Dalam konteks puisi tersebut, saya kira Arif berusaha men-stop sejenak waktu yang berjalan terlalu cepat. Kita yang sering terlalu sibuk pada urusan pribadi dan bersifat duniawi, diingatkan Arif untuk kembali memeluk ingatan tentang ibu. Ibu yang merupakan sumber cinta, kembali disuguhkan pada kita dalam bentuk puja-puji nan mulia. Hal tersebut menimbulkan kesan romatis yang dalam dan membekas.
Bekas-bekas rindu dan cinta itu, yang diperoleh dari penjedaan waktu, saya yakin akan sangat membantu menumbuhkan dan melahirkan kebijaksanaan dan kebaikan. Generasi milenial yang dibombandir dengan bentuk-bentuk ekspresi materialistis yang sering dibumbui kebencian, membutuhkan ujaran-ujaran rindu yang mendalam. Rindu tersebut jelas bukan jenis rindu yang bersifat spontan dan fanatis seperti rindu datangnya pemimpin adil dalam kampanye pemilihan kepala negara. Namun, jenis rindu reflektif yang panjang dan penuh jeda. Rindu inilah yang dibawa dan ditawarkan oleh Arif. Rindu pada ibu. Rindu pada sosok yang bersifat tulus, mulia, non politis, dan tidak sok kuasa.
Dengan memberi jalan pada buku-buku sastra yang memuat unsur-unsur rindu seperti itu, saya percaya, jalan menuju upaya memajukan bangsa akan terbuka. Sebab saya yakin bangsa yang besar bukan hanya bangsa yang menghargai jasa para pahlannya. Bangsa yang besar adalah bangsa yang juga tahu caranya merindu. Merindu yang dalam rindu yang dalam dan bersifat dua dimensi.
Dimuat pertama di portal buku online strore.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H