Mobil yang Rifky kemudikan berbelok menuju sebuah jalan kecil di kawasan Bintaro. Jalan buntu itu hanya muat untuk dilewati oleh dua buah kendaraan saja. Sebuah kendaraan lain berpapasan melintas. Rifky tahu persis siapa pemiliknya, namun tak ia hiraukan. Bodo amat! Yang ada dalam benaknya hanyalah untuk bertemu dengan sang pujaan hati.
Namanya Shinta.
Hari-hari belakangan ini, wajah Shinta selalu terbesit dalam angan Rifky, melintas sekilas dalam menghias mimpi. Bagai bayang-bayang kelabu menaungi kalbu, keberadaan Shinta mulai mengusik ketentraman jiwa Rifky. Sejak ia berjumpa dengan Shinta, walau tanpa kehendak, Rifky menaruh jua sedikit rasa padanya. Awalnya, Rifky berusaha untuk tak peduli, mengacuhkan setitik benih yang mulai tumbuh dan ia rasakan. Aahhhh, nggak mungkin lahh! Secepat itukah sekuntum bunga dapat merekah, bahkan pada tanah yang tersubur sekalipun? Rifky mencoba melakukan pembodohan terhadap dirinya sendiri. Diam-diam ia mencoba untuk menipu hati. Namun hati bukanlah pedagang warung ataupun kondektur bis yang dapat dengan mudah dan seringkali ia tipu. Adalah sebuah anomali; bahwa akal bulus, kecerdikan, bahkan kelicikan tak berlaku disini. Hati hanya mengenal kejujuran. Dan demi sebuah kejujuran, hati itu tak segan untuk melakukan sebuah ’serangan balik’. Ia mulai menggusur akal sehat, menggantinya dengan siratan-siratan asmara. Semuanya membuat apa yang Rifky rasakan semakin menjadi. Rasa itu, tak ayal bagai raja yang berkuasa, mengambil-alih sebagian ruang dari dalam relung hatinya.
Selenting suara berujar, “Apa sih yang istimewa dari seorang Shinta? Bukankah di luar sana juga banyak gadis berparas manis, bahkan yang jauh lebih cantik daripada Shinta yang ‘biasa-biasa’ saja?! Jakarta ini luas loh, mas!”
“Dengarkan aku wahai nurani, janganlah menghasut diriku dengan pernyataan sedangkal itu!”, Rifky berkata singkat menepis ujaran sisi lain belahan dirinya
Perasaan Rifky terhadap seorang wanita amatlah tajam. Lewat impresi pertama, lewat tutur kata, lewat gerak-gerik, lewat perilaku, apa yang ia rasakan serta penilaiannya terhadap seseorang hampir tak pernah meleset. Demikian pula tentang Shinta. Saat kali pertama ia melihatnya, Rifky tahu pasti ada sesuatu yang terpendam dibalik penampilan serta sosok Shinta yang tomboy. Penampilan itu hanya topeng, yang dapat diubah, dicopot ataupun dipasang sesuai kehendak pemakainya, Rifky mulai berfilsafat. Meski ia hanya dapat memandang Shinta melalui celah-celah tirai hati, meski tak segamblang bila ia memandang laut dari pinggiran pantai, meski kali ini penglihatannya buram bagai terhalang kelambu. Namun satu hal yang Rifky yakini; bahwa Shinta, sosok yang belakangan membuatnya meradang, ia adalah seorang wanita sejati.
“Kata siapa? Mendingan situ jangan belaga sok tau deeh!”, lagi-lagi selentingan suara terngiang di telinga Rifky.
Ia tak memiliki rumus ataupun formula apapun yang yang dapat dengan tepat membuktikan kebenaran teorinya tersebut. Namun Rifky tahu, perkataan nurani tak pernah berdusta dan ia terlampau amat percaya bahwa itulah yang menyebabkan seorang Rifky tak mampu menipu hati serta membendung perasaannya.
…Hanya saja Rifky bukan sosok pria yang terlalu pede, percaya diri. Yang menganggap dirinya ganteng, digila-gilai wanita. Ia hanyalah pria biasa. Rifky, si pria sederhana, dengan segala keberadaannya. Tak ada kemewahan, tak pula ada kemegahan tercermin dari kesehariannya. Sadar akan keterbatasan dirinya, membuat semua rasa itu, pikiran itu, keyakinan itu, hanya Rifky sembunyikan di dalam laci hatinya yang terdalam, lalu menguncinya di sana.
