Mohon tunggu...
Revaputra Sugito
Revaputra Sugito Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

We Love Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Politik

Makin Terbongkar Pemufakatan Jahat Ahok-Podomoro, Akankah KPK Jadi Macan Ompong?

24 Mei 2016   17:13 Diperbarui: 24 Mei 2016   22:41 1297
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sekitar 2-3 bulan lalu Prof. Yusril sering sekali menyebut Ahok sebagai orang yang Sakti. Saya pikir tadinya sebagai Pakar Hukum Yusril menyindir soal Kasus Sumber Waras saja yang memang sudah sangat jelas pelanggaran Ahok terjadi disana tetapi KPK terlihat seperti Masuk Angin.

Tetapi dua minggu yang lalu saya dapat informasi baru tentang Dugaan Korupsi yang dilakukan Ahok sewaktu menjadi Bupati Belitung Timur yang hanya dijabatnya selama 16 bulan. Yusril juga berasal dari Belitung sehingga tentu paham sejarah Ahok. Sepertinya Yusril juga tahu bahwa Pembebasan Lahan untuk Dermaga Manggar di Belitung Timur itu bermasalah sementara Ahok yang menjadi bupati pada saat itu tidak tercolek sama sekali. Mungkin kasus itu dan kasus Sumber Waras lah yang akhirnya membuat Yusril mengatakan Ahok itu orang sakti. (untouchable).

Lain Yusril, lain juga dengan Ratna Sarumpaet. Ibu galak ini setahu saya sering ngawur dalam menuduh orang. Makanya ketika Ratna Sarumpaet menuduh Ahok dimana dikatakannya Polri dan TNI sudah “dibeli” oleh Ahok, saat itu juga saya tidak percaya. Aneh saja kalau sampai Polri dan TNI bisa dibeli oleh seorang Gubernur.

Tetapi ternyata yang dituduhkan Ratna Sarumpaet sepertinya ada alasannya. Bahwa kemudia ternyata muncul bukti-bukti yang sepertinya mengarah kesana. Kita bisa cermati dari berita yang menghebohkan yang dirilis Media Tempo dua minggu yang lalu.

Disebut-sebut, dari BAP Ariesman Wijaya ada catatan pembayaran Agung Podomoro kepada Ahok senilai Rp.219 Milyar (entah dalam bentuk uang atau barang). Pembayaran itu disebut sebagai Pembayaran Dana Kontribusi Tambahan Proyek Reklamasi dimana dari perhitungan 15% dari Total Nilai Komersial Pulau G yang dibangun Agung Podomoro, mereka harus menyetor Rp.392 Milyar. (masih kurang Rp.173 Milyar).

Dalam pemberitaan Tempo juga disebut-sebut perincian dari Rp.219 Milyar itu antara lain Rp.92 Milyar untuk membangun Rusun Daan Mogot , ada Rp. 6 Milyar untuk mobilisasi Personil Polri dalam Penertiban Kalijodo dan pengadaan sarana-sarana penanganan banjir di Jakarta Utara.

Ahok sempat mengamuk hebat ketika berita dari Tempo itu menyebar kemana-mana. Ahok bilang dia difitnah Tempo dan Agung Podomoro. Ahok berbicara lantang ingin menggugat keduanya.

Faktanya kemudian Ahok tidak jadi menggugat. Netizen pun mengolok-olok Ahok dan mengatakan Ahok memang selalu terbukti hanya berani koar-koar di media saja tanpa berani membuktikan ucapannya.

Belakangan Ahok malah mengakui sendiri kalau Pemprov DKI sudah menerima kompensasi dari Agung podomoro senilai Rp.200 Milyar lebih dari pembayaran Dana Kontribusi Tambahan Proyek Reklamasi. Ahok juga bilang Podomoro masih kurang bayar sekitar Rp.100 Milyar lebih. Pernyataan ini akhirnya dinilai public bahwa berita di tempo itu benar sehingga Ahok tidak berani menggugat Tempo.

Mengenai Uang Rp.6 Milyar yang disebut-sebut sebagai Dana Mobiisasi 5.000 Personil Polri dalam penggusuran Kalijodo, Ahok sampai 3 kali membantahnya. Tapi antara bantahan yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda substansinya. Publik pun menilai jangan-jangan itu benar bahwa Ahok “membiayai” Mobilisasi 5.000 Personil Polri untuk menggusur Kalijodo dimana uang tersebut berasal dari Agung Podomoro.

Fakta lain yang sudah terungkap, ternyata Ahok menggunakan Ratusan Milyar rupiah dana Kontribusi Tambahan dari Agung Podomoro untuk membangun Kantor Polair di kawasan Waduk Pluit, berikut menghibahkan Kapal Patroli Type C3. Ahok juga sudah membangunkan Unit Pos Polsek Cilincing dan Unit Polsek Muara Baru. Dan terakhir Ahok membangunkan Gedung Parkir Polda Metro Jaya senilai Rp. 80 Milyar. Mungkin hal-hal inilah yang akhirnya menjadi alas an dari Ratna Sarumpaet untuk menyebut bahwa Ahok sudah “membeli” Polri dan TNI.

** Undang-undang dan Perda Tentang Kewajiban Pengembang Yang Berlaku di DKI Jakarta **

Karena ini menyangkut Dana Kontribusi Tambahan yang sangat kontroversial itu (belum ada payung Hukumnya) dimana ada daftar kewajiban Pengembang untuk membangun Rusun, maka kita harus tahu sedikit dasar hukum yang mengatur kewajiban Pengembang membangun Rusun untuk Pemprov DKI.

Bahwa sesuai dengan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 1 Tahun 1981, untuk setiap pengembang properti diwajibkan untuk membangun fasos-fasum sebesar 40 persen dari luas lahan yang dibangun. Dan untuk Pemprov DKI, Peraturan dari Kemendagri itu diadopsi dan diturunkan dalam Peraturan Gubernur yaitu Surat Keputusan Gubernur DKI Nomor 540 Tahun 1990, pada Klausul Poin ke 6, diatur bahwa untuk setiap penguasaan lahan di atas 5.000 meter persegi dikenakan kewajiban 20 persen dari total lahannya untuk dipakai membangun rumah susun.

Pergub itu ditanda-tangani oleh Gubernur Wiyogo Admodarminto pada tanggal 31 Maret tahun 1990.

** Banyak Pengembang Masih Berhutang Untuk membangun Rusun pada Pemprov DKI Sejak zaman Gubernur Sebelum Jokowi **

Saat Jokowi terpilih menjadi Gubernur DKI (Oktober 2012), Jokowi yang mempunyai Program untuk merevitalisasi Sungai Ciliwung dan membangun Kampung Deret sudah menyebut Dana yang akan dipakai untuk Kampung Deret (Rusun) berasal dari para Pengembang Swasta atas kewajibannya sesuai Pergub No.540 tahun 1990 tersebut. Jokowipun sejak awal tahun 2013 Jokowi sudah menginventarisir masalah ini.

Pada tanggal 17 Mei 2013 melalui berbagai Media, Jokowi menyampaikan bahwa sebenarnya banyak Pengembang yang tercatat masih memiliki Hutang untuk membangun Rusun-rusun di DKI. Menurut Jokowi seharusnya dari sekian banyak Pengembang sudah membangun 680 Unit rumah susun.

"Ini harus segera dibangun karena rakyat, masyarakat, warga membutuhkan. Ini uang yang tidak sedikit, ini mungkin kalau kita itung-itung bisa sampai Rp 13 triliun," jelas Jokowi.

Dua pengembang raksasa yang ingin dikejar (ditagih hutangnya) adalah Agung Podomoro dan Agung Sedayu. Podomoro adalah Developer terbesar di Indonesia dengan sekian banyak anak perusahaan property. Podomoro sudah dikenal masyarakat karena sudah membangun banyak kawasan elit seperti Simprug Senayan, Sunter Podomoro, Kelapa Gading dan lain-lainnya. Salah satu kewajiban Agung Podomoro dan Agung Sedayu adalah membangun Rusun Daan Mogot. Mohon dicatat bahwa sejak tahun 2013, Agung Sedayu dan Agung Podomoro sudah ditagih oleh Jokowi untuk membangun Rusun Daan Mogot.

Pada tanggal 20 Mei 2013, Ahok sebagai Wakil Gubernur DKI hadir di Semanan Daan Mogot untuk meresmikan Ground Breaking (peletakan batu pertama) pembangunan Rusun Daan Mogot oleh Agung Podomoro dan Agung Sedayu. Mereka harus membangun Rusun ini karena kewajiban 20% dari Pembangunan Komplek Pantai Indah Kapuk dan lainnya. Dalam kesempatan itu Ahok juga menyatakan akan menagih Pengembang Bakrie Swasakti Utama (Bakrie Grup) yang mengelola Gedung Epicentrum, Kuningan Jaksel.

“Untuk pengembang besarnya, kami masih terus mengincar Epicentrum. Kalau mereka memang sudah membayar tanggungannya, buktinya mana? Kami punya buktinya,” kata Basuki di Rusunawa Daan Mogot, Jakarta Barat, Kamis (20/6/2013).

**Jurus Ngeles Ahok, Rp.219 Milyar, Perjanjian Preman dan Pengalihan Isu Diskresi **

Sekarang kita bahas soal Ahok dan Reklamasi. Bahwa sudah lama Ahok dikenal dengan Jurus Ngelesnya. Puluhan pertikaian Ahok dengan berbagai pihak (sepertinya) selalu dimenangkan Ahok dengan Jurus tersebut. Terakhir yang bisa dicatat adalah ketika Ahok sampai diperiksa 12 Jam oleh KPK untuk Kasus Sumber Waras, Ahok mengatakan BPK Ngaco. Setelah itu Ahok menyerang Ketua BPK Harry Azhar dengan isu Panama Papers.

Untuk Kasus Reklamasi ini akhirnya Ahok memakai banyak Jurus Ngeles (Berbohong) supaya tidak ketahuan terlibat. Semakin terlihat bahwa Ahok selalu berusaha menghindar dari fakta bahwa telah terjadi Pemufakatan Jahat antara dirinya dengan Agung Podomoro. Mari kita lihat fakta kebohongan Ahok :

1.Ketika Ariesman Widjaja dan M.Sanusi ditangkap KPK lewat OTT, Ahok langsung mengatakan Pemprov DKI tidak ada kerjasama dengan Agung Podomoro untuk Proyek Reklamasi. Ahok mencoba membohongi public tentang itu karena public tahu persis kedekatan Ahok dengan Ariesman Widjaja (Podomoro).

2.Ketika Sunny Tanuwijaya dicekal KPK, Ahok mengatakan Sunny adalah Mahasiswa Magang dimana akhirnya terbukti bahwa Sunny adalah Konsultan Politik Ahok yang berkantor di Balai Kota. Sunny juga merupakan penghubung Ahok dengan para Konglomerat.

3.Ketika Tempo merilis berita yang disebut-sebut bersumber dari BAP Ariesman Widjaja dimana Agung Podomoro sudah membayar Rp.219 Milyar pada Ahok/Pemprov DKI termasuk Rp.6 Milyar untuk Mobilisasi Personil Polri di Kalijodo, Ahok langsung mengamuk dan menyatakan Tempo dan Podomoro memfitnah.

Faktanya kemudian, untuk yang soal Rp.6 Milyar, Ahok berusaha membantah sebanyak 3 kali dengan substansi alasan yang berubah-ubah terus. Nyata-nyata Ahok memang tidak mampu membuktikan bahwa Rp.6 Milyar itu hanya isu. Begitu juga dengan jumlah Rp.219 Milyar itu yang disebut Ahok sebagai Fitnah, ternyata Ahok tidak berani menggugat.

Belakangan Ahok malah membenarkan bahwa Agung Podomoro sudah merealisasikan Rp. 200 Milyar lebih dan masih kurang Rp.100 Milyar lebih. Hanya itu yang dikatakan Ahok tanpa merinci Rp.219 Milyar sudah digunakan untuk apa saja.

Pada saat Ahok mengakui sudah menerima Rp.200 Milyar, Ahok langsung memperlihatkan Perjanjian Preman antara dirinya dengan 4 Pengembang yang sebenarnya semuanya adalah Grup Agung Podomoro. Inilah Kebohongan Besar berikutnya dimulai.

Bahwa Ahok berusaha membenarkan dirinya sendiri (Jurus Ngeles) dengan dalih Perjanjian Preman Ahok merasa benar untuk menagih Dana Kontribusi Tambahan sebesar 15% dari Agung Podomoro. Ini jelas kesalahan yang besar sekali. Alasannya :

1.Bila benar isi perjanjian itu berbicara Kontribusi Tambahan 15% maka Perjanjian itu tidak sah bila digunakan oleh seorang Gubernur. Perjanjian itu dianggap perjanjian bawah tangan, tidak kuat secara hukum bila salah satunya mengingkarinya.

2.Faktanya soal Perjanjian Preman itu juga tidak jelas (tidak dibuka sepenuhnya ke public tentang isinya). Kalaupun benar ada Klausul 15% tersebut maka Dasar Hukumnya apa? Fakta berbicara bahwa pada Pergub No.2238 tahun 2014 yang dikeluarkan Ahok per 23 Desember 2014 yang memberi Izin Pelaksanaan pada PT. Muara Wisesa (Agung Podomoro) tidak tercantum angka 15%. Hanya ada Klausul yang menyebutkan Dana Kontribusi Tambahan akan ditentukan besarannya melalui Pergub berikutnya.

Dari poin-poin itu sangat jelas Ahok tidak punya landasan hukum apapun untuk menarik kontribusi tambahan dari Agung Podomoro. Tidak ada pergub, tidak ada Perda. Yang ada hanya Perjanjian Preman yang tidak jelas isinya seperti apa dan tidak mempunyai kekuatan hukum.

Pada saat isu itu merebak (Kompensasi Pembayaran oleh Agung Podomoro) , KPK sudah menyatakan sedang mencari Payung Hukumnya. Sayangnya oleh para pembela Ahok masalah Tarikan Kontribusi Tambahan itu dibelokkan menjadi Isu Diskresi. Public diajak berdebat soal Diskresi dimana sebenarnya Akar masalahnya : Sudah terjadi Penarikan Dana hingga Rp. 200 Milyar lebih tanpa payung hukum.

Dibela oleh para Pendukungnya, Ahok ikut-ikutan berkoar-koar tentang Diskresi. Ahok merasa benar bahwa penarikan Kontribusi Tambahan bisa dikategorikan Diskresi. Pernyataan Ahok ini langsung dibantah Ketua KPK Agus Raharjo. Menurut Agus, Diskresi itu memiliki rambu-rambu.

“Seyogyanya semua tindakan kalau tidak ada dasar hukumnya, tidak ada dasar peraturannya, itu bisa dibuat. Kalau di tingkat pusat tidak ada peraturannya, kita bisa buat perda, buat pergub, jangan kemudian kita kalau sebagai birokrat bertindak sesuatu tanpa ada acuan perundang-undangnya itu kan Tidak Boleh”, kata Agus Raharjo di gedung KPK (Jumat 20/5/2016).

**Benarkah Ahok Menyuap Polri Untuk Melindungi Dirinya dari KPK?**

Bahwa pada beberapa artikel sebelumnya saya sudah menyoroti kinerja KPK. Saya menduga KPK jilid 4 ini sejak awal sudah dikendalikan Polri, PDIP dan Lembaga Peradilan. 3 Komisioner KPK yaitu Basaria Panjaitan, Saut Sitomorang dan Alexander Marwata terbukti tidak memiliki track record Pegiat Anti Korupsi. Ketiga Komisioner ini dalam Kasus Sumber Waras juga masing-masing pernah memberi pernyataan yang kontroversial (Pro Ahok). (sudah saya bahas diartikel-artikel sebelumnya).

Dari fakta-fakta diatas, mungkin bisa kita ambil poinnya sebagai berikut :

1.Bahwa berita tentang dari Tempo tentang Agung Podomoro sudah membayar Rp.219 milyar kepada Ahok/Pemprov DKI memang tidak terbantahkan. Ahok sudah mengakuinya.

2.Bahwa Penarikan Kontribusi Tambahan 15% sama sekali tidak sah secara Hukum. KPK sudah menyatakannya demikian.

3.Bahwa Rusun Daan Mogot yang disebut oleh Agung Podomoro sebagai bagian Kontribusi Tambahan Proyek Reklamasi (bernilai Rp. 92 Milyar) itu tidak benar. Karena sebenarnya Rusun Daan Mogot itu merupakan kewajiban Agung Sedayu dan Agung Podomoro untuk urusan yang lain yaitu kewajiban 20% dari Pembangunan Kawasan Pantai Kapuk Indah dan kawasan lainnya.

4.Bahwa dari poin 3 tersebut, Ahok sudah menerima realisasi pembayaran Rp.219 Milyar tetapi Ahok tidak bisa menjelaskan rincian penggunaannya. Fakta lain sudah terungkap bahwa : Ahok ternyata sudah membangunkan beberapa Kantor untuk Polda Metro Jaya. Ada Kantor Polair di kawasan Waduk Pluit beserta beberapa Kapal Patroli, ada pembangunan Pos Polsek Cilincing dan Polsek Muara Baru dan ada Pembangunan Gedung Parkir Polda Metro Jaya senilai Rp.80 Milyar. Bila ditotal mungkin dapat diperkirakan nilainya diatas Rp. 100 Milyar lebih.

Kalau benar dana Kontribusi Tambahan 15% itu sudah ditarik Ahok dan digunakan separuhnya untuk “menyuap” Polri maka masalah ini menjadi semakin rumit.

Pergub No.2238 yang dikeluarkan Ahok pada tahun 2014 sudah menyebut Dana Kontribusi Tambahan meskipun besarannya belum ditentukan, tetapi disebut akan digunakan untuk hal-hal yang berkaitan dengan Sarana Prasarana wilayah Jakarta utara akibat dampak Reklamasi. Dana itu juga akan digunakan untuk penanganan Banjir di kawasan Jakarta utara seperti pembangunan Rumah Pompa, Revittalisasi Kali-kali Ciliwurng, Relokasi warga dan lain-lainnya. Mengapa Ahok menggunakannya untuk membangun fasilitas Polda Metro Jaya? Apa tujuan Ahok sebenarnya?

Akhirnya semuanya kembali ke KPK. Kalau dalam Kasus Sumber Waras meskipun fakta-fakta sudah sangat terang benderang tetapi KPK masih sibuk mencari dimana keberadaan “Si Niat Jahat”, maka untuk Skandal Reklamasi ini sudah jelas public sudah paham bahwa KPK sudah tahu tentang adanya penerimaan uang sejumlah Rp. 219 Milyar tanpa dasar Hukum, Apakah KPK sanggup memberi hadiah Rompi Orange ke Ahok?

Ataukah KPK memang akan menyerah kepada Ahok yang Sakti ini?

Kabar terakhir disebut-sebut bahwa kalau sampai akhir Mei ini , KPK tidak bisa juga menyentuh Ahok, maka Ratna Sarumpaet dan kawan-kawan , berikut Ahmad Dani akan menggeruduk KPK.

Jelas yang dilakukan Ratna Sarumpaet dan kawan-kawan ini tidak benar. Tetapi di sisi lain, KPK jilid 4 ini memang terlihat sudah Masuk Angin dan harus diobati segera.

Mari kita tunggu saja apa yang akan terjadi di babak selanjutnya.

Sekian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun