Bersatu dalam Ikatan Suci
Suatu pernikahan atau perjanjian abadi antara dua insan merupakan tanda bahwa mereka menyatukan diri dalam suatu ikatan yang kekal, banyak kepercayaan yang menganut betapa agung dan sakralnya ikatan ini, maka disebut ikatan suci.
Pria atau wanita yang telah menemukan belahan jiwanya pasti ingin selalu bersama belahan jiwanya itu sampai akhir hayatnya, bahkan di beberapa daerah, pernikahan adalah suatu upacara yang sangat dinanti dan diinginkan oleh semua orang. Setiap keluarga yang memiliki anggota keluarga yang telah dewasa dan memasuki usia menikah pasti akan selalu menanyakan, mengharapkan bahkan tak segan-segan menjodohkan anggota keluarganya tersebut agar segera menikah.
Namun seiring perkembangan jaman, kebiasaan sosial, pengaruh keadaan, dan lingkungan sekitar, ternyata selain angka pernikahan yang meningkat, angka perceraian pun meningkat.
Berdasarkan data dari Dirjen Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung pada periode 2014-2016 perceraian di Indonesia trennya memang meningkat. Dari 344.237 perceraian pada 2014, naik menjadi 365.633 perceraian di 2016. Rata-rata angka perceraian naik 3 persen per tahunnya.[source] Lalu apa yang menjadi dasar para suami istri ini untuk bercerai jika di awal mereka begitu yakin dengan pasangannya tersebut ? Mengapa memutuskan untuk menikah jika belum yakin ?
Mengejar kebahagiaan melalui pernikahan
Menurut pendapat para ahli pernikahan memiliki banyak manfaat, beberapa diantaranya adalah memiliki teman untuk berbagi, bertualang dan menjalani kehidupan bersama, selain itu juga bermanfaat untuk kesehatan seperti menurunkan risiko demensia, tekanan darah membaik, terhindar dari stress, Menyehatkan paru-paru dan jantung, bahkan dapat memperpanjang usia.
Berdasarkan pemahaman tersebut, banyak orang yang berlomba-lomba untuk mencari pasangan yang tepat dan menikah. Bahkan secara turun temurun pernikahan telah menjadi kewajiban atau keharusan bagi setiap insan.
Dalam beberapa kasus, pria atau wanita yang sudah berusia 30 tahun ke atas namun belum menikah akan dicap atau dipandang negative oleh orang-orang disekitarnya. Bahkan banyak pakar kesehatan yang mengatakan usia pernikahan yang ideal dan pengaruhnya akan kesuburan atau kemampuan untuk memiliki keturunan. Sehingga sampai dengan saat ini banyak orang yang masih menganggap bahwa pernikahan dan keturunan adalah tujuan utama dalam hidup terutama bagi para wanita.
Jika kita membaca beberapa berita tentang pernikahan atau hubungan rumah tangga insan manusia, pasti tak lepas dari seberapa jauh ketahanan dan keharmonisan mereka, bagaimana anak-anaknya, apakah keluarga ini berhasil, apakah mereka bahagia ? Lalu informasi manakah yang lebih banyak dimuat, negative atau positif ? berapa banyak pasangan yang puas dengan pernikahnnya dibandingkan yang kecewa dan menyesali pernikahannya ? Bahkan beberapa Negara maju yang terkenal akan kesejahteraannya seperti Belgia, Portugal, Spanyol, dll telah menjadi Negara dengan angka perceraian yang tertinggi.
Tak hanya itu, Perancis yang digadang-gadang sebagai tempat paling romantis di dunia dimana banyak pasangan yang berbondong-bondong datang ke menara Eiffel untuk merasakan keromantisan yang begitu dalam justru tercatat sebagai Negara dengan angka perceraian yang sangat tinggi juga (sekitar 55 persen). Lalu jika kekayaan, kesejahteraan, hal-hal romantis, lingkungan social dan teknologi tak lagi menjamin keutuhan suatu pernikahan, bagaimana kita bisa menempatkan pernikahan sebagai jalan utama untuk mencapai kebahagiaan ?
Apakah benar pernikahan adalah kunci kebahagiaan ?
Kalau kita melihat pada perkembangan dunia, beberapa penduduk Negara maju tak lagi menjadikan pernikahan sebagai tujuan utama hidupnya. Misalnya Amerika Serikat yang merupakan negara maju dengan pertumbuhan masyarakat modern yang cepat ternyata terdapat sekitar 20 persen atau setara 42 juta orang AS belum pernah menikah meski sudah memasuki usia siap nikah.
Di Jepang sendiri angka Pernikahan pada periode 2017 menurun 13.000 dibandingkan dengan tahun sebelumnya menjadi 607.000 atau paling sedikit sejak akhir Perang Dunia II.[source] Negara maju merupakan cerminan atau pusat percontohan bagi Negara-negara berkembang. Jika kemudian Negara berkembang mulai mengikuti pola Negara-negara maju tersebut bagaimanakah nasib pernikahan kedepannya ?
Kalau kita melihat lebih jauh kepada orang-orang terkemuka dan terkenal terutama para wanita, apakah sebagian besar dari mereka rumah tangganya berjalan lancar dan bahagia ? misalnya para artis seperti Rossa, Yuni Shara, Maia atau artis hollywood seperti Brad Pitt, Angelina Jolie, Johny Depp, Kim Kardashian, dll. Begitu juga pengusaha sukses seperti Jeff Bezos (CEO Amazon), Steve & Elaine Wynn (Pendiri Kasino Wynn), JK Rowling (penulis terkenal), dll.
Hampir semua orang sukses dan terkemuka di dunia jarang memberitakan tentang kebahagiaan pernikahan atau rumah tangga mereka, bahkan dari para wanita sukses tersebut banyak yang merupakan korban perceraian. Apakah “perceraian” yang membuat mereka menjadi lebih gigih dan bersungguh-sungguh hingga sukses atau justru sebaliknya kesuksesan dan keberhasilan mereka yang memancing terjadinya “perceraian” ? Lalu bagaimana dengan narasi yang mengatakan “pernikahan adalah sumber kebahagiaan” ?
Untuk menjawab hal ini mungkin harus kembali kepada individu masing-masing, bisa jadi mungkin bukan pernikahan lah yang menjadi kunci kebahagiaan. Bila memang pernikahan adalah sumber kebahagiaan, mengapa ada banyak orang yang justru lebih bahagia dan sukses setelah bercerai atau tidak menikah ? kalau memang semua manusia ditakdirkan untuk menikah dalam hidupnya, bagaimana dengan para biarawan, uskup, biksu dan tokoh agama lainnya yang tidak memperbolehkan menikah ? lalu bagaimana dengan mereka yang sampai akhir hayatnya belum atau tidak menemukan pasangan yang tepat yang mampu memberinya kebahagiaan sejati ?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI