Mohon tunggu...
Revisa AyundaPutri
Revisa AyundaPutri Mohon Tunggu... Penulis - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia

Mahasiswa Fakultas Hukum yang sering melakukan kajian dan penelitian terhadap isu sosial politik dan menganalisis produk Hukum atau fenomena Hukum lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Cacat Penolakan Polri terhadap Laporan Tindak Pidana Pencabulan dan Persetubuhan Anak

8 Mei 2023   13:39 Diperbarui: 8 Mei 2023   13:56 235
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Akan tetapi kembali lagi, penulis berpendapat apapun latar belakang dari anak AG, anak tetaplah anak, setiap pihak juga harus menerapkan asas equality before the law yang mana setiap orang seharusnya diberlakukan secara sama dan adil di hadapan hukum terlepas dari apapun latar belakangnya, terlepas bahwa AG telah mendapatkan vonis pada kasusnya, AG tetap lah memiliki hak untuk mengajukan laporan atas tindak pidana yang terjadi kepadanya.

Kembali lagi mengenai opini penolakan laporan AG, kita harus kembali pada dasar pendekatan prinsip consent pada kasus kekerasan seksual. Bahwasanya persetujuan atau consent dalam aktivitas seksual menjadi tidak valid apabila hal tersebut diberikan atau dimintakan kepada anak di bawah umur. Hal ini menguatkan argumen yang menjelaskan bahwa apabila aktivitas seksual yang dilakukan oleh Mario Dandy dan anak AG merupakan aktivitas seksual suka sama suka maka hal tersebut tetap termasuk tindak pidana sebab persetujuan yang diberikan oleh AG tidak bisa dianggap valid dan sah. 

Alasan yang sering menjadi dasar mengapa anak tidak bisa memberikan persetujuan yang dianggap valid ialah, masih mungkinnya anak tersebut memberikan persetujuan tanpa pemikiran yang seutuhnya dan terpengaruh oleh grooming yang dilakukan oleh pelaku yang merupakan orang dewasa. Adanya ketimpangan yang terjadi antara pelaku dengan anak menjadi dasar yang akhirnya membuat terjadi tekanan psikis secara tidak langsung yang dipengaruhi oleh grooming itu sendiri.

Oleh sebab itu, karena kompleksitas kasus ini seharusnya Kepolisian tidak serta merta menggampangkan kasus ini hanya karena adanya tekanan publik yang telah melabeli anak AG sebagai anak yang bermasalah. Kepolisian seharusnya tetap menjalankan tugas sebagaimana mestinya untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan atas laporan yang diberikan oleh pihak dari anak AG. Jangan sampai aparat penegak hukum justru menormalisasi statutory rape yang terjadi pada anak hanya karena anak tersebut telah menjadi anak berkonflik dengan hukum atau karena publik sudah terlanjur memberi label buruk terhadap anak tersebut. 

Seburuk apapun tindakan anak pada kasus lain, hak anak tersebut tetap harus dipenuhi termasuk hak nya untuk mengajukan laporan atas tindak pidana yang terjadi kepadanya. Sebab, statutory rape bukan hal yang bisa dianggap remeh, statutory rape yang dinormalisasi oleh aparat penegak hukum sendiri akan semakin melanggengkan tindakan grooming pada anak dan membuat angka kekerasan seksual pada anak akan semakin meningkat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun