Mohon tunggu...
Revaputra Sugito
Revaputra Sugito Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

We Love Trisakti

Selanjutnya

Tutup

Politik

Sesat Pikir Daniel HT yang Begitu Mudah Menyalahkan Karni Ilyas

13 Maret 2016   15:58 Diperbarui: 13 Maret 2016   16:19 2985
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sudah sebulan ini saya memperhatikan para pendukung Ahok semakin menjadi-jadi “gila”nya dalam menyikapi  kritikan-kritikan yang ditujukan kepada Ahok.  Sepertinya  di mata pendukung Ahok itu Ahok sudah menjelma bak  Dewa yang tidak mungkin berbuat salah sama sekali.

Tetapi  kalau dibilang seperti itu, mereka marah sekali dan menyerang balik.  Ketika saya  membuat beberapa Artikel yang mengkritisi Ahok, Saya sering diejek sebagai pendukung Ridwan Kamil yang sakit hati pada Ahok.  Ada lagi yang menuduh saya anak buahnya Lulung. Yang lebih parah lagi ada yang menuduh saya orang-orangnya Daeng Azis yang sakit hati karena Kalijodo diobrak-abrik Ahok.  

Betapa repotnya Demokrasi yang seperti ini.  Pemimpin mereka  tidak boleh dikritik, tetapi sebaliknya mereka menyerang siapa saja yang berusaha mengkritisi “Dewa” mereka.  Buat mereka membully siapa saja yang mengkritik Ahok adalah hal yang Sah dan Halal. Benar-benar Demokrasi yang aneh.

Ahok adalah Pemimpin yang Kasar. Ini adalah Fakta. Mau didebat bagaimanapun juga tidak akan bisa. Tidak usah membela diri, bahwa  Ahok kasarnya hanya pada tikus-tikus koruptor. Faktanya kekasaran Ahok itu berlaku umum. Contoh : kepada Guru-guru Honorer yang bertahun-tahun menuntut hak nya juga dikasari oleh Ahok. Bahkan Ahok sempat menuduh mereka hendak menyebarkan kebohongan.

Begitulah Ahok yang selalu curiga dengan siapapun. Ahok menyebut DPRD DKI sebagai Sarang Siluman. (ada dana-dana siluman yang timbul di DPRD).  Faktanya kemudian yang menyulap dana-dana Siluman itu lebih banyak yang merupakan anak buahnya.  Lebih Siluman Birokrat DKI dibanding Silumannya DPRD DKI.  Itu fakta dan Ahok memang asal nuduh.

Jangankan DPRD DKI, Jokowi sendiripun dituduh Ahok sebagai orang yang menanda-tangani  usulan Proyek-proyek Siluman. Faktanya kemudian terbongkar, dirinya sendirilah (Ahok lah) yang menanda-tangani  APBD Perubahan.  Kalau sudah seperti ini bagaimana?  Seorang pemimpin yang gampang sekali curiga dan menuduh?  Masih bisakah  disejajarkan sebagai Dewa?

Dan terakhir adalah soal Sabotase yang dilakukan oleh Bungkus Kabel. Begitu mudahnya Ahok mengeluarkan statement bahwa Ada orang yang menyabotase  untuk membuat Jakarta Banjir sehingga nama Ahok  menjadi jelek.  Ini apa-apaan?   Pemimpin kok gampang sekali curiga dengan semua orang?  Faktanya kemudian, setelah sebulan mengerahkan ratusan polisi, pasukan katak TNI  hingga pasukan Lele Ahok tidak ditemukan bukti bahwa telah terjadi Sabotase.  Yang ada hanyalah pencurian kabel listrik dan tidak ada hubungannya dengan kegiatan sabotase darimanapun.

Sampai disitu, Ahok pura-pura tidak mendengar hasil kesimpulan Polisi. Ahok sibuk dengan berbicara hal lain.  Dosa dia yang menuduh orang melakukan sabotase dia lupakan begitu saja. Tidak ada tanggung jawab moralnya untuk mengakui bahwa dia salah melemparkan tuduhan.  Yang seperti ini tidak mungkin terlihat oleh para pendukung Ahok.  Mata mereka sudah tertup. Dewa  tidak akan pernah bisa salah.Begitulah pikiran mereka.

Penulis Senior Kompasiana Menjadi Tim Pembully Musuh-musuah Ahok.

Kemarin saya berkomentar keras di lapak artikel Kompasianer Senior Tjiptadinata Efendi.  Tjipta ini mirip pengamat politik Tjipta Lesmana yang suka ngawur dalam berpendapat.  Tjipta Efendi membuat artikel yang membodohi pembacanya dengan memblow-up Relokasi PKL Tanah Abang adalah Keberhasilan yang nyata dari seorang Ahok. Tjipta memperkuat asumsinya dengan foto-foto kondisi Tanah Abang terakhirnyang bersih dan rapih.  Dia berbicara lewat gambar dan analisa dangkalnya.

Kalau mau membuat reportase yang benar seharusnya melampiri ulasannya dengan testimony  warga Tanah Abang dong.  Kalau hanya pendapat sendiri itu sama saja pendapat asal-asalan.  Menjadi  jurnalis warga itu harus punya nurani. Harus tidak boleh berpihak.  Beritakan apa adanya.  Gali nara-sumber sebanyak mungkin barulah membuat suatu kesimpulan.

Keberhasilan Pemprov DKI  merelokasi adalah buah karya Jokowi yang diselesaikan oleh Ahok.  Jokowi yang punya program tersebut.  Jokowi sudah berkali-kali melakukan relokasi PKL di Solo dan Tenabang adalah target besar berikutnya.  Sayangnya Jokowi sudah menjadi Presiden dan diteruskan oleh Ahok sebagai Gubernur Pengganti.  Fakta yang sesederhana itu kemudian diplintir oleh Tjipta Efendi. Terlalu.

Dan satu lagi penulis senior Kompasiana sudah benar-benar menjadi Tim Pembully sekaligus Tim Kampanye Ahok, yaitu Daniel HT.  Daniel HT sudah membuat banyak tulisan yang menyerang  Haji Lulung, JJ Rizal, Ratna Sarumpaet dan terakhir  Karni Ilyas.

Yang parah adalah tulisannya tentang Haji Lulung yang dengan kasar menyimpulkan nasib Haji Lulung akan berakhir di RS Sumber Waras.  Ini tulisan apa sebenarnya?  Seperti inikah tulisan kompasianer-kompasianer terbaik (katanya)?  Dan tulisan membully seperti ini malah diberi label Pilihan oleh Admin Kompasiana. Fakta itu membuat jelas bahwa Kompasiana juga sudah menjadi bagian tim sukses Ahok.

Hebatnya Plintiran Daniel HT Terhadap Karni Ilyas.

Harus diakui bahwa artikel Daniel HT yang menyalahkan Karni Ilyas dibuat dengan halus tetapi plintirannya luar biasa.  Gaya Daniel HT ini mengingatkan saya pada sosok Jonru di PKS. Ahli plintir dengan cara yang sangat halus.

Daniel berpura-pura yakin bahwa Karni Ilyas memang tidak memihak.  Daniel hanya menyalahkan judul yang dipakai Karni Ilyas pada diskusi tersebut.  Padahal dalam artikelnya Daniel sudah jelas-jelas memprovokasi pendukung Ahok untuk membully  Karni Ilyas.

Kalau memang sebuah Judul menjadi masalah, sangat banyak dan mencapai ribuan judul-judul artikel yang terkesan provokatif , begitu juga judul-judul berita di berbagai media yang terkesan kontradiksi.  Apakah judul-judul itu bisa disalahkan?  Heran saja dengan kompasianer yang katanya hebat tetapi menyimpulkan suatu acara dari Judulnya saja.  Apa perlu diberi tahu bahwa sebuah tayangan, sebuah artikel itu yang harus dinilai adalah contentnya  (isinya) dan bukan sekali-kali judulnya?  Janganlah kita menyesatkan teman-teman kita sendiri dengan membuat provokasi maupun plintiran sedemikian rupa.

Dalam artikelnya Daniel HT menggambarkan bahwa Acara Diskusi ILC itu menjadi Panggung Penghakiman untuk Ahok.  Pendapat Daniel ini hampir identic dengan pendapat  mantan Preman Insyaf, Anton medan.  Mungkin mereka satu almamater atau satu organisasi.

Saya tadinya tidak berani berkomentar di artikel Daniel HT beberapa hari lalu. Masalahnya saya tidak nonton acaranya dan tidak tahu persis gambarannya.  Tetapi semalam ada siaran ulangnya sehingga saya bisa mencermatinya sedetail mungkin.

Acara ILC itu sebenarnya Acara Talkshow yang paling banyak rating pemirsanya selama 10 tahun terakhir. Jutaan orang sudah menonton  ratusan  episode diskusi ILC.  Belum pernah sekalipun dalam 10 tahun ini yang namanya Karni Ilyas dibully oleh ratusan  orang. Baru kali ini terjadi, dan yang melakukannya adalah pendukung Ahok.

Acara ILC yang tadinya bernama JLC (Jakarta Lawyer club)  selalu dipandu oleh Karni Ilyas dengan sangat baik sekali sehingga bertahun-tahun menjadi acara Talkshow terbaik. Karni Ilyas adalah Wartawan senior yang sudah puluhan tahun malang melintang di berbagai media.  Tidak ada satu orangpun yang bisa menyangsikan profesionalitas dirinya.

