Mohon tunggu...
Revi Masengi
Revi Masengi Mohon Tunggu... -

Saya bukan siapa-siapa, bukan pula jurnalis. Hanya orang biasa yang suka menuangkan isi kepala ke dalam sebuah karya tulis.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Bulan sabit di teras rumah

10 Maret 2011   22:25 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:53 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Tiba-tiba Rifky menyadari apa yang sedari tadi ia coba untuk sadari. Sesuatu yang ia rasakan berada berada di antara kedamaian dan kegundahan batin. Apakah sebuah kesalahan bila dirinya berada di tempat ini? Apakah benar akal sehatnya telah tergusur oleh perasaan cinta? Tiba-tiba ia teringat akan sebuah sosok lain. Ia teringat pada kendaraan yang tadi berpapasan dengannya…

Astaga! Bukankah itu pacar Shinta? Ia tahu persis tentang hal itu namun sekali lagi ia mencoba untuk menutup mata. Rifky bingung. Batinnya berontak. Sementara sang pujaan hati hanya duduk terdiam sambil mengutak-ngatik telpon seluler miliknya di hadapan Rifky. Ia ingin tetap berada di tempat itu, di teras itu, meski nurani hitam kembali menghasutnya untuk melangkah pergi.

"Ayo Rifky, tetap di sini, atau pulang?!"

Keadaan ini sungguh tak dapat ia tolerir lagi. Rifky menggenggam kedua tangan Shinta, dan perlahan menariknya mendekat. Dihampirinya wajah Shinta hingga hanya beberapa centimeter saja lalu dipandangnya lekat-lekat. Dekat, bahkan telampau dekat. Rifky mendengar suara degup jantung.Entah itu degup jantung Shinta, atau degup jantungnya sendiri? Ia menatap dalam-dalam kedua bola mata Shinta.

“Shinta, kamu kan tau, aku seorang yang selalu terus-terang dan berkata apa adanya?”

“Iya, aku tau.”

“Aku ingin menciummu…”, untaian kata singkat itu terlontar dari mulut Rifky tanpa rencana. Singkat, namun maknanya sangat jelas tersurat, bukan lagi tersirat. Ia membiarkan nurani putih yang kini mulai menguasai singgasana hati, pikiran, serta perasaannya, untuk bersabda apa saja. Pandangannya tak lepas, meniti tiap lekuk wajah Shinta.

“Ciumlah aku.”, ujar Shinta perlahan.

Rifky memejamkan kedua matanya. Yang selanjutnya terjadi adalah sebuah kecupan yang halus nan lembut, terasa menyentuh kedua bibirnya. Rifky terpana sejenak, sebelum ia menyadari apa yang baru saja dilakukannya. Aaaaahhhh, aku benar-benar sudah gila!! Rifky serasa hendak berteriak menghardik kalbu. Sejujurnya ia sendiri tak mengerti darimana datangnya semua keberanian itu. Keberanian untuk mengucapkan kata-kata tadi. Keberanian? Mungkin lebih tepat bila disebut dengan kenekatan! Logika sudah  tak berguna, benar-benar sudah amblas tergerus perasaan. Terserahlah! Rifky sudah tak memikirkan lagi di mana ia berada; entah di teras sebuah rumah, di kahyangan, atau di alam mimpi. Bahkan kini Rifky enggan untuk bersuara. Kali ini ia berharap bahwa dunia benar-benar berhenti berputar. Dengan mata masih terpejam, ia ingin menikmati setiap detik yang berlalu, entah untuk berapa lama lagi. Sejenak ia mengintip, ternyata bulan sabit masih tetap melengkungkan senyum kepada Shinta dan dirinya.

*****

Malam ini, Rifky sedang duduk sendiri di tepian jendela.  Pandangannya menerawang. Melamun seraya menatap langit, bilamana bulan sabit kembali hadir menebar senyum. Jika memandangnya, ia teringat akan sebuah kejadian tak terlupakan. Selembar catatan termanis bersama Shinta yang baru beberapa minggu berlalu. Rifky tak berharap apa-apa, tak pula berharap waktu kan kembali terulang. Ia bahkan tak ingin tahu kelanjutan ataupun akhir cerita bersama Shinta. Ia hanya ingin ikut tersenyum bersama rembulan, sambil membayangkan duduk di sebuah teras, pada sebuah bangku mungil bersama sang pujaan hati...

Sedang apakah engkau disana? Sungguh aku ingin bersanding denganmu, namun tak mampu kulawan kehendak Sang Mahadewa. Bila keyakinan yang memisahkan, aku berdoa kiranya semesta mengijinkan kita untuk bersama pada kehidupan selanjutnya.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun