Mohon tunggu...
Pelangi Zahra
Pelangi Zahra Mohon Tunggu... Guru - Guru

Pelangi Zahra adalah nama pena dari Revi Nuraini, S.Pd, seorang guru yang memiliki hobi travelling dan menulis. IG : @Pelangizahra_

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Aku, Dia dan Surat Kapal

20 Oktober 2024   15:01 Diperbarui: 20 Oktober 2024   15:03 75
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pukulan rebana terdengar jelas, bernyanyi merdu di telinga Hanum. Mengiringi sekelompok orang yang berjalan menuju sebuah rumah. Rumah yang kini telah disulap menjadi layaknya sebuah istana pesta. Dilengkapi dengan berbagai dekorasi bunga berwarna-warni, yang semakin membuat tenda biru itu terlihat begitu megah. Tatapan gadis yang bernama Hanum itu pun kemudian berpindah haluan. Ketika matanya melihat sebuah kapal kecil yang sedang dipegang oleh seorang pemuda. Kapal itu sangat menarik, dilengkapi dengan hiasan-hiasan di sekeliling tubuhnya. Beberapa kali pemuda itu terlihat menggoyang-goyangkan tubuh kapalnya, seolah-olah kapal itu sedang berlayar.

"Duhh, maaf buk. Maaf, aku tidak sengaja" tutur Hanum ketika tubuhnya telah menabrak seorang wanita paruh baya tepat di depannya.

Baca juga: Hati yang Mengalah

Ibu itu hanya melirik Hanum dengan sekejap, lalu melanjutkan langkah kakinya menuju tujuan. Hanum pun hanya membalas dengan menunjukkan deretan giginya yang putih sambil mengikuti langkah kaki ibu tersebut. Kali ini Hanum harus berhati-hati lagi, agar tidak menambrak ibu itu untuk kedua kalinya.

"Ini gara-gara kapal itu, hihihihi" tutur Hanum dengan dirinya sendiri sambil tertawa geli.

Langkah mereka pun berhenti, ketika pengantin pria yang mereka iringi tadi telah sampai di depan pelaminan yang berwarna kuning keemasan itu. Dari pelaminan tersebut, turunlah seorang wanita cantik lengkap dengan aksesoris di baju kuningnya berjalan anggun mendekati sang pria. Di belakangnya tampak beberapa orang ibu-ibu yang mengiringi langkah wanita tersebut.

"Allahumma Solli Ala Saiyyidina Muhammad,......."

Baca juga: Sendu

Suara shalawat itupun terdengar merdu, mengiringi langkah kaki kedua mempelai berjalan menuju ke pelaminan. Taburan beras kuning serta beberapa uang koin menjadi sanksi bisu bersatunya kebahagaian dua insan tersebut.

Baca juga: Untukmu Wahai Diri

Mata Hanum kembali liar, ada yang hilang dari pandangannya. Tepat saja, gadis itu sendang mencari kapal yang sedari tadi telah mencuri perhatiannya. Kakinya melangkah dengan pasti, mencari tempat yang nyaman untuk berdiri. Tak diperdulikannya, baju kebaya birunya habis menyapu debu sedari tadi.

Seorang lelaki paruh baya tampak sedang berpantun ria sambil bersyair dengan merdunya. Hanum kembali tersenyum melihat kapal yang dicarinya sedari tadi tepat berada di samping lelaki tua tadi. Kapal itu semakin kuat bergoyang, bagaikan di terpa gelombang yang tinggi. Syair-syair yang dilantunkan oleh lelaki tua itu semakin membuat suasana menjadi sangat sakral. Hanum seakan dibuat tambah penasaran dengan apa yang telah dilihatnya sejak awal kedatangan tadi.

Selang beberapa saat kemudian, sekelompok orang tadi sedang sibuk mengambil makanan yan telah disediakan. Begitu pula dengan Hanum, gadis itu masih berdiri lengkap sepiring nasi di tangannya. Tanpa instruksi apapun, Hanum langsung melangkahkan kakinya menuju sebuah meja kosong yang tak jauh dari pentas hiburan. Irama gambus musik melayu mulai terdengar jelas di telinganya. Seorang wanita dengan baju melayunya melantunkan kembang lagu zapin untuk menghibur para tamu undangan.

"Permisi, bolehkah saya duduk di sini?" seorang pemuda sudah berdiri tepat di samping Hanum.

"Ohh, tentu. Silahkan mas"

Hanum menggeser kursinya, mencari tempat yang lebih nyaman untuk makan sambil menyaksikan penampilan musik melayu tadi. Baru beberapa kali nasi masuk ke mulutnya dan membiarkan gigi bermain dengannya, tiba-tiba dia teringat akan sesuatu. Matanya langsung menatap pemuda yang sedang menikmati bakso di hadapannya itu.

"Maaf mas, mas bukannya yang membawa kapal tadi ya?"

Pemuda itu langsung menghentikan makannya dan menatap ke arah Hanum.

"Jangan panggil saya mas, nama saya Aska"

"Oh, iya mas. Eh, Aska maksdu saya" tutur Hanum tersenyum palsu.

"Iya, saya tadi membantu paman saya saja membawakannya. Paman saya yang membacakan surat kapal tadi"

"Surat kapal?" sepertinya Hanum benar-benar tertarik dengan kalimat itu. Lebih tepatnya, dengan apa yang telah dilihatnya beberapa menit yang lalu. Hanum pun memilih untuk menyudahi makannya serta lebih memfokuskan pendengaran dan matanya pada pemuda yang bernama Aska tadi.

"Kamu tidak tahu surat kapal?" tanya Aska selanjutnya

Hanum hanya menggelengkan kepalanya dengan kening sedikit mengerut.

"Hhhhh. Surat kapal itu adalah surat yang berisi pantun, syair dan cerita tentang kedua pengantin. Syair itu biasanya dibuat oleh para penyair ternama di Rengat. Sedangkan untuk cerita itu sendiri berasal dari cerita asli kedua pengantin sejak awal pertemuan hingga sampai pada mahligai rumah tangga. Dan biasanya cerita ini di dapat dari keluarga kedua belah pihak yang dimintai secara sembunyi-sembunyi. Dan di akhir pembacaan surat kapal, mengandung do'a dan harapan untuk kedua pengantin nantinya" jelas Aska

Hanum terdiam, mencoba membiarkan kalimat demi kalimat yang dijelaskan oleh Aska tadi dicerna oleh pikirannya. Matanya pun masih menatap lekat wajah manis pemuda melayu itu. Aska pun dibuat bingung melihat tingkah Hanum dan mendorong tangannya untuk melambaikan tangan tepat di depan wajah gadis itu. Hanum yang menyadari itupun langsung mengalihkan pandangannya dan tersenyum malu pada Azka.

"Terus, mengapa harus dengan kapal? Kendaraan lain juga banyak yang lebih bagus dan canggih dari kapal?' tanya Hanum lagi

Pria itu tidak lantas menjawab, tangannya dibiarkannya menggapai sebuah kue khas melayu yang berasal dari pulut dan gula merah tersebut. Melihat respon itu, Hanum hanya menunduk sambil meminum air yang sudah hampir habis di atas mejanya.

"Begini..." pria itu mencoba mendorong makanannya agar segera masuk ke kerongkongan.

"Mengapa harus dengan kapal? Itu karena kehidupan di dunia ini ibarat mengarngi lautan yang sangat luas dan dalam. Maka untuk berlayar supaya selamat menuju pantai harapan, yaitu kebahagiaan yang hakiki. Sangat perlu menyiapkan kapal yang besar dan kokh yang dinamakan Amal Sholeh atau Kebajikan"

Setelah mendengar penjelasan Aska selanjutnya, Hanum pun mengangguk paham. Karena  terjawab sudah semua pertanyaan-pertanyaan yang sedari tadi berkecamuk di pikirannya. Ya, semua berkat pria pembawa kapal yang sedang tersenyum manis padanya dari kejauhan itu. Hanum hanya membalas senyuman itu dengan rasa malu, setelah Aska  meminta kontak handphonenya beberapa menit yang lalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun