Akhir-akhir ini publik digemparkan oleh kasus penganiayaan yang dilakukan oleh Mario Dandy kepada anak DO yang diduga melibatkan anak AG sebagai turut serta ikut membantu tindak pidana. Dalam putusan PN Jkt.Sel No. 4/Pid.sus.anak/2023/PN JKT.Sel menyebutkan bahwa anak AG terbukti melakukan tindak pidana tersebut dan dihukum dengan hukuman 3 tahun 6 bulan di Lembaga Pemasyarakatan Khusus Anak.Â
Akan tetapi terdapat fakta lain yang terungkap saat putusan tersebut dikeluarkan yaitu mengenai aktivitas seksual yang terjadi antara anak AG dan Mario Dandy yang secara eksplisit menjadi pertimbangan hakim dalam memutus perkara anak AG tersebut.
Perlu diketahui bahwa anak AG adalah anak dengan usia di bawah 18 tahun sehingga masih dilindungi oleh Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak, sedangkan dalam hal ini Mario Dandy merupakan individu dengan usia 18 tahun yang sudah dianggap dewasa oleh hukum pidana.Â
Dari perbedaan usia antara anak AG dan Mario Dandy dapat disimpulkan bahwa aktivitas seksual dalam hal ini adalah hubungan badan yang terjadi di antara keduanya merupakan aktivitas seksual antara orang dewasa dengan anak. Sejatinya perbuatan melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk Anak melakukan persetubuhan dengannya atau dengan orang lain juga dinyatakan sebagai tindak pidana, sekalipun ada narasi bahwa keduanya adalah perbuatan suka sama suka, hal tersebut adalah tindak pidana.Â
Dikarenakan korban berusia anak, maka tidak ada konsep persetujuan murni orang dibawah usia 18 tahun untuk melakukan hubungan seksual, maka hubungan seksual antara orang dewasa dengan anak-anak harus dinyatakan sebagai tindak pidana.
Maka dapat disimpulkan dari hal tersebut bahwa apa yang dilakukan oleh Mario dandi kepada anak AG merupakan jenis dari statutory rape yang merupakan tindak pidana berdasarkan Pasal 287 KUHP, Pasal 76D juncto Pasal 81 ayat 2 dan Pasal 76E juncto Pasal 82 ayat 1 UU Perlindungan Anak, Pasal 6 huruf c juncto Pasal 15 ayat 1 huruf g Undang-Undang No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.Â
Akan tetapi sangat disayangkan, ketika pihak anak AG melakukan laporan atas dugaan tindak pidana cabul dan/atau persetubuhan, pihak Polri dua kali melakukan penolakan terhadap laporan yang diajukan oleh kuasa hukum anak AG. Laporan pertama dilakukan pada 2 Mei 2023 dan ditolak dengan alasan harus dilaporkan oleh orang tua/wali pelapor bukan penasihat hukum.
Selanjutnya, pada tanggal 3 Mei 2023 dan ditolak dengan alasan perlu dilakukan visum terhadap pelapor terlebih dahulu, dan karena pelapor sedang berada di tempat penahanan, maka petugas piket SPKT Polda Metro Jaya perlu menunggu kepulangan atasannya dari tugas pada hari Senin tanggal 8 Mei 2023 untuk melakukan laporan polisi kembali terhadap MDS.
Alasan penolakan yang dilakukan oleh Polda Metro Jaya tersebut tentu tidak sesuai dengan bagaimana hukum acara pidana seharusnya diberlakukan. Pertama, Polisi menolak dengan alasan laporan harus dilakukan oleh Orang Tua/Wali Pelapor, padahal sudah jelas bahwa Penasihat Hukum anak AG telah memiliki surat kuasa khusus yang secara eksplisit memberikan wewenang untuk melakukan segala tindakan hukum untuk kepentingan kliennya. Sehingga ketika laporan tersebut diajukan oleh penasihat hukum dengan adanya surat kuasa khusus maka tetap dianggap sah di hadapan hukum.Â
Kedua, Kepolisian mengatakan bahwa anak AG harus melakukan visum terlebih dahulu untuk menjadi bahan utama laporan tindak pidana pencabulan dan/atau persetubuhan. Padahal seharusnya visum dilakukan pada proses penyelidikan sebagai salah satu cara yang bisa dilakukan penyelidik untuk mencari titik terang apakah terdapat tindak pidana atau tidak. Sekali lagi, mencari titik terang tindak pidana merupakan tugas penyelidik dan penyidik sehingga visum juga seharusnya dilakukan pada proses penyelidikan, bukan dibebankan kepada pelapor.
Terjadi pro kontra dari masyarakat atas penolakan laporan yang dilakukan oleh kepolisian tersebut. Beberapa pihak mendukung kepolisian melakukan penolakan laporan dengan alasan bahwa laporan tersebut bukan termasuk kategori tindak pidana dengan melihat latar belakang pelapor sebagai anak yang sudah sering melakukan aktivitas seksual dengan orang dewasa. Bahkan terdapat beberapa pihak di media sosial yang telah melabeli anak AG sebagai anak yang problematic sehingga wajar melakukan aktivitas seksual tersebut mau sama mau.