Beginilah jadinya kalau Media Jurnalisme Warga sudah dikotori kepentingan politik praktis. Kompasiana sudah tidak berhak mengklaim situs ini sebagai Jurnalisme Warga karena yang terjadi dalam 3 bulan ini Kompasiana lebih menjadi corong politik Ahok ketimbang menjadi Jurnalisme Warga.
Sebenarnya saya sendiri bukan Kompasmania aktif (tidak terus menerus aktif sampai berbulan-bulan) sehingga saya tidak punya kepentingan apa-apa di Kompasiana. Meskipun begitu, sungguh kasihan melihat Kompasiana belakangan ini. Semakin tidak sehat dan semakin menurun kualitasnya.
Ada informasi bahwa Rangking Kompasiana di Alexa sedang jatuh. Saya percaya hal itu benar. Contoh, kemarin ada Artikel yang dibuat Admin Kompasiana tentang Setya Novanto memimpin Golkar. Artikel itu dilabel Pilihan dan HL. Dengan label tersebut maka dipastikan artikel itu sudah di share berkali-kali ke Twitter dan Facebook. Faktanya setelah lebih 24 Jam tayang, hit pembaca hanya mencapai 1.300 saja. Itulah kualitas sebuah artikel HL yang dibuat Admin Kompasiana.
Dalam seminggu terakhir saya perhatikan artikel-artikel yang bisa mencetak hit hingga 2.000 atau lebih adalah artikel yang judulnya memuat nama Ahok dan Jokowi saja. Diluar itu 90% mencapai hit terbanyak 500 hit.
Artikel Ahok atau Jokowi pun yang bisa mencapai 2.000 hit atau lebih hanyalah artikel yang dilabel Pilihan dan dishare berkali-kali ke Twitter dan Facebook. Sementara artikel dengan judul ada Ahoknya atau ada Jokowinya bila tidak dilabel Pilihan dan tidak share hanya maksimal mendapat 700 Hit.
Dari semua itu bisa disimpulkan Pengunjung Kompasiana yang datang tanpa melewati undangan sebuah Share rata-rata hanya 1.000 orang atau dibawahnya. Ini jauh menurun dari 2 bulan yang lalu dimana saya pastikan rata-rata pengunjung Kompasiana sekitar 4.000 orang per harinya.
Bukan urusan saya sebenarnya kompasiana mau hancur atau tidak. Saya hanya menyayangkan kalau situs sebesar ini menjadi berantakan gara-gara ikut berpolitik. Saya lama aktif di Kaskus tetapi menurut saya Kompasiana lebih baik (tadinya) kondisinya. Ada TC yang dipegang erat-erat sementara Kaskus sulit mengontrol komentar-komentar membully yang masuk pada Treat-treat yang ada.
Faktanya sekarang Kompasiana menjadi Ahoksiana yang malah lebih buruk dari kaskus. Beda dengan Kaskus dimana Adminnya tidak berpolitik, jajaran Admin Kompasiana adalah Ahoker juga sehingga Admin tidak bisa menjaga kondisi kompasiana seperti yang tercantum dalam Term of Contidion.
Saya sendiri sering dibully oleh para Ahoker. Di Kolom komentar-komentar dari artikel yang saya buat, sering sekali ada kata-kata kasar seperti Dungu, Bodoh, Mewek, Kompasianer Bayaran, dan lain-lainnya. Tidak masalah buat saya pribadi dengan kondisi seperti itu karena saya bisa langsung menghapus komentar-komentar yang seperti itu.
Saya juga sering dijadikan bahan bullyan dimana dalam catatan saya ada sekitar 7 kompasmania Ahoker yang menulis artikel tentang saya (profile saya). Bukan artikel saya yang disanggah tetapi profile saya yang dipermasalahkan oleh mereka. Ada 2 orang malah yang sampai menulis 3-4 artikel tentang saya. Ada lagi dengan membuat meme-meme yang mengejek saya.
Tapi ya sama dengan diatas (soal komentar-komentar yang kasar), buat saya pribadi para Ahoker mau membully saya , mau bikin artikel jelek-jelek tentang saya itu tidak masalah sama sekali dan tidak mengganggu. Makanya saya tidak pernah complain soal-soal itu ke Admin.
Yang sering saya complain ke Admin adalah tentang betapa seringnya artikel-artikel saya dijegal di Kolom Terpopuler, Trend di Google dan Nilai Tertinggi.
Kembali lagi ke soal saya dibully lewat artikel-artikel para Ahoker, sekali lagi saya katakan saya tidak pusing dengan masalah itu. Tapi sebaliknya masalah itu sebenarnya adalah masalah serius untuk Admin. Hal itu melanggar TC yang menjadi acuan Admin sendiri. Admin membiarkan sebagian kompasmania memprovokasi kompasmania lain. Ini merusak Kompasiana secara keseluruhan.
Hal lain lagi Admin membiarkan para Ahoker mengerahkan pasukan tuyulnya dan melakukan sundul menyundul sehingga artikel-artikel mereka yang selalu berada di kolom Nilai Tertinggi. Untung saja saya bukan para Ahoker. Dimana harga diri saya kalau saya harus melakukan sundul menyundul, apalagi harus mengerahkan pasukan tuyul?
Lihatlah sebulan terakhir di kolom Nilai Tertinggi. Setahu saya dulu (2-3 bulan lalu) artikel-artikel yang berjejer di kolom itu lebih banyak Puisi-puisi berkualitas, tetapi sekarang isinya mayoritas artikel-artikel Ahoker yang asal-asalan dengan sundul menyundul hingga ratusan kali. Pengunjung yang datang ke Kompasiana melihat itu juga akhirnya malas datang lagi.
Kalau ada artikel Humor yang dua-tiga hari sekali salah satunya masuk di kolom Nilai Tertinggi dan disundul banyak kompasmania tentu tidak masalah. Semua orang butuh hiburan dan para kompasmania butuh saling bercanda diantara mereka. Tapi yang parah ini artikel-artikel para Ahoker yang selalu memaksa sekali untuk bisa mendominasi Nilai Tertinggi.
Setiap hari mereka melakukan itu agar artikel-artikel yang mengkritik Ahok diredam supaya tidak melejit hitnya. Saya paham bahwa mereka memang culun-culun dan mayoritas dari mereka tidak memiliki kemampuan menulis yang bisa menyaingi para penulis anti Ahok yang memakai fakta dan data. Tetapi sebenarnya kelakuan mereka itu secara sadar dan benar-benar sadar telah merusak Kompasiana ini. Parahnya lagi oleh Admin hal-hal itu dibiarkan itu terjadi.
** Menyebut Onta itu Melecehkan dan Cenderung SARA ***
Seminggu terakhir ini di lapak komentar artikel-artikel saya mulai ada para Ahoker yang memaki saya ataupun para Kompasmania anti Ahok dengan menyebut kami ini sebagai Onta ataupun Kawanan Onta. Ini sungguh keterlaluan dan ini cenderung SARA.
Kalau hanya para Ahoker menyebut saya Dungu karena membuat artikel yang mengkritisi Ahok. Saya tidak tersinggung dan merasa geli saja. Paling saya hapus saja. Bagaimana tidak geli, saya mampu membuat artikel dengan baik sementara mereka tidak mampu membuat artikel dan hanya mampu berkomentar Dunga-dungu. Anak SD pun bisa kalau hanya melakukan hal yang seperti itu.
Jadi soal Dungu, masih mending. Tetapi soal menyebut Onta pada Kompasmania lain ini sungguh berlebihan. Ini Pelecehan dan ini cenderung SARA.
Jangankan Onta, menyebut orang lain sebagai binatang itu sangat tidak sopan. Apakah sopan kita menggunakan kata Monyet, Anjing, Babi dan lainnya? Jangan mentang-mentang Ahok sering mengatakan Bajingan, Bego, Nenek Lu dan lainnya membuat para Ahoker merasa Halal untuk menyebut orang lain sebagai Onta !
Menyebut orang sebagai Onta itu lebih buruk daripada menyebut orang sebagai Anjing. Memaki orang dengan Onta itu sama saja dengan melecehkan orang Arab.
Dasar Onta Lu! Itu artinya : Dasar Binatang Arab lu. Kenapa begitu, karena Onta hanya berada di Arab.
Kalau kita memaki orang Dasar Arab Lu, atau Dasar Cina lu. Itu masih mendingan. Paling kita balas, Dasar Batak Lu, Dasar Jawa Lu dan sebagainya.
Tetapi kata “Onta” yang dialamatkan kepada orang lain itu cenderung merendahkan orang Arab. Bahkan bisa saja kalangan Islam merasa tersinggung. Onta itu Binatang yang disayang Nabi Muhammad. Onta sangat berjasa pada penyebaran Agama Islam. Onta itu binatang yang sangat bermanfaat dan menjadi andalan dalam melintas padang pasir. Bahkan kalau kita kehausan di padang tandus, kita bisa mengambil air yang tersimpan di kantung leher Onta.
Jadi sekali lagi memaki orang lain sebagai Onta itu sangat tidak etis. Ada unsur SARA didalamnya , baik melecehkan orang Arab maupun bisa saja akan ada umat Islam yang tersinggung. Yang seperti ini apakah tidak mampu dipikirkan oleh Admin Kompasiana? Sangat Miris.
Lebih parah lagi, kemarin ada Kompasmania yang membuat artikel dengan gambar Onta sedang bersetubuh. Ini Admin matanya buta apa tidak ya? Gambar begini kok diizinkan dipublish di Kompasiana?
Isi artikelnya ya begitulah. Membully. Sepertinya para Ahoker yang beringas-beringas itu termasuk perempuan bawel itu rupanya ingin membully kawan saya yang berada di Arab. Saya tidak tahu persis kompasmania yang berada di Arab itu ada berapa. Setahu saya hanya ada pak Sayeed Kalba.
Kemungkinan besar para Ahoker yang berangasan ini ingin membully pak Sayeed. Kata “Onta” itu ditujukan kepada pak Sayeed. Ini jelas-jelas tidak benar sama sekali. Yang pertama TC Kompasiana tidak memperbolehkan saling Bully. Dan yang kedua kata “Onta” itu tidak saja mengenai Sayeed Kalba tetapi juga mengenai orang lain, baik Kompasmania lain yang ada di Arab, orang-orang Arab dan mungkin sebagian kalangan Islam.
Kalau memang yang menulis artikel-artikel tentang Onta itu adalah Non Muslim, sebaiknya mereka sadar segera bahwa yang demikian adalah menjurus ke SARA. jangan hanya gara-gara memperjuangkan Ahok sehingga harus memancing permusuhan yang mengandung SARA. Bertobatlah.Sadarlah.
Admin sebaiknya bertindak. (meskipun dalam hati saya tidak yakin himbauan ini mempan).
Sekian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H