*****
Dari kejauhan tampak Shinta yang masih berdiri di tepian pagar, mungkin ia habis mengantar kepergian si empunya mobil yang berpapasan dengan Rifky tadi. Rifky segera memarkirkan mobilnya tak jauh dari tempat dimana Shinta berada, lalu ia berkaca dan merapikan sedikit dandanannya. Lumayanlah. Demikian pikirnya. Setelah mematikan mesin kendaraannya, Rifky bergegas turun tanpa perlu berpikir panjang. Saat kakinya melangkah, hatinya berdebar. Tatapannya terpaku pada sang pujaan hati. Ia mencoba untuk tetap terlihat biasa-biasa saja, meskipun ia sungguh sangat merindukannya…
Shinta kemudian membuka sebagian pintu gerbang rumahnya lalu menghampiri Rifky.
“Hayy, kamuu…”, sapa Shinta ramah.
“Hay juga.”, Rifky membalas sapanya sambil tersenyum
“Yuk masuk!”, kata Shinta kemudian seraya menggandeng tangan Rifky.
Kala jari-jemari Shinta terselip diantara jari-jemari tangannya, Rifky merasa ia bukanlah dirinya lagi. Sentuhan halus itu justru membuat sekujur raganya bagai tersengat sesuatu! Tiba-tiba ia merasa lunglai. Lemas. Ingin rasanya Rifky menyenderkan tubuh itu pada sang pujaan hati. Khayalannya mulai merasuk, melambungkan angan Rifky sampai kahyangan. Saat itu ia sedang menjadi Arjuna, bersanding dengan Dewi Shinta yang tepat berada disisinya. Dadanya bergemuruh, sementara dalam hati terasa bergejolak. Tak ada kata atau bahasa yang dapat mengungkapkan perasaaan sang Arjuna, namun dapat dimengerti meski hanya melalui sebuah senyuman semata.
*****
Shinta mengajak Rifky masuk menuju pelataran teras rumahnya. Sebuah beranda yang tertata cukup apik dan nyaman. Rifky sangat menyukai tempat itu, meski kadang nyamuk-nyamuk nakal silih berganti menggoda. Aku sedang di kahyangan, pikirnya. Memang di kahyangan ada nyamuk?? Ada maupun tiada, seorang Rifky sudah tak mempedulikan hal itu lagi. Dari tempatnya berada, sesekali ia memperhatikan ke seberang jalan, kaca-kaca besar jendela rumah tetangga seperti sedang mengawasi dari jauh. Rifky bermain-main dengan pikirannya sejenak, mencoba untuk sekadar membayangkan. Siapa kira-kira yang berada di balik kaca-kaca tersebut? Sedang apakah mereka? Apakah diam-diam turut mendengarkan melodi kisah kasih yang bersenandung dari teras rumah ini? Bisikkanlah kepadaku, jangan hanya menjadi saksi yang diam dan membisu!
Sebuah khayalan nakal kembali merasuk, namun segera ia tepis tatkala Shinta mengajaknya duduk bersama pada sebuah bangku kayu kecil. Bangku mungil berukiran khas, sepertinya ukiran Jawa, Rifky menebak asal-asalan. Angkasa tampak polos tanpa noda, tak sehelai awan terlihat mengangkasa. Cuaca begitu bersahabat, terasa hembusan semilir angin menerpa. Namun, Rifky merasa ada sebuah nansa hati yang tak biasa. Entah apa. Sesuatu yang berada di antara kedamaian dan kegundahan batin. Petang mulai memejamkan mata ketika malam bersiap diri untuk terjaga. Rifky mereka-mereka, ketika nurani putih membisikkan sekelumit kalimat asmara. Apa yang akan aku lakukan? Sementara berpikir, ia memandangi taburan bintang yang menghias langit lembayung pada batas cakrawala. Bulan sabit ikut-ikutan menebar pesona di atas sana. Bila Rifky boleh meminjam sepenggal lirik ayat sebuah lagu, lengkungnya seakan sedang tersenyum memandangi mereka berdua.
“Apa kabar kamu?”, Shinta bertanya. Mencoba mengawali sebuah pembicaraan sekaligus memecah kesunyian.
“Baiikkk... Kamu sendiri?”
“Aku juga baik.”, sahut Shinta.
Sampai disitu pembicaraan terhenti. Otak Rifky mendadak kosong. Blank! Padahal(hanya) baru tiga kata yang terucap, Rifky seperti sudah kehabisan stok. Grogi ya? Bisa jadi demikian! Segala wacana cinta yang telah ia siapkan seperti terbang dari dalam pikirannya. Untuk beberapa waktu, mereka sama-sama terdiam…
Tik tok tik tok…
Antara detak jantung atau detak jam bergulir sudah tak jelas lagi perbedaannya. Yang pasti, waktu tetap berjalan, meski Rifky merasa dunia berhenti berputar. Sementara itu, ada dua manusia yang sedang duduk bersama namun tanpa suara. Hanya hela nafas yang menyatu dalam sebuah kebekuan.
Tiba-tiba Rifky menyadari apa yang sedari tadi ia coba untuk sadari. Sesuatu yang ia rasakan berada berada di antara kedamaian dan kegundahan batin. Apakah sebuah kesalahan bila dirinya berada di tempat ini? Apakah benar akal sehatnya telah tergusur oleh perasaan cinta? Tiba-tiba ia teringat akan sebuah sosok lain. Ia teringat pada kendaraan yang tadi berpapasan dengannya…
Astaga! Bukankah itu pacar Shinta? Ia tahu persis tentang hal itu namun sekali lagi ia mencoba untuk menutup mata. Rifky bingung. Batinnya berontak. Sementara sang pujaan hati hanya duduk terdiam sambil mengutak-ngatik telpon seluler miliknya di hadapan Rifky. Ia ingin tetap berada di tempat itu, di teras itu, meski nurani hitam kembali menghasutnya untuk melangkah pergi.
"Ayo Rifky, tetap di sini, atau pulang?!"
Keadaan ini sungguh tak dapat ia tolerir lagi. Rifky menggenggam kedua tangan Shinta, dan perlahan menariknya mendekat. Dihampirinya wajah Shinta hingga hanya beberapa centimeter saja lalu dipandangnya lekat-lekat. Dekat, bahkan telampau dekat. Rifky mendengar suara degup jantung.Entah itu degup jantung Shinta, atau degup jantungnya sendiri? Ia menatap dalam-dalam kedua bola mata Shinta.
“Shinta, kamu kan tau, aku seorang yang selalu terus-terang dan berkata apa adanya?”
“Iya, aku tau.”
“Aku ingin menciummu…”, untaian kata singkat itu terlontar dari mulut Rifky tanpa rencana. Singkat, namun maknanya sangat jelas tersurat, bukan lagi tersirat. Ia membiarkan nurani putih yang kini mulai menguasai singgasana hati, pikiran, serta perasaannya, untuk bersabda apa saja. Pandangannya tak lepas, meniti tiap lekuk wajah Shinta.
“Ciumlah aku.”, ujar Shinta perlahan.
Rifky memejamkan kedua matanya. Yang selanjutnya terjadi adalah sebuah kecupan yang halus nan lembut, terasa menyentuh kedua bibirnya. Rifky terpana sejenak, sebelum ia menyadari apa yang baru saja dilakukannya. Aaaaahhhh, aku benar-benar sudah gila!! Rifky serasa hendak berteriak menghardik kalbu. Sejujurnya ia sendiri tak mengerti darimana datangnya semua keberanian itu. Keberanian untuk mengucapkan kata-kata tadi. Keberanian? Mungkin lebih tepat bila disebut dengan kenekatan! Logika sudah tak berguna, benar-benar sudah amblas tergerus perasaan. Terserahlah! Rifky sudah tak memikirkan lagi di mana ia berada; entah di teras sebuah rumah, di kahyangan, atau di alam mimpi. Bahkan kini Rifky enggan untuk bersuara. Kali ini ia berharap bahwa dunia benar-benar berhenti berputar. Dengan mata masih terpejam, ia ingin menikmati setiap detik yang berlalu, entah untuk berapa lama lagi. Sejenak ia mengintip, ternyata bulan sabit masih tetap melengkungkan senyum kepada Shinta dan dirinya.
*****
Malam ini, Rifky sedang duduk sendiri di tepian jendela. Pandangannya menerawang. Melamun seraya menatap langit, bilamana bulan sabit kembali hadir menebar senyum. Jika memandangnya, ia teringat akan sebuah kejadian tak terlupakan. Selembar catatan termanis bersama Shinta yang baru beberapa minggu berlalu. Rifky tak berharap apa-apa, tak pula berharap waktu kan kembali terulang. Ia bahkan tak ingin tahu kelanjutan ataupun akhir cerita bersama Shinta. Ia hanya ingin ikut tersenyum bersama rembulan, sambil membayangkan duduk di sebuah teras, pada sebuah bangku mungil bersama sang pujaan hati...
“Sedang apakah engkau disana? Sungguh aku ingin bersanding denganmu, namun tak mampu kulawan kehendak Sang Mahadewa. Bila keyakinan yang memisahkan, aku berdoa kiranya semesta mengijinkan kita untuk bersama pada kehidupan selanjutnya.”
*Aku persembahkan untuk seorang 'Shinta'
(RV060311)
http://artfuljunkie.wordpress.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H