Acara ILC selalu mengupas masalah-masalah  Hukum, masalah-masalah social dan masalah politik.  Dan yang selalu dilakukan oleh karena Karni Ilyas, karena acara ini selalu berbentuk diskusi maka yang diundang adalah Dua pihak yang berbeda sisi pandangannya. Meskipun sering terjadi diskusi panas antara dua pihak tetapi  yang seperti ini sudah berlangsung bertahun-tahun dan diterima sangat baik sekali oleh jutaan pemirsanya.

Tetapi kemudian  terjadilah  fenomena aneh.Tiba-tiba  sebuah acara ILC kemarin  dianggap oleh para  pendukung Ahok sebagai acara yang mendiskreditkan Ahok.  Marahlah ribuan pendukung “gila” Ahok.  Karni Ilyas dibully, dan ada artikel yang memplintir suasana diskusi ILC tersebut.

Kalau orang memiliki akal sehat dan tidak berpihak pasti bisa melihat jalannya acara diskusi  begitu netral. Karni mengundang  para penantang Ahok, mengundang pendukung Ahok dan Ahok sendiri dan mengundang juga Meja Tengah. Ada Pengamat Tata Kota Yayat Ruhiyat kalau tidak salah namanya dan entah siapa satu lagi.

Karni mempersilahkan Ahmad Dani yang membuka diskusi. Dani ditanya apa motivasinya ikut Pilgub dan Dani menjawab  dia tidak sengaja/ tidak punya niat maju tetapi ada dorongan dari NU dan PKB maka dia mulai berpikir kearah itu.  Bagi Dani kehidupannya sudah bagai Surga sehingga pindah ke Politik itu ibarat mencari Neraka.  Tetapi karena dirinya melihat ada yang salah dari kepemimpinan Jokowi dan kepemimpinan Ahok maka dia memiliki niat memperbaikinya.  (Jokowi juga disebut oleh Dani).

Danny kemudian menjelaskan kekurangan Ahok  yang menjadi perhatiannya dimana Ahok dinilai Dani selama ini hanya menggunakan Otak Kirinya. Sementara bila dia memimpin  Jakarta maka dia akan menggunakan Otak Kiri dan Otak Kanannya.  (Otak Kiri identic dengan perhitungan Logika sementara Otak Kanan identic dengan Estetika/Unsur humanis).  Menurut Danny, Ahok sering salah karena sering memecat orang. Kalau dirinya yang menjadi Gubernur maka dia membangun manusiannya dan bukan sekedar hanya menyalahkan orang lain.

Berikutnya dari  Partais Sosial si Cantik Grace Natalia yang berbicara. Grace berbicara meskipun dirinya di jalur Parpol yang beranggotakan orang muda (sudah punya ratusan DPD) tetapi partainya memandang Ahok sebagai sosok yang harus diberi kesempatan menyelesaikan tugasnya membenahi Jakarta.  Grace menggambarkan betapa beruntungnya warga Jakarta yang sudah merasa tentram kalau datang hujan besar. Mereka tenang karena  ada seseorang yang selalu memikirkan (bertarung)  dengan banjir di luar sana.  Grace menggambarkan Ahok sebagai sosok pahlawan yang siap berperang dengan bajinr sehingga warga Jakarta menjadi tenang dan tenteram. (tidak ada yang salah dengan opini ini).

Berikutnya giliran Adhiyaksa Dault yang bicara. Adhyaksa mengatakan dia akan membawa  Jakarta sesuiai dengan Tag Line yang selama bertahun-tahun dikumandangkan yaitu Teguh Beriman.  Adhyaksa berencana  memanusiakan warga Jakarta.  Adhyaksa berjanji akan menggunakan agama  sebagai salah satu unsur terpenting dari niatnya memanusiakan Jakarta.

Adhyaksa mengatakan permasalahan Jakarta itu sangat Kompleks dan tidak mungkin mengandalkan seorang Superman untuk mengatasi permasalahan Jakarta.  Yang dibutuhkan Jakarta adalah Super Team dan bukan Superman.  Kata-kata ini tentu saja menyindir pendapat  Grace Natalia.  Sah-sah saja , namanya juga diskusi.

Giliran bicara selanjutnya, dari Nasdem yang mendukung  Ahok. Kemudian berganti  Yusril, dilanjutkan lagi dengan Muda-mudi Ahok, lalu ke Sandiaga  Uno dank e Anton Medan.

Cukup adil sebenarnya kalau kita berpikiran sehat dan tidak memihak.

Sangat masuk akal kalau mereka yang menantang Ahok akan berbicara apa yang menjadi titik lemah Ahok dimana mereka akan berusaha memperbaikinya. Dimana-mana yang namanya seorang Bakal Calon Kepala Daerah akan menyebutkan apa-apa kelemahan seorang Incumben sehingga masyarakat bisa menilai bahwa sang Calon punya paradigm yang lebih baik dari Incumbent.

Acara kemudian menjadi rusak pada saat Anton Medan berbicara. Anton Medan bukan politisi dan bukan Akademisi. Dengan begitu apa-apa yang disampaikan Ahmad Dani, Adhyaksa, Yusril dan lainnya ditanggapinya dengan salah.  Pendapat para penantang Ahok langsung  dianggap sebagai serangan-serangan yang bertubi-tubi yang ditujukan kepada Ahok. Anton Medan langsung mengatakan diskusi tersebut tidak fair.

Ya tentu saja yang mendengar pendapat Anton Medan menjadi bingung.  Temanya adalah DKI 1 : Siapa Penantang Ahok.  Itu artinya para penantang Ahok akan bercerita apa-apa yang menjadi kelebihannya dari Ahok.  Dan semua yang dikatakan Ahmad Dani, Adhyaksa dan lainnya memang masuk akal dan tidak mengada-ada.  Mengapa Anton Medan mengatakan semua itu sebagai serangan (mengeroyok)?

Anton malah kemudian menyerang Adhyaksa dengan ayat-ayat Quran. Adhyaksa yang kuat agama seharusnya tidak melihat Ahok sebagai  tionghoa atau lainnya melainkan harus melihat apa-apa yang dikatakan Ahok.  Serangan Anton medan langsung di counter Adhyaksa dengan mengatakan justru dia memperhatikan cara Ahok berbicara yang kadang-kadang memakai Bahasa Toilet.  Adhyaksa  kemudian menyerang telak dengan bahasa mandarin yang menggambarkan Ahok yang tionghoa ternyata tidak tahu prinsip luhur warga tionghoa. Anton Medan diam tak bisa menjawab.

Acara diskusi ini semakin kacau dengan berbicaranya Ratna Sarumpaet.  Tadinya Ratna berbicara sangat baik dari sisi humanis seorang pemimpin dimana menurut Ratna Sarumpaet Ahok tidak punya empati dalam melakukan penggusuran. Sayangnya Ratna kemudian menjadi Emosi dan tendensius dengan menuduh Ahok pasti terlibat di kasus Sumber Waras.  Ratna  mungkin berang karena sebelumnya ternyata ada pendukung Ahok yang membully dirinya dengan sebuah gambar yang  mengatakan dirinya siap bugil kalau Ahok berani maju lewat jalur Independen. Tidak lama Ratna bicara, Anton Medan dan Grace Natalia walk out dari diskusi itu.

Cobalah kita berpikir jernih.  Acara diskusi ILC itu berlangsung cukup Fair. Bahkan pendapat terakhir dari Ahli Tata Kota sangat mendukung Ahok.  Masalah sebenarnya bukan di diskusinya tetapi berada di pihak para Pendukung Ahok. Mereka  curiga dan menuduh para competitor Ahok melakukan serangan (keroyokan) kepada Ahok melalui acara ILC tersebut.  Itu tuduhan yang kekanak-kanakan dan tidak mencerdaskan.

Sekali lagi saya katakan, dimana-mana yang namanya penantang Incumbent  itu akan berusaha menjelaskan apa-apa kelebihannya dibanding Incumbent. Dia akan menggambarkan kekurangan Incumbent dan  menjelaskan solusi yang akan diambilnya.  Dan itu sama sekali bukan serangan.

Dimana-mana yang namanya konstestasi pemilu akan terjadi fenomena seperti itu.  Masing-masing penantang akan menunjuk kekurangan incumbent dan dengan rasa pede nya menyatakan mampu merubah semua itu.  Itu bukan serangan. Itu adalah fenomena sebuah  konstetasi.

Sayangnya  mungkin para pendukung Ahok sudah terlalu sering terprovokasi oleh penulis-penulis yang kurang bertanggung-jawab yang menggiring opini mereka bahwa bila ada yang mengkritisi Ahok itu adalah sebuah serangan.  Yang menyerang Ahok itu harus dibully.  Inilah Demokrasi ala pendukung Ahok. Dan ini sudah terjadi di depan mata kita.

Sekian.

PS :

Mudah-mudahan tulisan ini dihapus oleh Admin agar semakin jelas posisi Admin Kompasian ada dimana.  Kalau para penulis pendukung Ahok boleh menyerang Haji Lulung, JJ Rizal, Ratna Sarumpaet hingga Karni Ilyas, maka para penulis itu tidak boleh dikritisi (dibaca diserang) oleh penulis lain.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun