu menumbuhkan dan melahirkan kebijaksanaan dan kebaikan. Generasi milenial yang dibombandir dengan bentuk-bentuk ekspresi materialistis yang sering dibumbui kebencian, membutuhkan ujaran-ujaran rindu yang mendalam. Rindu tersebut jelas bukan jenis rindu yang bersifat spontan dan fanatis seperti rindu datangnya pemimpin adil dalam kampanye pemilihan kepala negara. Namun, jenis rindu reflektif yang panjang dan penuh jeda. Rindu inilah yang dibawa dan ditawarkan oleh Arif. Rindu pada ibu. Rindu pada sosok yang bersifat tulus, mulia, non politis, dan tidak sok kuasa.
Dengan memberi jalan pada buku-buku sastra yang memuat unsur-unsur rindu seperti itu, saya percaya, jalan menuju upaya memajukan bangsa akan terbuka. Sebab saya yakin bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang menghargai jasa para pahlannya. Bangsa yang besar adalah bangsa yang juga tahu caranya merindu. Merindu yang dalam rindu yang dalam dan bersifat dua dimensi.
Dimuat pertama di portal buku online strore.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H